WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Gamabilitas, Tidak  Merakyatnya Kampus Kerakyatan dalam Mendukung Inklusivitas Disabilitas

Oleh: Andini Mahera dan Kefas Prajna

Pada Jum’at (09/09) pukul 16.00 di Lembah Kopi UGM, telah dilaksanakan diskusi terbuka Gamabilitas yang mengangkat judul “Merdeka Negaranya, Bagaimana dengan Inklusivitasnya? Menyoal Inklusivitas di Kampus Kerakyatan.” Kegiatan hasil kolaborasi antara Gadjah Mada (GM) Residence, Forum Komunikasi (Forkom), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel Universitas Gadjah Mada (UGM) ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh sivitas akademika UGM mengenai pentingnya inklusivitas disabilitas di kampus.

Pembicara pertama, Praditya Putri Pertiwi, adalah seorang Dosen Psikologi UGM sekaligus Pembina UKM Peduli Difabel. Beliau menceritakan pengalamannya membuat kajian mengenai perguruan tinggi yang menerapkan inklusivitas, salah satunya dengan menerima mahasiswa disabilitas. Praditya menjelaskan bahwa selama ini pemahaman mengenai disabilitas hanya terkait keterbatasan fisik saja. Hal ini mengakibatkan pelayanan yang diberikan juga terbatas pada lingkup itu saja. Padahal, disabilitas itu multidimensi. Tidak hanya mengenai fisik, tetapi juga aspek sosial dan psikologi. 

Dari kajian yang dilakukannya, Praditya juga menyimpulkan bahwa pelayanan inklusivitas dalam kampus dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah kampus yang layanan inklusivitasnya sudah tersistem, memiliki kebijakan dan unit yang secara khusus melayani penyandang difabel. Kategori yang kedua adalah kampus yang responsif atau Praditya menyebutnya sporadis. Kampus ini hanya menyediakan fasilitas atau layanan jika ada permintaan atau aduan saja. Sayangnya, UGM masih tergolong ke dalam kategori nomor dua ini. UGM belum memiliki visi atau rencana akan seperti apa inklusivitas ini diterapkan di lingkungan kampus. Hal ini karena penerapan inklusivitas bukan hanya mengenai bangunan dan fasilitasnya saja, tetapi juga bagaimana memberikan pemahaman mengenai inklusivitas kepada dosen, sesama mahasiswa, bahkan menerapkannya dalam modul perkuliahan.

Acara dilanjutkan dengan pemaparan dari Jona Aman Damanik, komisioner Komisi Nasional Disabilitas Indonesia. Beliau secara singkat memperkenalkan Komisi Nasional (Komnas) Disabilitas, lembaga yang baru diresmikan dan dilantik oleh Presiden Joko Widodo Desember 2021 lalu. Jona juga bercerita bahwa dari tujuh orang komisioner Komnas Disabilitas, tidak semuanya merupakan penyandang disabilitas. Tiga di antaranya adalah non disabilitas. Hal ini adalah contoh praktik inklusivitas yang diterapkan di dalam struktur keanggotaan Komnas Disabilitas.

Dalam pemaparannya, Jona juga menyinggung mengenai hak-hak penyandang disabilitas yang tertera di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, salah satunya adalah hak mengakses pendidikan di semua jenjang. Beliau menjelaskan bahwa transformasi mindset dalam memahami arti disabilitas sangatlah penting. Penyandang disabilitas tidak hanya teman-teman kita yang memiliki keterbatasan fisik saja. Namun, disabilitas sangat multidimensi, mereka juga memiliki kendala psikologis, sosial, pendidikan, dan aspek lainnya. Maka dari itu, mereka tidak hanya ingin untuk dihargai saja, tetapi juga ingin memiliki kehidupan yang normal seperti teman-teman lainnya. Oleh karena itu, kita diharapkan hadir untuk membantu memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas. “Maka dari itu, kita perlu paham pentingnya advokasi. Adanya pemahaman mindset yang tepat dapat melahirkan kebijakan yang sesuai juga,” ujar Jona. Komisioner Komnas Disabilitas juga menyampaikan bahwa dibutuhkan kerja sama antara institusi, yaitu universitas, dengan Komnas Disabilitas dalam memberikan informasi mengenai praktik inklusivitas disabilitas di masing-masing lokasi. Hal ini karena Komnas Disabilitas memiliki mandat untuk mengawasi, evaluasi, dan advokasi. Sinergi ini akan memudahkan Komnas Disabilitas dalam merancang kebijakan dan mengambil tindakan dalam mendorong pemenuhan hak asasi manusia (HAM) para penyandang disabilitas.  

Tak ketinggalan, dalam diskusi terbuka ini juga terdapat sesi sharing dari penyandang disabilitas yang berkuliah di UGM. Pembicara pertama ada Alexander Farel, penyandang tunanetra yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2019. Farel bercerita bahwa pada awal perkuliahannya tahun 2019 lalu, masih belum ada layanan pendampingan dari universitas. Dalam hal perpindahan dan pembelajaran di kelas, Farel bergantung pada bantuan temannya. Ia juga menyebutkan bahwa belum semua jalan di lingkungan kampus memiliki guiding blocks, bahkan banyak juga guiding blocks yang sudah mulai aus. Sejalan dengan penuturan Farel, Aulia, mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia angkatan 2022, bercerita tentang minimnya edukasi mengenai bagaimana cara menggandeng tunanetra yang benar. Menanggapi hal tersebut, Jona menyampaikan perlunya dan pentingnya peran rektor dalam membuat kebijakan yang mendukung dan memperhatikan teman-teman disabilitas. 

Hal miris lainnya juga disampaikan oleh pengurus UKM Peduli Difabel ketika mereka membantu calon mahasiswa disabilitas UGM yang tengah melaksanakan Computer-Based Test Ujian Mandiri UGM (CBT-UM UGM) 2022. Pihak kampus dijelaskan belum sepenuhnya mendukung fasilitas terhadap penyandang disabilitas. Ketika ada salah seorang calon mahasiswa yang akan melakukan ujian di area Fakultas Peternakan, anggota UKM Peduli Difabel tidak diperkenankan oleh pihak Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM untuk parkir dan menurunkan calon mahasiswa disabilitas di area tersebut. Oleh karena itu, mereka harus mencari lahan parkir yang relatif jauh dan tidak tersedia fasilitas kursi roda pada area tersebut. Pada akhirnya, anggota UKM Peduli Difabel tersebut harus mendorong kursi roda dengan jarak yang relatif jauh untuk membantu calon mahasiswa tersebut. “Apabila saya ada di posisi Anda, saya akan berkata ‘baik saya turun di sini, tapi bapak (PK4L) yang mendorong ya!’ itu loh yang namanya jiwa advokat,” tegas Jona menanggapi sambatan mahasiswa tersebut..

Diskusi Gamabilitas ditutup dengan acara sesi foto bersama, semua audiens, narasumber, dan panitia berfoto bersama di lantai dua Kopi Lembah UGM. Dengan diselenggarakannya acara ini, praktik inklusivitas disabilitas diharapkan dapat semakin masif. Pemahaman akan kesalahan mindset dan reaksi kita terhadap penyandang disabilitas akan terus terpenuhi. Label kampus kerakyatan dan pancasila diharapkan tidak hanya terwujud nyata bagi segelintir kelompok saja, tetapi menyeluruh dan inklusif terhadap seluruh masyarakat UGM, terutama penyandang disabilitas.

Pengunjung :
243

Solverwp- WordPress Theme and Plugin