Oleh: Rizal Farizi
Setelah dua tahun dilaksanakan dalam jaringan, Forum Diskusi dan Studi Ekonomi (FSDE) Seminar 2022 akhirnya kembali digelar secara tatap muka pada Sabtu (12/11) di Auditorium BRI Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Seminar tersebut merupakan puncak sekaligus penutup rangkaian acara 17th FSDE, yakni agenda tahunan terbesar Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (Himiespa) FEB UGM. Bertajuk “Transforming the Economy: Implementing Sustainable Financing in Order to Achieve Inclusive Growth”, seminar ini diisi diskusi bersama para ekonom yang berpengalaman di kancah nasional terkait isu pembiayaan hijau.
Setelah sambutan dari pembawa acara dan sajian tari “Wonderful Indonesia”, acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Chairwoman 17th FSDE, yaitu Ester Dwi Sabtu. Setelah itu, Sekar Utami Setiastuti, S.E., M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi UGM memberikan sepatah dua patah kata terkait seminar kali ini. Pemukulan gong olehnya menjadi pertanda dibukanya FSDE Seminar 2022 secara resmi.
Sesi berikutnya adalah pemaparan materi oleh para pembicara, dimulai dari Wimboh Santoso yang merupakan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan periode 2017-2022. Wimboh memaparkan pembahasan terkait mengapa pembiayaan hijau sangatlah penting. Saat ini, menurutnya, permintaan yang berangsur meningkat pasca pandemi Covid-19 tidak diimbangi dengan suplai yang memadai. Konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina turut memperparah keadaan tersebut sehingga mengendurkan pasokan energi global yang berdampak pada inflasi di berbagai negara. Di sisi lain, keterlibatan Indonesia dalam Paris Agreement, perjanjian global terkait konservasi iklim, mendorong Indonesia untuk merespons krisis tersebut dengan strategi yang lebih ramah lingkungan.
Pembicara kedua, yakni Joko Tri Haryanto sebagai Peneliti Senior Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI), turut mengilhami paparan sebelumnya dari Wimboh. Ia mengungkapkan bahwa permasalahan iklim berpotensi mengurangi produk domestik bruto Indonesia sebesar 0,66%-3,45% pada 2030. Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sumber utama pendanaan program pemerintah masih memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, perlu diciptakan inovasi pendanaan lain, seperti pemberlakuan carbon trading dan carbon pricing. Hal tersebut menguntungkan karena jumlah penduduk di Indonesia sangatlah besar. Namun, upaya itu tetap perlu mempertimbangkan tata kelola dan daya beli masyarakat, mengingat Indonesia adalah negara berkembang.
Kemudian, Heru Rahadyan selaku Asisten Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) memberikan perspektif menarik terkait keterlibatan bank sentral dalam pembiayaan hijau. Ia mengungkapkan bahwa sejak 2010, BI sudah berupaya untuk terus berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia. Sebagai contoh, BI telah melangsungkan program loan to value hijau. Program tersebut memberi kelonggaran bagi masyarakat untuk tidak perlu memberi uang muka saat mencicil tagihan kredit pemilikan rumah ataupun moda transportasi ramah lingkungan, seperti mobil listrik. BI juga telah menyusun kalkulator emisi karbon untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia yang akan diberlakukan mulai beberapa tahun ke depan.
Melengkapi penjelasan dari Heru, Ferry Irawan, Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, menjelaskan inovasi pembiayaan hijau yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Menurut Ferry, pemerintah perlu mengoptimalkan pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, terutama energi geotermal. Selain itu, pembaruan instrumen pasar uang menuju transisi ramah lingkungan, seperti sukuk hijau, turut berkontribusi dalam menangkal dampak negatif perubahan iklim.
Berly Martawardaya yang merupakan Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai pembicara terakhir mengelaborasi pemaparan materi dari pembicara-pembicara sebelumnya. Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu berbenah dengan makin memaksimalkan alokasi APBN. Selain itu, ia juga kembali menekankan pentingnya pemanfaatan EBT dan instrumen keuangan ramah lingkungan dalam perekonomian Indonesia. Sebagai penutup, Berly berujar bahwa transisi menuju pembiayaan hijau tak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan perubahan perilaku masyarakat Indonesia.
Acara lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang diikuti secara antusias oleh peserta, terbukti dari banyaknya pertanyaan kritis yang dilontarkan audiens. Kemudian, acara ditutup dengan penyerahan plakat dan sesi foto bersama para pembicara. Dengan demikian, FSDE Seminar sekaligus rangkaian acara 17th FSDE resmi berakhir. Euforia acara yang kembali dilaksanakan secara luring tak dapat terbendung. Pada akhirnya, acara ini sekaligus pengingat bagi kita, generasi penerus bangsa, untuk mengindahkan keberlanjutan lingkungan dalam setiap keputusan yang kita buat.