Oleh: Saffanah Calista dan Larasati Titania/EQ
Ilustrasi Oleh: Nabila Ayu Putri/EQ
Melihat sosok Boediono dan Sri Adiningsih, tidak diragukan lagi bahwa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) telah mencetak figur-figur yang berkiprah dalam pembangunan bangsa. Di balik nilai-nilai yang ditanamkan FEB UGM layaknya integritas, profesionalisme, kepedulian sosial, tentu prestasi ini tidak bisa dicapai tanpa adanya kemauan dan ambisi dari mahasiswa. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi rutinitas dan pengorbanan bagi para mahasiswa yang berprestasi?
Tidak dapat dimungkiri bahwa FEB UGM memiliki banyak acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa. Selain dijuluki sebagai “Fakultas Event Banyak”, mahasiswa dari fakultas ini juga memiliki segudang prestasi. Pada tahun 2016 saja, tercatat ada 65 perlombaan yang berhasil dimenangkan oleh mahasiswa FEB, dari tingkat regional hingga internasional. Prestasi dan semangat mahasiswa FEB UGM seakan-akan dibenarkan oleh hasil survei yang mengungkapkan bahwa 92,3% mahasiswa FEB UGM merasa bahwa mahasiswa fakultasnya sangatlah berambisi. Senada dengan survei tersebut, Azzahra Aulia, mahasiswa Akuntansi 2020, berpendapat bahwa lingkungan maupun sistem akademik di FEB UGM sangatlah menuntut dan mendorong mahasiswanya untuk berambisi.
Haruskah ambisi memiliki batas?
Tentunya, kerja keras dan komitmen merupakan resep yang penting untuk kesuksesan. Namun, kerja keras yang terkesan tak mengenal batas mulai kerap ditemui, bahkan menjadi budaya dalam kehidupan mahasiswa, tak terkecuali mahasiswa FEB UGM. Hustle culture dalam beberapa waktu terakhir kerap menjadi sebuah ungkapan untuk menggambarkan budaya tersebut. Budaya ini diasosiasikan dengan standar di masyarakat yang menganggap bahwa sukses hanya dapat dicapai jika seseorang mendedikasikan hidupnya hanya untuk bekerja. Bahkan, hustle culture seolah-olah menganggap bahwa seseorang dan pekerjaannya merupakan identitas yang tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan survei yang dilakukan kepada 52 mahasiswa FEB UGM, 60,8% mahasiswa tertekan dengan rasa bersalah jika sedang tidak mengerjakan hal berkaitan dengan perkuliahan atau sedang tidak produktif.
Tak hanya berasal dari perasaan bersalah, tekanan yang dirasakan mahasiswa juga bersumber dari adanya social comparison. Stephanie Dame Augustine, mahasiswa Ilmu Ekonomi 2018, mengungkapkan bahwa social comparison mendorongnya untuk mengikuti berbagai organisasi, lomba, dan magang, di samping memenuhi tanggung jawab akademik sebagai mahasiswa. Meskipun social comparison dapat memotivasi mahasiswa untuk memaksimalkan kapasitas potensi, hal ini juga berpeluang untuk membuat mahasiswa terlalu memaksakan diri dan melewati batas mereka. Sampai-sampai, Annisa Chiraz, mahasiswa Manajemen 2020, merasa bahwa tekanan yang ada di lingkungan FEB UGM justru berpengaruh buruk pada kesehatan mentalnya dan memicu demotivasi.
Terlepas dari tanggung jawab akademik dan tekanan yang dihadapi, nyatanya mahasiswa tetap mampu menginvestasikan waktu pada banyak prioritas sekaligus seperti magang dan organisasi. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang menunjukan bahwa meskipun 71,1% mahasiswa FEB UGM merasa tanggung jawab akademik membuat mereka mengorbankan lebih banyak waktu untuk belajar, 38,5% diantaranya tetap bisa menghabiskan lebih dari 7 jam sehari untuk melakukan aktivitas diluar belajar. Menurut Cita Amalia, mahasiswa Akuntansi 2019, bagaimana individu memanfaatkan waktu di luar belajar adalah pilihan masing-masing, selama tanggung jawab sebagai mahasiswa tetap terpenuhi maka sah-sah saja.
Mungkinkah mahasiswa memiliki hidup seimbang?
Memiliki hidup yang seimbang antara akademik, kehidupan sosial dan nonakademik di FEB UGM bukanlah hal yang mustahil. Salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang berhasil membuktikannya ialah Cita Amalia. Di luar tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, ia juga berpartisipasi dalam berbagai organisasi, volunteer, dan lomba. Keberagaman peluang pengembangan diri yang ada di FEB UGM membuka peluang bagi Cita untuk menyusun resep suksesnya sendiri. Selain itu, menurutnya keberadaan lingkup pertemanan yang suportif turut berperan dalam keberhasilan Cita menyeimbangkan akademik dan nonakademik.
Lingkup pertemanan tak hanya sebatas dengan siapa individu menghabiskan waktu, tetapi juga bagaimana antar individu bisa saling mendukung untuk mencapai tujuan masing-masing. Adanya prioritas yang serupa serta gaya hidup tertentu dalam lingkup pertemanan memungkinkan mahasiswa untuk mendapat gambaran mengenai upaya yang harus dicurahkan dalam mencapai suatu tujuan. Alhasil, tanpa disadari, individu tak hanya sukses dalam akademik dan nonakademik, tetapi juga sukses dalam mempertahankan kehidupan sosial.
Pada akhirnya, prioritas, tujuan karir, dan gaya hidup tiap mahasiswa pastilah berbeda. Tidak ada gaya hidup ideal dalam mencapai tujuan karir. Tidak ada salahnya pula untuk bekerja keras apabila memang diperlukan, toh setiap mahasiswa memiliki kapabilitas yang berbeda-beda. Namun, haruskah ada garis yang ditarik antara pengorbanan dan pertumbuhan?