Penulis: Shinta Aritonang/ EQ
Editor: Frida Lucy/EQ
Layouter: Angger Robi M/EQ
Di malam yang tenang, Nara, gadis dengan kacamata yang bertengger di hidung, duduk di dekat jendela kamarnya. Hujan gerimis mengetuk-ngetuk kaca, menciptakan irama lembut yang mengisi keheningan di ruangan. Suara lagu Settled mengalun dari perangkat audio kecil di meja belajarnya, melengkapi suasana yang penuh refleksi.
Matanya terpaku pada layar laptop, menampilkan gambar-gambar bangunan tua yang anggun dan penuh cerita. Ia sedang menjelajahi kota di utara, sebuah tempat yang terasa asing namun sangat dekat di hatinya. “Suatu hari nanti,” gumamnya pelan, seolah mengajak semesta untuk mendengarkan harapannya.
Kota itu, dengan menara-menara menjulang ke langit kelabu, seolah memanggilnya. Di sana, pengetahuan dan sejarah bertemu, ribuan orang datang mencari jawaban dari lembar-lembar buku berdebu. Setiap kali mendengar cerita tentang kota itu, ada getaran dalam dirinya—sebuah panggilan jiwa yang tidak bisa diabaikan.
“Aku ingin berada di tempat di mana sejarah dan ilmu bertemu,” bisiknya lirih. Kata-kata itu mengalir dengan tenang, mencerminkan keinginan yang selama ini terpendam. Nara menyadari bahwa kota itu bukan sekadar tujuan, melainkan perjalanan untuk menemukan bagian dari dirinya yang belum pernah ia kenali.
Setiap malam sebelum tidur, ia membayangkan dirinya berjalan di taman kota itu, duduk di bangku dengan sebuah buku di tangan. Dikelilingi oleh bangunan tua yang menjulang, ia merasakan hembusan angin musim gugur dan aroma tanah basah usai hujan. Dari kejauhan, suara percakapan tentang ilmu dan sejarah mengisi udara—seakan menjadi bagian dari narasi besar yang sedang berlangsung.
Di tengah lamunannya, Nara menarik napas panjang, seolah berusaha mengisi rongga dadanya yang kosong dengan keberanian. Ia meraih ponsel yang tergeletak di samping laptop, jemarinya gemetar saat membuka aplikasi WhatsApp. Dengan ragu, ia menggulir ke bawah, mencari nama yang sudah lama terkubur dalam daftar kontaknya—tersembunyi tetapi tak pernah benar-benar dilupakan.
Akhirnya, ia menemukan nomor itu. Terpampang sebuah nama yang dulu selalu menjadi tempatnya berbagi tawa dan rahasia, tapi kini terasa begitu jauh, seperti bagian dari dunia yang hanya ada dalam ingatan.
“Hi, apa kabar?”
“Apakah kota itu memelukmu dengan erat?”
Pesan itu sederhana, namun sarat dengan kerinduan yang tak mampu diungkapkan dalam kata-kata. Sebelum pikirannya berubah, ia menekan tombol kirim. Pesan itu pun meluncur, menghilang dalam kehampaan digital.
Hanya satu tanda centang yang muncul. Tak ada pertanda bahwa pesan itu diterima, apalagi dibaca. Hatinya terasa sesak, lara menyelimuti hatinya, seolah ada yang runtuh perlahan. Ia meletakkan ponselnya, mengembuskan napas panjang, seolah menyerahkan segalanya pada semesta.
“Jika kota itu tak bisa membawaku kepadamu, maka biarlah doa yang melakukannya,” gumamnya lirih. Kerinduan ini tidak sederhana—bukan sekadar tentang seseorang, tapi juga tentang kepingan jiwa yang tersangkut di sana, di kota yang jauh di utara itu. Alunan lagu I Pray dari LANY mengalun, seakan semesta paham benar apa yang sedang dirasakannya. Musik itu seperti doa, menghantar rindunya yang membuncah, menari dalam sunyi yang hanya dipahami oleh mereka yang pernah merindu.
Nara menatap keluar jendela, memperhatikan rintik hujan yang jatuh dari langit malam. Di balik gerimis itu, ia membayangkan orang itu, mungkin sedang berjalan di bawah lampu-lampu kota yang berpendar temaram, sama seperti yang ia impikan. Kenangan mereka berdua—yang selalu ia simpan rapat-rapat—terasa nyata, meski tak ada jaminan kapan akan kembali terulang.
Namun, bersamaan dengan kerinduan itu, Nara juga merasakan sebuah keberanian baru yang muncul dari dalam dirinya. Ia mengerti bahwa ini bukan lagi tentang menunggu atau sekadar mengenang. Ia baru saja mengambil langkah pertama, keputusan yang mungkin belum mengubah apa pun di luar sana, tetapi di dalam dirinya, segalanya telah dimulai.
Sebuah perjalanan panjang, ke tempat jauh di utara, di bawah langit kelabu yang pernah ia lihat dalam mimpinya, kini menanti. Meski tak tahu apakah perjalanan ini akan mempertemukannya kembali dengan orang itu, ia percaya bahwa inilah jalan yang harus ditempuh.
Di bawah hujan malam itu, ia merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya, mendorongnya untuk terus melangkah meski jalan di depan mungkin penuh liku. Nara tahu bahwa setiap detik adalah kesempatan untuk menciptakan kisahnya sendiri—sebuah kisah tentang keberanian, penemuan diri, dan harapan yang tak pernah padam.