Penulis: Shakira Maheswari/EQ
Editor: Frida Lucy/EQ
Layouter: Azzumaraa Akmalia/EQ
Ashraf menyunggingkan bibirnya, sebuah senyum tipis yang manis kembali terlihat di wajahnya setelah sekian lama. Ia menyipitkan matanya, menangkap sosok perempuan yang mendekat, langkahnya tertatih membawa tiga lembar roti gandum dan sebotol air. “Syukurlah, Bu, hari ini kita makan,” tutur Ashraf dengan penuh rasa syukur dan mata berbinar. Melihat itu, ibunya tersenyum simpul. “Iya, Nak. Roti ini cukup untuk kalian bertiga. Ibu akan makan nanti,” balas si ibu lembut, terdengar begitu kosong dan menyedihkan. Ashraf tertegun, hatinya tersayat mendengar penuturan dari Ibunya. “Bu, tapi Ibu sudah tiga hari belum makan!” bantah Ashraf. Sang ibu tetap bersikeras, menyerahkan tiga lembar roti gandum yang ada untuk anak-anaknya. Mengetahui hal itu, Ashraf hanya bisa termenung, menyadari fakta bahwa kini segalanya telah berubah. Ia terduduk diam di bawah cahaya matahari sore yang menyinari dirinya dan ibunya, menampakkan garis-garis kerutan yang semakin terlihat jelas dan lingkaran hitam yang menggelap.
Gaza, 24 Oktober 2023
Fajar merekah, Ashraf terbangun di pelukan hangat rumahnya, membantu ibunya menyiapkan sarapan, dan bersiap menuju sekolah seperti biasa. Hari itu, ia mengira semua akan berjalan seperti biasa. Namun, perkiraan itu meruap saat suara ledakan besar terdengar di seluruh penjuru Gaza. Serangan bom datang bertubi-tubi bak hujan deras dari langit yang gelap, mengguncang bumi dan meluluhlantakkan segala sesuatu yang ada didepan mata, termasuk rumah Ashraf dan keluarganya. Dalam kurun waktu kurang dari 48 jam, lebih dari 1.000 sukma melayang. Bayi-bayi yang baru saja menghirup udara pertama mereka, ibu-ibu yang memeluk anak-anaknya untuk kali terakhir, serta para ayah yang banting tulang untuk keluarganya, semuanya lenyap dalam jentikan jari. Saat itu, suasana terasa hening di tengah debu dan reruntuhan.
Ashraf yang baru berusia 17 tahun, mendapati dirinya harus memerankan peran yang biasanya diemban oleh ayahnya —sosok pelindung dan tumpuan keluarganya selama ini telah pergi, tewas dalam dentuman yang memekakkan langit dua minggu yang lalu. Kini, Ashraf berdiri di tengah kehancuran, mengemban beban yang tak pernah ia bayangkan. Dengan napas terkapah-kapah, ia menggantikan peran ayahnya, mencoba menguatkan keluarga yang tersisa, meski di dalam hatinya ada lubang besar yang takkan pernah tertutup.
Ashraf duduk termangu, matanya kosong menatap hamparan puing-puing yang dulunya disebut rumah. Bajunya lusuh, dipenuhi noda tanah dan debu yang enggan terhapus. Di sudut batinnya, Ashraf gelisah, berjuang melawan kebisuan yang menyesakkan. Mereka berpindah dari satu reruntuhan ke reruntuhan lain, mencoba menemukan naungan di dunia yang seolah menolak keberadaan mereka. Setiap langkah, setiap jejak kaki, terasa berat dan hampa, karena Ashraf tahu, tak ada tempat yang benar-benar aman saat ini.
Dalam kehampaan malam, semua mata pun terpejam. Senyap menyelimuti, tetapi jiwa mereka bergejolak bak badai di tengah samudra. Ribuan pikiran bergulat, saling sikut, menciptakan harmoni kekacauan dalam sunyi. Hati, sang panggung, dibanjiri oleh bayang-bayang masa depan yang tak menentu, bagai awan kelabu yang menghalangi rembulan. Jiwa dan raga mereka selalu waspada bak serdadu yang sedang berperang. Setiap malam, beribu pertanyaan menghantui pikiran mereka, mengikis kekuatan mereka seperti ombak yang menghantam karang.
Kini, puing-puing bangunan menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tak tersampaikan. Pecahan dinding dan atap yang runtuh menciptakan pemandangan memilukan, mengingatkan pada rumah-rumah yang dulunya penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Di tengah reruntuhan, serpihan kehidupan sehari-hari—mainan anak-anak, buku-buku sekolah, dan perabotan rumah tangga hancur dalam waktu sekejap. Debu dan pecahan kaca yang berserakan membuat segalanya tampak abu-abu dan suram, seolah-olah masa depan pun turut terkubur di bawahnya. Puing-puing berhamburan, mencerminkan goresan luka dalam hati mereka yang masih bernapas, memikul beban kehilangan dan rasa takut yang tak kunjung berakhir.
Namun, di balik reruntuhan dan debu yang mengendap di udara, secercah harapan tetap menyala. Setiap hari adalah sebuah kesempatan untuk menginjakkan kaki di antara bayangan, menembus ketidakpastian dan ketakutan. Di tengah segala keterbatasan dan luka yang belum kering, ia terus mencari jalan. Di setiap serpihan puing, ada harapan untuk membangun kembali semua yang dia miliki. Dalam hati mereka yang terluka, ada keyakinan bahwa masa depan bisa diperbaiki, meskipun perlahan dan penuh tantangan. Harapan inilah yang terus menyala, menjadi penggerak bagi Ashraf dan banyak orang lainnya di Palestina, untuk terus bertahan dan bermimpi akan hari esok yang lebih baik.