WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Dilema Yogyakarta, Destinasi Wisata atau Kota Seribu Parkir?

Penulis: Nararya Wahyu Putri/EQ
Editor: Handri Regina Putri/EQ
Layouter: Glori E. P. R. Silaban/EQ

Yogyakarta, kota yang lekat dengan julukan “Kota Pelajar” dan “Kota Budaya”, kini menghadapi dilema identitas yang tak terduga. Di balik kemegahan Keraton dan keindahan Gunung Merapi yang menjulang, muncul sebuah label baru mengkhawatirkan: “Kota Seribu Parkir”. Kota yang dikenal akan keramah-tamahan penduduk serta kearifan lokal kini sedang dilanda kepenatan dalam bayang-bayang masalah praktik parkir liar.

Saat tiba di Malioboro, pengunjung yang penuh dengan antusiasme pasti berharap dapat melepas penat dengan merasakan atmosfer khasnya—keramaian pedagang, aroma batik yang begitu lekat, serta nuansa budaya yang kental. Namun, alih-alih melepas kepenatan, pengunjung justru dihadapkan pada barisan kendaraan yang terparkir sembarangan dan juru parkir liar yang mematok tarif sesuka hati. Inilah realita yang sedang terjadi di Yogyakarta, akankah Yogyakarta mampu mempertahankan pesonanya sebagai surga wisata, atau justru tenggelam dalam stigma “Kota Seribu Parkir”?

Masalah Parkir yang Tak Kunjung Usai

Parkir liar merupakan masalah klasik yang terus membayangi Yogyakarta. Keresahan semakin meningkat, terutama pada kawasan wisata seperti Malioboro, Keraton, dan Taman Sari. Kendati pemerintah telah mengupayakan berbagai tindakan demi menekan angka parkir liar, pada kenyataannya praktik parkir liar justru semakin menjamur. Kerugian tak hanya dialami oleh para wisatawan; praktik parkir liar juga menciptakan citra dan kesan buruk terhadap pengelolaan Kota Yogyakarta. Ketidakpastian dalam biaya parkir yang dibebankan kepada pengunjung dapat membuat ketidaknyamanan dan kebingungan di saat mengunjungi area wisata di Yogyakarta.

Salah satu dampak nyata menjamurnya parkir liar adalah kemacetan lalu lintas. Kendaraan ditempatkan pada tempat yang bukan semestinya, sehingga mempersempit ruas jalan dan memperparah kepadatan kendaraan, khususnya ketika musim liburan tiba. Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Arif Nugroho, menegaskan bahwa fenomena parkir liar seringkali menjadi pemicu pelanggaran dan kemacetan, terutama di kawasan ramai wisatawan. Dengan meningkatnya arus wisatawan, penyelesaian masalah menjadi semakin mendesak untuk tetap mempertahankan eksistensi Yogyakarta sebagai tujuan utama destinasi wisata yang nyaman (Nurwanto, 2024)

Kebijakan Parkir merupakan Sebuah Langkah Nyata atau Sekadar Retorika?

Pemerintah Kota Yogyakarta telah berupaya melakukan tindakan preventif dengan menyediakan posko pengaduan dan menentukan tarif parkir resmi kawasan wisata sesuai dengan Perda Kota Jogja No. 10 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Misalnya, di kawasan Malioboro tarif parkir untuk motor dikenakan Rp2.000 (3 jam), mobil pribadi Rp5.000 (3 jam), bus sedang Rp50.000 (3 jam), dan bus besar Rp75.000 (3 jam) dengan kenaikan progresif setiap jam setelahnya (Sunartono, 2023).

Namun, efektivitas tindakan tersebut kerap diragukan masyarakat. Keluhan masih sering muncul atas tarif di luar ketentuan resmi yang dikenakan oleh jukir liar. Kasus nyata terjadi pada tahun 2024, ketika seorang pengunjung Pasar Kangen yang berlokasi di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) melaporkan bahwa dikenakan tarif parkir liar sebesar Rp25.000 untuk mobil—jauh di atas tarif resmi yang telah ditetapkan (Leon, 2024).

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kebijakan yang diterapkan saat ini merupakan langkah konkret atau hanya sekadar retorika belaka? Kendati pemerintah telah mengupayakan dengan melakukan penertiban dan memberikan sanksi terhadap pelanggar, masih banyak ditemukan juru parkir liar yang beroperasi tanpa izin dan memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Penegakan hukum yang lemah dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mematuhi aturan parkir, menjadi faktor mengapa permasalahan parkir liar sulit diatasi.

Sinergi untuk Yogyakarta yang Lebih Baik

Menghadapi dilema antara mempertahankan Yogyakarta sebagai destinasi wisata favorit atau membiarkannya terperangkap dalam stigma “Kota Seribu Parkir”, sinergi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pelaku industri pariwisata menjadi hal yang krusial. Langkah yang dapat diambil guna menekan angka praktik parkir liar antara lain penegakan hukum yang lebih tegas, penyediaan infrastruktur yang lebih memadai guna menekan area yang dapat dimanfaatkan para juru parkir liar, dan pemanfaatan teknologi dalam sistem parkir dengan merealisasikan penggunaan e-parking untuk menghindari pungutan parkir liar. Namun, apabila langkah nyata tersebut tidak segera diambil dan direalisasikan, Yogyakarta berpotensi kehilangan daya tariknya sebagai destinasi wisata utama. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa Yogyakarta tetap menjadi destinasi wisata yang nyaman, tertata, serta bernilai bagi pengunjung.

Referensi

Leon, Y. (2024, Juli 20). Viral Juru Parkir Ilegal di Sekitar TBY Jogja Nuthuk Tarif Rp25 Ribu, Pelaku Hanya Dikenakan Tipiring. HarianJogja. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2024/07/20/510/1182022/viral-juru-parkir-ilegal-di-sekitar-tby-jogja-nuthuk-tarif-rp25-ribu-pelaku-hanya-dikenakan-tipiring

Nurwanto, I. (2024, Juli 08). Parkir Liar Jadi Biang Macet di Jalan Pasar Kembang Jogja Tiap Musim Liburan, Begini Kata Dishub Kota Jogja—Radar Jogja. RADAR JOGJA. https://radarjogja.jawapos.com/jogja/654840257/parkir-liar-jadi-biang-macet-di-jalan-pasar-kembang-jogja-tiap-musim-liburan-begini-kata-dishub-kota-jogja

Sunartono. (2023, Desember 24). Penting! Ini Tarif Parkir Resmi Sepeda Motor, Mobil Pribadi dan Bus di Kota Jogja. HarianJogja. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/12/24/510/1159221/penting-ini-tarif-parkir-resmi-sepeda-motor-mobil-pribadi-dan-bus-di-kota-jogja

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin