Opini Oleh: M. Naufal Fauzan/Ilmu Ekonomi 2020
Dunia termangu ketika mendengar kabar militer Myanmar–yang dikenal sebagai Tatmadaw–melakukan kudeta militer pada Senin, 1 Februari 2021 kemarin. Di hari yang seharusnya menjadi waktu pelantikan anggota parlemen baru, Tatmadaw di bawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing justru mengumumkan negara dalam keadaan darurat selama satu tahun ke depan. Tatmadaw juga menangkap secara paksa Kanselir Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Wyn Mint, dan sejumlah pemimpin sipil lainnya. Myanmar yang sedang dalam masa transisi demokrasi dalam beberapa tahun terakhir dipukul mundur kembali ke titik nol. Apakah kita mesti terkejut dengan kudeta ini? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat kembali bagaimana terjalnya jalan untuk menggapai demokrasi di Myanmar.
Ketimpangan Kekuasaan Rezim Militer Myanmar
Myanmar tidak bisa dipisahkan dari rezim militer. Rezim militer berkuasa di Myanmar sejak kudeta 1962 hingga 2011. Selama periode tersebut, nilai-nilai demokrasi luar biasa sulit untuk tumbuh. Setiap gerakan demokrasi yang muncul sudah pasti mendapat perlawanan dari rezim berkuasa. September 1988 misalnya, gerakan “Uprising 8888” yang menuntut reformasi politik dan ekonomi disikapi dengan peluru oleh militer. Sekitar 3.000-10.000 jiwa melayang akibat peristiwa ini (Meixler, 2018). Pada tahun 2007, “Revolusi Saffron” yang identik dengan ikut sertanya para biksu untuk berdemonstrasi juga disikapi keras oleh militer. Korban meninggal diyakini mencapai 138 orang (Mann, 2013). Secara sistematis, militer mampu melemahkan berbagai gerakan oposisi yang muncul dari masyarakat sipil.
Tekanan kuat dunia internasional memunculkan sedikit harapan bagi terwujudnya demokrasi di Myanmar. Ketika itu, Jenderal Thein Sein yang mulai memimpin pada Januari 2011 berkomitmen melakukan reformasi politik. Pemerintah Myanmar memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu pada 1 April 2012 sebagai wujud demokratisasi. Hasil dari pemilu tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh partai National League of Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi (Muslina & Iskandar, 2016). Pemilu 2015 juga dimenangkan kembali oleh NLD. Partai bentukan militer, Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP), pun berkompromi dengan kemenangan partai sipil tersebut.
Tekanan Demokrasi akibat Konstitusi Primitif
Kondisi parlemen yang mulai dikuasai partai sipil tentu memberi secercah harapan akan demokratisasi seutuhnya. Namun, hal tersebut menjadi sulit dengan berlakunya Konstitusi 2008 bentukan junta militer terdahulu. Konstitusi ini telah menjamin terjaganya kepentingan militer di tengah pemerintahan sipil. Militer dipastikan tetap mendapat tempat di pemerintahan dengan posisi di Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Perbatasan Wilayah. Tak lupa, yang paling krusial dari konstitusi ini adalah pemberian jatah 25 persen kursi parlemen untuk militer (Cochrane, 2017). Konstitusi ini pula yang telah menjegal Aung San Suu Kyi menjadi presiden, mengingat calon presiden tidak boleh memiliki anggota keluarga dengan kewarganegaraan asing berdasarkan Pasal 59F Konstitusi 2008. Aung San Suu Kyi yang memiliki dua anak berkewarganegaraan Inggris pun tak diperbolehkan menjadi presiden di negaranya sendiri (Barker, 2015). Oleh sebab itu, NLD membentuk jabatan khusus, yakni kanselir negara, untuk mewadahi Aung San Suu Kyi di pemerintahan.
Transisi demokrasi yang dimulai pada 2011 ini direkayasa sedemikian rupa agar kepentingan militer tetap terpacak. Upaya demokratisasi telah membuat dunia internasional mencabut sanksi-sanksi ekonomi terhadap Myanmar, tak terkecuali Uni Eropa dan Amerika Serikat. Investor mulai memompa uang mereka ke proyek telekomunikasi, infrastruktur, manufaktur, dan konstruksi (Aulia & Koestanto, 2021). Meski militer benci terhadap pemerintahan sipil, mereka tak mau ketinggalan untuk ikut menikmati manisnya hasil transisi demokrasi ini. Dengan pengabadian kekuatan mereka di parlemen dan pemerintahan, anggaran mereka naik hingga US$100 juta per tahun. Minat bisnis mereka di hotel serta jaringan telepon seluler turut meningkat pesat (Petersen, 2021). Ibaratnya, mereka menikmati buah manis dari pohon yang dibencinya.
Konstitusi 2008 adalah tembok tebal yang menghadang laju demokratisasi di Myanmar. Untuk dapat melakukan amandemen Konstitusi 2008, dibutuhkan lebih dari 75 persen suara di parlemen. Dengan jatah kursi parlemen untuk militer yang mencapai 25 persen, amandemen konstitusi yang militeristik ini sulit untuk dilakukan. Upaya terakhir amandemen konstitusi ini pupus pada 10 Maret 2020 kemarin. Parlemen hanya meraih suara dukungan parlemen sebesar 404 dari total 633 anggota, kurang dari ambang batas 75 persen yang dibutuhkan (Aung, 2020). Demokrasi yang diperjuangkan dalam beberapa tahun terakhir menjadi suatu kuasi demokrasi (Okhtariza, 2021). Siapa pun yang memegang kendali pemerintahan akan terbendung fakta bahwa militer sudah mencengkeram sedemikian rupa. Komitmen reformasi merupakan komitmen yang setengah hati.
Peliknya Perebutan Kekuasaan Myanmar Berujung Pemberontakan
Ketidaktulusan terkadang memuncak pada pemberontakan. Puncak dari keengganan militer Myanmar untuk sepenuhnya menyerahkan pemerintahan kepada sipil adalah kudeta 1 Februari 2021 kemarin. Kudeta tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan hasil pemilu 2020. Kompromi pada pemilu 2015 tidak dapat diulang di pemilu 2020. Menurut hasil pemilu November 2020, Partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan 396 dari 476 kursi parlemen, sedangkan oposisi sokongan militer, USDP hanya kebagian 33 kursi–meskipun demikian, militer tetap akan mendapatkan 25 persen jatah kursi parlemen (Kinasih, 2021). Seperti pihak-pihak yang tidak legowo di negara lainnya, Tatmadaw menuduh pemilu ini dipenuhi kecurangan. Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW) Asia, menegaskan kepada BBC bahwa Aung San Suu Kyi jelas menang signifikan dalam pemilu dan Tatmadaw tidak dapat membuktikan kecurangan yang dituduhkannya (Drury, 2021).
Demokrasi di Myanmar memang terpasung oleh kepentingan Tatmadaw. Namun, catatan kritis juga perlu diberikan pada Aung San Suu Kyi yang sudah dalam enam tahun terakhir duduk di kursi pemerintahan. Aung San Suu Kyi dan NLD tidak berhasil meyakini nilai-nilai demokrasi sepenuhnya untuk membangun fondasi demokrasi yang kuat. Aung San Suu Kyi sang peraih nobel perdamaian ini justru membela genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. NLD juga aktif dalam pencabutan hak pilih etnis Rohingya pada pemilu 2020 kemarin (Ibrahim, 2021). Alih-alih memperkuat tatanan demokrasi dengan meyakini pluralisme dan kebebasan, mereka justru meyakini pengekangan dan perampasan. Tatanan demokrasi semakin layu dengan gerak demokrasi yang hanya bergantung pada Aung San Suu Kyi seorang. Sehingga, militer hanya perlu menangkap Aung San Suu Kyi untuk membunuh demokrasi seutuhnya. Kiranya inilah yang terjadi pada kudeta kemarin, demokrasi dipukul jatuh dan akan sulit untuk berdiri kembali.
Demokrasi Myanmar adalah demokrasi yang pelik. Militer tidak ikhlas melepaskan kuasanya secara penuh. Sipil pun tak beriman sepenuhnya pada demokrasi yang digaungkannya. Terkejut pada kudeta kali ini menjadi sebuah sikap yang naif jika kita melihat kembali bagaimana sulitnya rakyat Myanmar merengkuh demokrasi. Bom waktu sudah tidak bisa terhindarkan sebab keruntuhan demokrasi di Myanmar cepat atau lambat pasti akan terjadi.
REFERENSI
Aulia, L., & Koestanto, B. D. (2021, February 8). Myanmar Kembali ke Titik Nol. (B. J. D, Editor) Retrieved February 2021, 2021, from KOMPAS: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/02/08/myanmar-kembali-ke-titik-nol/?_t=Sjirb0HPZNG6CcRkecpFvzexBmfdvOI8DnbpDkO81b6n7slvl0kpKkng6j6zZW
Aung, S. Y. (2020, March 23). The Untouchable Articles in Myanmar’s Constitution. Retrieved February 13, 2021, from The Irrawaddy: https://www.irrawaddy.com/specials/untouchable-articles-myanmars- constitution.html
Barker, A. (2015, November 10). Myanmar election: Why can’t Aung San Suu Kyi be president and why is the country in leadership limbo? Retrieved February 12, 2021, from ABC: https://www.abc.net.au/news/2015-11-10/myanmar-election- explained/6928542?nw=0
Cochrane, L. (2017, September 24). Myanmar: How the military still controls the country, not Aung San Suu Kyi. Retrieved February 12, 2021, from ABC: https://www.abc.net.au/news/2017-09-24/how-military-controls-myanmar-not-aung- san-suu-kyi/8978042
Drury, F. (2021, February 2). Kudeta Myanmar: Militer secara otomatis dapat jatah di parlemen dan kabinet, mengapa melakukan perebutan kekuasaan? Retrieved February 13, 2021, from BBC Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-55901439
Ibrahim, A. (2021, February 13). Opinion: Why democracy in Myanmar was so easily crushed. Retrieved February 14, 2021, from The Washington Post: https://www.washingtonpost.com/opinions/2021/02/12/why-democracy-myanmar- was-so-easily-crushed/
Kinasih, S. (2021, February 8). Sejarah Membuktikan Militer Myanmar Memang Gatal Kudeta. Retrieved February 13, 2021, from tirto.id: https://tirto.id/sejarah-membuktikan-militer-myanmar-memang-gatal-kudeta-f91X
Mann, Z. (2013, September 6). Recalling Monk Beatings That Sparked the Saffron Revolution . Retrieved February 12, 2021, from The Irrawaddy: https://www.irrawaddy.com/news/burma/recalling-monk-beatings-that-sparked-the- saffron-revolution.html
Meixler, E. (2018, August 8). How a Failed Democracy Uprising Set the Stage for Myanmar’s Future. Retrieved February 12, 2021, from Time: https://time.com/5360637/myanmar- 8888-uprising-30-anniversary-democracy/
Muslina, & Iskandar, I. (2016, October). Upaya UNDP (United Nations Development Programme) dalam Memajukan Demokrasi di Myanmar. JOM FISIP, 3(2), 1-15.
Okhtariza, N. (2021, February 6). Kudeta Myanmar, dalam Perspektif Perbandingan. Retrieved February 13, 2021, from KOMPAS: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/02/06/kudeta-myanmar-dalam-perspektif- perbandingan/
Petersen, H. E. (2021, February 1). Threat of Myanmar coup was never far away. Retrieved February 12, 2021, from The Guardian: https://www.theguardian.com/world/2021/feb/01/threat-of-myanmar-coup-was-never- far-away/