Oleh: Hasna Maritza dan Saffanah Calista/EQ
Foto Oleh: Meira Maulidya Rahma/EQ
Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan universitas menimbulkan rasa takut bagi masyarakat yang tak kunjung usai. Penciptaan lingkungan universitas yang aman dan bebas dari kekerasan seksual pun menjadi tugas bersama. Berbagai universitas di Indonesia kini sedang berupaya menciptakan gerakan penanganan kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh, di Universitas Gadjah Mada saat ini terdapat Unit Layanan Terpadu (ULT) Penanganan Kekerasan Seksual. Kemudian, di FEB UGM terdapat Buku Saku Sentra Layanan Terpadu, hotline pelaporan kekerasan seksual, konseling sebaya, dan masih banyak lagi.
Sejarah Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas
Sejak tahun 1980-an, kasus kekerasan seksual di lingkungan universitas mulai mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pada masa itu, banyak kejadian berawal dari janji kemudahan karir yang diberikan pelaku kepada korban. Alhasil, para korban mau tidak mau menerima perlakuan pelaku. Sementara fenomena kekerasan seksual di lingkungan universitas terus berlanjut, fenomena tersebut kini telah melibatkan level penyalahgunaan kekuasaan yang lebih luas (Thomas & Kitzinger, 1997). Di Indonesia, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sebenarnya sudah menjadi pekerjaan rumah sejak lama. Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2019, 15% kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terjadi di universitas. Persentase tersebut menempatkan universitas pada posisi ketiga sebagai tempat dengan kasus kekerasan seksual terbanyak. Hal ini tentunya menimbulkan ketakutan bagi masyarakat sebab tempat mahasiswa menuntut ilmu justru menjadi tempat yang mengancam.
Kekerasan Seksual di Universitas Gadjah Mada
Nyatanya, Universitas Gadjah Mada pun tidak luput dari kasus kekerasan seksual. Pada Februari lalu, akun twitter @staceyatrika mengunggah utas mengenai kekerasan seksual yang terjadi padanya. Pelakunya berinisial TSN, mahasiswa Fakultas Geografi yang merupakan teman satu organisasi korban. Pada utas tersebut, korban menceritakan kejadian-kejadian saat TSN memaksanya untuk berhubungan badan. Bahkan, pemaksaan tersebut juga terjadi selama rangkaian acara organisasi sedang berlangsung sedangkan korban tidak bisa berbuat apa-apa. Korban mengaku bahwa ketakutannya untuk melaporkan kepada pihak berwenang disebabkan oleh sering terjadinya victim blaming atau situasi ketika korban justru disalahkan atas pengalamannya. Pernyataan korban ini juga sejalan dengan hasil survei yang pernah dirilis oleh BEM FEB UGM. Hanya 11,1% kasus pelecehan seksual yang diikuti oleh pelaporan kepada pihak fakultas, sedangkan sisanya memilih untuk bercerita kepada orang terdekat atau diam.
Bagaimana Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di FEB UGM?
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Bayu Sutikno, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FEB UGM, fakultas sedang mengusahakan upaya mitigasi kekerasaan seksual melalui dua area utama, yaitu pencegahan dan penanganan. Dalam upaya pencegahan, fakultas menggalakan empat poin utama berupa peningkatan literasi terkait kekerasan seksual, deklarasi ruang aman dari kekerasan seksual, komunikasi antara korban dengan pihak fakultas melalui saluran pelaporan, serta konsultasi bersama pihak profesional atau konselor sebaya. Tak hanya itu, pihak fakultas melalui SWPDC (Student Wellness and Personal Development Center) baru saja merilis Buku Saku Sentra Layanan Terpadu. Adapun salah satu layanan yang diberikan berupa layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Buku Saku tersebut dapat diakses melalui .
Dalam upaya penanganan kasus kekerasan seksual, fakultas telah mengeluarkan standar operasional prosedur terkait pengaduan kasus kekerasan seksual. Setelah pihak fakultas menerima laporan dugaan kasus kekerasan seksual, dalam kurun waktu maksimal 3×24 jam, fakultas akan melakukan pendataan, verifikasi, serta asesmen awal terkait kondisi korban. Kemudian, fakultas juga akan menyelenggarakan rapat guna membahas tindakan yang akan diambil terkait pemulihan kondisi korban serta penentuan hukuman yang diberikan kepada pelaku. Bentuk hukuman yang diberikan pun tidak sebatas hukuman represif, tetapi juga dapat berbentuk kewajiban bagi pelaku untuk menjalani konseling psikologi.
Selain upaya yang digalakan fakultas, BEM FEB UGM juga meluncurkan hotline aduan sebagai saluran pelaporan bagi mahasiswa apabila mengalami kekerasan seksual. Fahreza G. Pradana, inisiator Hotline Anti Kekerasan Seksual, menyatakan bahwa seluruh mahasiswa FEB UGM dapat melaporkan kejadian kekerasan seksual melalui hotline ini. Nantinya, laporan yang masuk akan diteruskan kepada pihak fakultas guna diambil tindakan lebih lanjut.
Sebagai penutup, Pak Bayu berharap apabila terjadi insiden serupa, hendaknya segera dilakukan pelaporan secepat mungkin agar korban dapat ditangani dengan baik. Dengan demikian, pelaku pun juga dapat diberi peringatan sedini mungkin agar tidak muncul korban lainnya. Mengutip dari Eyre (2000) bahwa keberadaan instrumen prosedur pelaporan serta edukasi terkait pemberantasan kekerasan seksual sangatlah penting dalam membantu usaha penciptaan ruang aman dari kekerasan seksual.
Hotline Aduan Kasus KS UGM: ult@ugm.ac.id
Hotline Aduan Kasus KS UGM : +62 82110100451 (HopeHelps)
Hotline Aduan Kasus KS FEB UGM: +62 8112843884 (SWPDC)