Oleh: Abizar Aulia dan Doni Dzaki/EQ
Ilustrasi Oleh: Theresa Arween/EQ
Mahasiswa kerap kali mengeluhkan proses evaluasi dosen yang harus dilakukan sebelum pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) di setiap semester baru. Tidak jarang mahasiswa merasa evaluasi dosen tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap kinerja tenaga pendidik. Minimnya follow up dan tindak lanjut dari evaluasi dosen bisa jadi membuat mahasiswa merasa prosedur ini hanyalah formalitas belaka.
Padahal, dengan berbekal penilaian kolektif yang berdasarkan fakta, mahasiswa memiliki kapabilitas untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kinerja tenaga pendidik universitas. Meskipun penilaian dosen juga dilakukan oleh pihak-pihak lain seperti kolega, program studi (Prodi), dan dekan, mahasiswa menjadi subjek penilai paling kredibel karena berinteraksi langsung dengan objek yang dinilai. Pada periode ini, sebagian mahasiswa mungkin membuka Simaster dengan kekhawatiran akan nilai mata kuliah mereka. Saat evaluasi dosen, mahasiswa tidak perlu merasa cemas akan indeks prestasinya. Justru mahasiswalah yang memberikan nilai dan menjadi kontrol terhadap kinerja dosen.
Layaknya mahasiswa, kinerja dosen perlu memiliki “silabus”, yaitu ukuran dan target tertentu mengenai proses belajar mengajar yang ideal. Dekan Akademik Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Mahfud Sholihin, berpendapat, ”Utamanya, evaluasi dosen diadakan untuk continuous improvement. Tujuan idealnya adalah untuk meningkatkan mutu tenaga kependidikan. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan feedback kepada dosen, pengelola departemen, dan pengelola fakultas.”
Menurut I Wayan Nuka Lantara, Kepala Prodi Manajemen FEB UGM, setiap kelembagaan membutuhkan evaluasi tertulis, terekam, dan terukur dalam bentuk angka maupun kualitatif. Mengutip dari perkataannya, “Tanpa adanya evaluasi, bicara tentang kualitas hanyalah omong kosong semata. Fakta bahwa dosen dan mahasiswa menganggap proses ini adalah formalitas belaka sebenarnya bukan menjadi masalah. Hal yang terpenting adalah FEB UGM membangun semangat kalau perbaikan diri harus memiliki nilai tertentu yang dijadikan ukuran.”
Nilai tertentu yang dimaksud adalah indikator-indikator penilaian dosen yang menjadi acuan bagi tenaga kependidikan dan mahasiswa dalam menilai kinerja dosen. Manajemen waktu di kelas, ketepatan waktu, kemampuan dosen dalam memimpin diskusi, serta penyampaian materi menjadi indikator utama dalam evaluasi dosen. Progresivitas materi diskusi juga menjadi poin penting dalam pembelajaran yang patut menjadi perhatian dosen.
Evaluasi dosen di Simaster menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan skala likert. Dengan skala ini, Prodi dapat mengetahui dosen yang memiliki kinerja kurang baik jika dibandingkan dengan yang lain. Wayan menyampaikan, Prodi Manajemen biasanya melakukan pemeringkatan hasil evaluasi penilaian dosen. “Dosen yang secara konsisten setiap semester berada di peringkat bawah menjadi prioritas utama untuk mendapat pembinaan karena dapat merusak sistem apabila tidak segera diperbaiki,” tambahnya.
Selain berpengaruh kepada sistem belajar mengajar, evaluasi dosen juga berpengaruh terhadap reputasi karir para pengajar itu sendiri. “Salah satu elemen kenaikan pangkat dan/atau jabatan adalah hasil evaluasi dosen.“ kata Mahfud. Wayan menambahkan, “Salah satu komponen untuk mengisi LKD (Lembar Kinerja Dosen) adalah seberapa baik dosen dalam menjalankan tugasnya di kelas.” Jika ada komponen LKD yang tidak terpenuhi, dosen tidak bisa mendapatkan insentif. Jam mengajar dosen, utamanya dalam mengajar S2 dan S3, juga akan dikurangi apabila nilai evaluasinya rendah.
Walaupun evaluasi dosen dengan metode kuantitatif cukup memberikan gambaran mengenai kinerja dosen, beberapa mahasiswa FEB UGM menyayangkan tidak adanya kolom esai atau open-ended question pada evaluasi dosen di Simaster. Akibatnya, mahasiswa terkendala dalam mengutarakan alasan di balik penilaian yang diberikan. Hal tersebut juga menjadi perhatian bagi pihak akademik FEB UGM. Saat pengisian evaluasi dosen masih menggunakan platform Sintesis yang dikelola oleh FEB UGM, terdapat kolom penilaian kualitatif.
Sayangnya, kebijakan universitas mewajibkan seluruh fakultas untuk menggunakan Simaster. Mahfud mengungkapkan, “Kami (pihak FEB UGM) sudah meminta kepada universitas agar penilaian kualitatif bisa diakomodasi, tetapi sampai sekarang masih belum ada.” Baginya, kendala ini juga dapat memunculkan bias ketika mahasiswa harus mengisi poin evaluasi pemberian kuis/tugas apabila dosen tidak pernah memberikannya. “Misal, dinilai dengan angka 1 karena memang tidak ada kuis/tugas, tetapi bisa diinterpretasikan ‘tidak baik’ menurut metode kuantitatif,” tambahnya.
Selaku pihak akademik, Wayan berharap adanya pengembangan sistem evaluasi dosen. Dia menyatakan, “Saya berharap instrumen open-ended question bisa ditambahkan segera karena itu penting sekali. Dari sisi dosen, saya juga berharap hasil evaluasi dosen bisa dijadikan perhatian agar kedepannya dapat melanjutkan yang sudah baik dan memperbaiki apa yang masih kurang.”
Evaluasi dosen nyatanya bukan sekadar formalitas belaka, melainkan sebagai wadah bagi mahasiswa untuk turut andil dalam perbaikan dosen kedepannya. Pihak akademik juga mendukung penuh adanya pengembangan sistem evaluasi dosen. Dengan begitu, hasil penilaian diharapkan tidak hanya sebatas angka yang nirmakna, tetapi menjadi panduan bagi dosen untuk mengetahui apa saja yang harus dibenahi. Kesepahaman antara mahasiswa dengan pihak akademik menunjukkan adanya sinergi dari kedua pihak dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.