WartaEQ | Mengungkap Fakta Lewat Aksara

Logat Medok: Merayakan Kebanggaan Identitas di Tengah Heterogenitas

Penulis: Najwa Anggi Namira & Raissa Marcialevina/EQ
Editor: Yolinda Nur Istighfari 
Layouter: Vini Wang/EQ

“Kalau udah medok dan gak berprestasi, pasti dianggap kampungan. Tapi, kalau berprestasi auranya bakal jadi -71 derajat celcius (sangat keren)!” 

Begitu celetuk salah satu mahasiswa di UGM, Rizky, saat melakukan wawancara  bersama tim redaksi EQ. Di balik candaannya yang menggelitik, tersimpan realita yang tak jarang terjadi di lingkungan akademik. Logat daerah, terutama medok khas Yogyakarta dan sekitarnya, masih sering dijadikan bahan untuk bercanda. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menjadi sumber rasa tidak percaya diri, bahkan membuat seseorang merasa perlu “menetralkan” cara bicaranya demi dianggap pintar, modern, atau profesional. Seperti yang diakui oleh Indah, narasumber lain yang menyebutkan bahwa dirinya pernah sengaja untuk menyembunyikan logat medoknya supaya tidak dianggap ndeso atau kampungan. 

Fenomena ini mengundang pertanyaan yang lebih dalam: mengapa logat medok, yang sebenarnya merupakan bagian dari kekayaan budaya lokal, justru kerap dianggap rendahan? Yogyakarta, yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa dapat menjadi tempat yang menarik untuk mengamati kontradiksi ini. Di satu sisi, logat medok menjadi identitas khas masyarakat lokal. Tetapi, tidak sedikit yang merasa perlu menyamarkannya demi menyesuaikan diri dengan standar bahasa “nasional” yang lebih diterima secara sosial.

Medok dalam Peta Linguistik

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai isu ini, tim redaksi EQ mewawancarai Dr. Sulistyowati, S.S., M.Hum., dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Berdasarkan keahlian akademisnya, beliau menjelaskan bahwa secara struktural-deskriptif, logat medok Jawa, dalam kajian fonetik dan fonologi, merujuk pada bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi dan terdengar dengan ciri khas pelafalan tertentu, khususnya pada huruf seperti b, g, j, d, dan dh. Ciri khas ini membedakan penutur bahasa Jawa dan non-Jawa karena kekuatan pengucapan serta intonasi yang khas. Kekhasan ini yang pada akhirnya memunculkan label identitas berdasarkan gaya bahasa yang digunakan. 

Pilihan untuk menyembunyikan logat medok sering kali bukan karena malu semata, tapi sebagai upaya untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Hal ini muncul dari anggapan bahwa logat tersebut dianggap “kurang bagus” atau “tidak standar”, padahal dari sudut pandang kebahasaan, medok justru mencerminkan kekayaan lokal dan kearifan budaya. “Secara tidak sadar ini menunjukkan karakteristik orang Jawa yang tepa slira, ingin menghargai orang lain sehingga tidak ingin mendominasi di lingkungannya,” ucap beliau. Di sisi lain, hal tersebut juga membuktikan bahwa logat atau bahasa berperan sebagai alat yang dapat diterapkan dengan menyesuaikan fungsi sosialnya. 

Seperti halnya yang disampaikan oleh Ersha, mahasiswa UGM yang mengatakan bahwa ia memilih untuk membanggakan logat medok. Baginya penting untuk menjaga keaslian pengucapan bahasa Jawa sebagai identitas diri. “Tapi juga harus paham bahasa Indonesia yang baik karena hidup tidak hanya berputar di Jawa saja,” ucapnya. 

Melihat Peluang Melalui Ciri Khas

Tokoh publik seperti Soimah menjadi contoh nyata bagaimana seseorang bisa tampil percaya diri dengan logat Jawanya yang kental. Sebagai seniman serba bisa yang berasal dari Yogyakarta, Soimah tidak pernah menanggalkan medok-nya, bahkan menjadikannya ciri khas yang memperkuat karakternya di layar kaca. Komedian tersebut konsisten dalam membawa identitas lokalnya tanpa takut dicap ‘kurang profesional’ oleh standar yang bias dengan gaya khas di Jakarta. Dalam salah satu wawancara, Soimah pernah menjelaskan, “Omongan aku, kan, udah ndeso, jadi percuma kalo ditutupin. Aku belajar apa adanya. Aku emang logatnya begini, mau gimana? Asline ngene, Mas.” Pernyataan ini membuktikan bahwa Soimah tidak pernah merasa logat daerahnya merupakan sebuah hambatan, melainkan sebagai nilai tambah dalam dunia hiburan.

Selain itu, Hansol, seorang konten kreator asal Korea Selatan, menunjukkan kecintaan yang luar biasa terhadap budaya Jawa, termasuk logat medok-nya. Meski terlahir sebagai orang Korea Selatan, Jang Hansol dibesarkan di Malang, Jawa Timur, sejak usia 4 tahun. Ia merasa nyaman menggunakan aksen dan bahasa Jawa di kanal Youtubenya. Dalam salah satu pernyataannya, ia pernah berkata “Terus aku mikir, buat apa aku juga harus merubah aksen, kan? Aku waktu YouTube-an ini juga melihat dengan adanya aksen Jawa, ini juga unik.” Sikap Hansol juga menunjukkan bahwa aksen daerahnya tidak menghentikannya dalam berkarya, malah menjadi kekuatan unik mengenai dirinya.

Logat: Rumah dalam Suara

Logat tidak hanya digunakan sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas yang melekat pada individu dan kelompok sosial. Ketika logat yang mencerminkan budaya, sejarah, serta nilai-nilai turun-temurun dipandang rendah, maka yang sedang diremehkan bukan hanya bunyi bahasa, tetapi juga bagian dari identitas dan latar belakang seseorang di dalamnya. Dari sinilah pentingnya kita kembali bertanya. Apa yang sebenarnya sedang kita nilai? Mengapa begitu mudah bagi kita untuk langsung menghakimi? Mengapa kita memandang suatu logat menjadi suatu hal yang memalukan, bukan kebanggaan? 

Maka dari itu, sudah saatnya kita harus berhenti sejenak dan melakukan introspeksi diri. Menganggap remeh suatu logat berarti sama saja dengan mengabaikan sejarah dan pengalaman yang melekat di baliknya. Karena, yang terdengar asing bagi satu telinga, justru bisa menjadi suara rumah bagi telinga yang lain.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin