Penulis: Atha Bintang Wahyu Mawardi/EQ
Editor: Gigih Candra Ghufroni/EQ
Layouter: Diana Sintya Maharani/EQ
Di tengah deru langkah kaki ribuan mahasiswa dan gema poster yang menuntut supremasi sipil, terdapat satu hal yang menjadi jelas: masyarakat Indonesia masih punya denyut kesadaran. Mereka masih mau marah, turun ke jalan, percaya bahwa negara ini bisa menjadi lebih baik, dan pecaya bahwa keadilan bukan sekadar diksi dalam pidato resmi. Namun, di balik semangat itu, kita harus bertanya secara jujur: apakah ide-ide yang diusung dalam berbagai aksi cukup kuat untuk menjadi fondasi perubahan? Apakah aksi yang digelar benar-benar dirancang sebagai solusi jangka panjang, atau hanya menjadi pelampiasan dari frustasi sosial-politik yang semakin mengental?
Fenomena demonstrasi terkini—terutama dalam menolak revisi UU TNI dan Polri—memperlihatkan sebuah paradoks: massa yang besar, namun narasi yang lemah. Meskipun demikian, bukan berarti gerakan demonstrasi tidaklah penting. Justru sebaliknya, keberanian untuk menolak adalah aset langka dalam demokrasi yang mulai didominasi oleh ketertutupan dan keengganan elite untuk mendengar. Namun, keberanian saja tidak cukup. Keberanian harus ditopang oleh kerangka berpikir yang presisi, dengan tuntutan yang tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga dapat dijalankan secara konkret dalam kebijakan publik.
Slogan seperti “Tolak Dwifungsi,” “Kembalikan TNI ke Barak,” dan “Stop Militerisasi” ramai digunakan di media sosial. Namun, tidak semua yang menyuarakannya memahami benar sejarah maupun konsekuensi kebijakan dari tuntutan tersebut. Istilah-istilah besar kerap dijadikan simbol retoris—viral dan memikat—namun sering kali kehilangan kedalaman makna. Ini bukan soal malas berpikir, melainkan karena ruang untuk berpikir itu sendiri semakin menyempit. Akademisi banyak bungkam, media makin berhati-hati, dan diskursus publik lebih tertarik mengejar sensasi ketimbang substansi. Dalam situasi semacam itu, demonstran sering kali menjadi satu-satunya aktor oposisi. Mereka tidak hanya diminta menjadi juru bicara rakyat, tetapi juga ahli hukum, ekonom, dan teknokrat—semuanya bersamaan. Ini tentu tidak adil, tetapi demikianlah realitas yang terjadi.
Aksi di jalan bukanlah sebuah kesalahan. Ia bagian sah dari demokrasi. Namun, aksi yang tidak memiliki arah, tanpa tindak lanjut, dan tanpa visi kebijakan yang jelas, tidak mampu menggoyahkan kekuasaan. Kita telah berkali-kali menyaksikan demonstrasi besar yang gagal memantik reposisi politik karena tidak ada solusi nyata selain “tolak” dan “cabut.”
Menuntut cetak biru dari gerakan akar rumput dalam waktu singkat bukanlah hal yang mudah. Kita harus jujur terhadap tantangan yang ada: jika gerakan rakyat sungguh ingin membentuk masa depan, mereka harus membangun kekuatan berpikir, bukan semata kekuatan menolak. Sebab kebijakan publik tidak berubah hanya karena kerasnya suara, melainkan saat ada alternatif yang logis, terukur, dan punya legitimasi moral serta teknis.
Pada titik inilah diksi dan aksi harus dipertemukan. Diksi tidak boleh berhenti sebagai ungkapan puitis dan harus menjadi kendaraan ide yang cerdas. Sedangkan aksi harus menjadi proses strategis, bukan sekadar teatrikal. Tanpa itu, semua energi yang dibakar di jalanan hanya akan jadi catatan harian—bukan batu pijakan sejarah.
Bukan hanya massa aksi yang menghadapi tantangan artikulasi. Media pun kini berhadapan dengan tekanan saat menyuarakan kritik. Lihatlah kasus Tempo. Ketika media tersebut diteror setelah mengkritik revisi UU TNI, publik seharusnya membela prinsip perlindungan pers. Namun, diskursus publik justru teralihkan ke spekulasi dan teori konspirasi. Alih-alih memperkuat posisi naratif, kita malah tenggelam dalam opini kabur tanpa strategi. Isu yang seharusnya memicu reformasi malah menguap jadi rumor yang gagal dikapitalisasi.
Namun situasi tidak sepenuhnya suram. Gelombang protes ini justru menunjukkan bahwa rakyat belum menyerah. Mereka belum pasrah pada struktur kuasa yang dimanipulasi menjadi alat kendali. Di tengah defisit harapan, demonstrasi menjadi kanal utama untuk menyuarakan bahwa “kami belum selesai.” Meski elite membangun kekuasaan di ruang-ruang tertutup, rakyat masih mencari suaranya di jalanan.
Masalahnya bukan pada massa, melainkan pada ekosistem perlawanan yang belum suportif. Kita membutuhkan akademisi yang mau turun gunung, jurnalis yang mengasah kerangka narasi, ekonom yang menjabarkan implikasi sosial dan fiskal dari tuntutan, dan aktor sipil yang mampu menjembatani aspirasi menuju ranah regulasi. Tanpa ini, massa akan terus bergerak—tetapi tak pernah sampai tujuan.
Dalam logika ekonomi, situasi ini menciptakan policy inertia: tekanan tanpa arah alternatif membuat pemerintah membeku, investor kehilangan kepercayaan, dan sentimen pasar jatuh. Pada akhirnya, rakyat kembali menanggung kekacauan yang justru coba mereka cegah sejak awal. Tetapi, apakah ini salah rakyat? Tidak. Ini justru sinyal bahwa pekerjaan rumah kita adalah menjembatani idealisme dengan teknokrasi, amarah dengan kebijakan. Pada akhirnya, jika ide hanya menjadi diksi, ia akan jadi puisi kekalahan. Sementara itu, jika aksi tidak berpijak pada logika, ia hanya akan menjadi keramaian yang tak dikenang.
Semangat demonstran adalah amunisi yang harus dijaga. Selain itu, negara juga harus mau mendengar—bukan hanya suara yang paling nyaring, tetapi juga yang paling masuk akal. Dengan demikian, kata harus melahirkan tindakan, dan setiap tindakan harus berdasar pada nalar.