Penulis: Abdullah Mufidan dan Yulia Dwi Kustari/EQ
Ilustrasi Oleh: Agil Alya Fadhilah/EQ
Fenomena Bersosial Media Ala Pemerintah
Fenomena tren baru yang dilakukan oleh akun media sosial pemerintahan dimulai dengan ramainya atensi masyarakat kepada cuitan TNI Angkatan Udara pada 2016 lalu. Hal ini berkaitan dengan cara mereka yang berbeda dalam menyampaikan pesan ke masyarakat. Alih-alih menggunakan rute komunikasi sentral yang serius dan formal, mereka justru menyampaikan informasi dengan cara melucu. Tak disangka, dengan cara yang atraktif ini mereka mampu menggaet lebih banyak followers dan perhatian warganet.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak akun resmi lembaga pemerintah yang mengikuti cara tersebut. Rute pinggiran berupa konten trendi menjadi andalan beberapa akun lembaga pemerintah untuk merespons maupun menyampaikan informasi kepada masyarakat. Bahkan, akun pemerintah juga sering mengaitkan penyampaian informasi dengan tren yang ada pada media sosial. Ramainya fenomena ini sering kali terjadi pada media sosial Twitter. Beberapa akun pemerintah yang menggunakan rute pinggiran dan turut memanfaatkan tren di masyarakat untuk menarik perhatian warganet dalam penyampaian informasinya antara lain TNI AU, Bank Indonesia, Kemdikbud RI, Itjen Kemendikbud, BMKG, Kementerian PUPR, Ditjen Pajak RI, dan masih banyak lagi.
Latar Belakang, Tujuan, dan Pedoman Penggunaan Media Sosial oleh Pemerintah
Pada Januari tahun 2022 ini, We are Social melaporkan data yang menunjukkan bahwa pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta. Faktanya, ini bukan angka yang kecil mengingat pengguna media sosial mencapai 68,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Angka pengguna aktif media sosial tahun 2022 ini meningkat sebesar 12,6 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 170 juta pengguna aktif pada tahun 2020. Peningkatan paling tinggi terjadi pada tahun 2017, terjadi pertambahan pengguna media sosial dari 79 juta menjadi 106 juta atau sebesar 34,2 persen. Tren peningkatan pengguna media sosial terus terjadi setiap tahunnya.
Media komunikasi digital digunakan oleh organisasi atau instansi pemerintah sebagai saluran komunikasi dengan masyarakat dan media pemasaran. Media sosial juga menawarkan kecepatan dan ketepatan untuk berpartisipasi dalam pertukaran informasi secara daring. Melihat nilai fungsional dan banyaknya pengguna, lembaga pemerintah pun turut memanfaatkan media sosial. Pemerintah menggunakan media sosial sebagai cara untuk menjalankan fungsi humas pemerintah, seperti menyebarluaskan informasi mengenai kebijakan pemerintah, menampung dan mengolah aspirasi masyarakat, serta membangun kepercayaan publik guna menjaga citra dan reputasi pemerintah.
Sebagai standardisasi penggunaan media sosial lembaga pemerintah, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia menerbitkan Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi pemerintah Nomor 83 Tahun 2012. Pedoman tersebut berisi ketentuan-ketentuan umum pemanfaatan media sosial, mulai dari latar belakang, tujuan, etika, perencanaan, strategi, hingga evaluasi penggunaan media sosial. Etika penggunaan media sosial yang ada pada pedoman tersebut dimulai dari menjunjung tinggi kehormatan instansi hingga menerima informasi publik dengan akurat. Selain harus memegang kuat etika yang telah ada, media sosial humas juga harus memenuhi prinsip kredibel, berintegritas, profesional, responsif, terintegrasi, dan memenuhi asas keterwakilan.
Namun, lembaga pemerintah juga mengalami dilema yang cukup serius terkait penggunaan media sosial ini. Di satu sisi harus tampil formal untuk tetap menjaga wibawa suatu instansi pemerintah, tetapi di sisi lain juga harus terlihat luwes dalam menyesuaikan diri dengan situasi di media sosial agar mendapat atensi warganet. Melihat adanya dilema ini, Ade Armando, seorang pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI), mengungkapkan pendapatnya bahwa penyesuaian gaya di media sosial seharusnya tidak mengurangi fungsi akun lembaga resmi sebagai andalan publik untuk mendapatkan informasi. Artinya, gaya lucu dan atraktif boleh dilakukan asalkan tujuan dari pesan yang disampaikan tetap tercapai.
Sebagai contoh adalah akun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemdikbud RI) yang menggunakan rute pinggiran atau candaan dalam merespons warganet di media sosial. Mereka mengaitkan beberapa hal dengan tren yang sedang booming di masyarakat seperti K-pop. Hal ini dilakukan tanpa menghilangkan highlight mengenai masalah yang dibahas. Hasil yang didapatkan adalah banyaknya respons dan tanggapan positif dari masyarakat.
Akan tetapi, terdapat juga akun media sosial resmi pemerintah yang menjalankan fungsinya dengan kurang tepat. Contohnya adalah akun Twitter Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang cuitannya malah mendapat feedback negatif dari pengguna media sosial. Hal ini disebabkan karena informasi mengenai awal dari musim hujan disajikan menggunakan candaan dengan bumbu-bumbu masalah cinta yang terkesan garing. Hasilnya adalah candaan tersebut yang menjadi fokus dari masyarakat, bukan informasi mengenai awal dari musim hujan.
Belajar dari peristiwa tersebut, lembaga pemerintah harus mengetahui dengan baik kapan waktu yang tepat untuk memasukkan unsur trendi ke dalam penyampaian informasi melalui media sosial. Mereka juga harus paham bahwa setiap media sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan pun harus berbeda. Oleh karena itu, lembaga pemerintah dalam menjalankan praktiknya harus berhati-hati dalam memilah, memilih, dan menyusun narasi media sosial yang tepat dan sesuai.
Seberapa Powerful Media Sosial Pemerintah Indonesia Dibandingkan Amerika
Seperti halnya Indonesia, Amerika Serikat juga menggunakan media sosial untuk dapat meningkatkan interaksi dua arah antara pemerintah dan warga negara, yang mana merupakan hal penting dalam negara demokrasi. Media sosial dipandang sebagai cara yang lebih efektif dan efisien untuk dapat melakukan interaksi secara langsung dengan warga negara dibandingkan menggunakan cara seperti konferensi pers atau tayangan di televisi. Saking pentingnya, banyak institusi di AS yang menganggap penggunaannya media sosial sebagai salah satu mission-critical.
Survei yang dilakukan oleh Ohio University pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen orang dewasa di AS menggunakan media sosial untuk mencari informasi mengenai pemerintahan setidaknya sekali tiap minggunya. Akan tetapi, hanya ada sekitar 11 persen saja yang percaya dengan informasi di media sosial. Hal inilah yang menjadi hambatan dalam menggunakan media sosial untuk pemerintahan di AS. Di sisi lain, berdasarkan data dari We Are Social tahun 2022, Indonesia memiliki pengguna media sosial sebanyak 191,4 juta orang atau sebesar 68,9 persen dari total populasi. Dengan jumlah pengguna media sosial sebanyak itu, berdasarkan Edelman Trust Barometer Global Report 2022, Indonesia memiliki tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media sebesar 73 persen.
Lebih lanjut lagi, besarnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan jika dilihat dari perspektif penggunaan media sosial oleh institusi pemerintah. Apabila masyarakat percaya dengan informasi dari institusi pemerintah yang disampaikan melalui media sosial, tujuan dari institusi pemerintah untuk meningkatkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat dapat tercapai. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh instansi pemerintah di Indonesia dalam menggunakan media sosial, yang sekaligus menjadi fenomena baru di media sosial.
Salah satu yang turut meramaikan fenomena tersebut adalah akun Twitter BMKG. Contohnya ketika administrator akun BMKG menanggapi salah satu drama Korea yang kebetulan membahas tentang fenomena mengenai cuaca. Tidak hanya menanggapi, administrator akun BMKG juga menambahkan informasi edukasional tentang cuaca di Indonesia. Contoh lainnya adalah akun Direktorat Jenderal Pajak RI (Ditjen Pajak). Akun Ditjen Pajak memfokuskan sosialisasinya dengan memanfaatkan tren pamer harta di media sosial. Akun ini sering kali mengomentari pengguna media sosial yang memamerkan hartanya dengan caption lucu, menanyakan apakah si pengguna media sosial sudah melaporkan SPT Tahunan harta yang dipamerkannya. Hasil yang didapatkan oleh kedua akun pemerintah tersebut adalah tertariknya perhatian masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya likes dan retweet yang ada pada konten konten tersebut. Hal ini juga berarti bahwa informasi yang disampaikan pemerintah melalui media sosial dapat tersebar dengan lebih luas.
Hubungan Penggunaan Media Sosial Pemerintah dengan Good Governance
Penggunaan media sosial oleh instansi pemerintah yang ada di Indonesia sebenarnya bisa dikaitkan dengan usaha pengimplementasian good governance ke dalam pemerintahan. Good governance memiliki pengertian secara harfiah sebagai pengelolaan proses pemerintahan yang baik. Hal ini timbul sebagai respons dari kekhawatiran masyarakat akan terjadinya tindakan di luar batas yang muncul akibat adanya kebebasan yang dimiliki oleh pejabat negara (freies ermessen) (Arianto, 2006).
Komponen-komponen yang menyusun good governance sebagaimana dikemukakan oleh United Nation Development Program (UNDP) meliputi participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, dan strategic vision. Ke-8 komponen tersebut digunakan sebagai prinsip untuk mencapai pemerintahan yang dapat meminimalisasi korupsi, mendengarkan suara rakyat, dan meningkatkan kepedulian dengan kebutuhan rakyat baik di masa kini dan masa mendatang. Untuk dapat mencapai good governance, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, misalnya dengan menetapkan regulasi baik yang berkaitan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi dan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi (Hakim, 2016).
Media sosial menjadi salah satu alat yang sering digunakan pemerintah dalam memberikan informasi kepada warga negara. Penggunaan internet juga dapat mengurangi biaya pengumpulan, pengiriman, dan pengaksesan informasi pemerintah (Robets, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial oleh instansi pemerintah turut meningkatkan keefektifan, keterbukaan, dan keefisienan dari instansi tersebut. Meskipun demikian, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media sosial oleh humas instansi pemerintah (Kurniasih, 2013). Poin paling pentingnya ialah media sosial didesain untuk menjaga dan meningkatkan reputasi lembaga serta menggali aspirasi publik. Hal ini berkaitan dengan sifat media sosial yang dapat menjadi jejak digital bagi penggunanya.
Kesesuaian Fenomena Mengikuti Tren Media Sosial dengan Good Governance
Besarnya engagement yang didapatkan pemerintah dari fenomena mengikuti tren media sosial ini turut berperan dalam mencapai good governance. Hal ini disebabkan banyaknya engagement mengindikasikan bahwa informasi dari institusi pemerintah telah tersebar dengan luas di pengguna media sosial. Sebagai contoh adalah akun Twitter Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang kerap kali menggunakan meme dan joke ala pengguna Twitter. Tidak hanya itu, administrator akun Twitter Kementerian PUPR juga ramah dan akrab dengan pengguna Twitter lain. Beberapa kali pengguna Twitter me-mention akun Kementerian PUPR perihal adanya masalah pembangunan yang kemudian ditanggapi oleh administrator akun Kementerian PUPR. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena yang terjadi sekarang dapat ikut meningkatkan peran atau partisipasi masyarakat dalam mencapai good governance.
Kesimpulan
Rute komunikasi pinggiran atau periferal oleh akun media sosial dapat menjadi solusi yang digunakan pemerintah dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyampaian informasi. Cara ini bisa dikatakan tidak melanggar pedoman penggunaan media sosial oleh lembaga pemerintah apabila tujuan dari penyampaian informasi bisa tercapai. Penggunaan media sosial juga dapat menjadi salah satu alat untuk mendorong terciptanya good governance di Indonesia. Namun, penggunaan rute pinggiran yang kurang tepat akan berdampak fatal pada penerimaan informasi oleh masyarakat dan taruhannya adalah kredibilitas serta wibawa lembaga pemerintah. Cara ini tidak bisa digunakan untuk menyampaikan informasi resmi karena akan terlihat tidak profesional dan berpotensi menjadikan informasi sebagai “guyonan” padahal hal tersebut sangat krusial. Jadi, akun lembaga pemerintah harus memahami pada kondisi seperti apa cara penyampaian informasi dengan rute pinggiran dapat digunakan. Untuk mengoptimalkan cara ini, akun lembaga pemerintah harus mampu memperbaiki dan mengembangkan narasi media sosial yang menyenangkan, humanis, dan meningkatkan optimisme warganet dengan selalu memperhatikan audiens, studi kasus yang ada, latar belakang pengetahuan, dan strategi yang tepat.
Referensi
Henry, A. (2006). Implementasi Konsep Good Governance di Indonesia. Forum Ilmiah Indonusa, 3 (2), 24-28.
Hakim, A. (2016). Dinamika Pelaksanaan Good Governance di Indonesia (Dalam Perspektif Yuridis dan Implementasi). Civil Service, 10 (1), 15-33.
Kompastv. (2021). Twit Lembaga Pemerintah Nyeleneh, Sengaja? – Kata Netizen (2) [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=zzW-Zo2xU48&t=680s
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. (2012). Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012. Indonesia
Kurniasih, N. (2013). Penggunaan Media Sosial bagi Humas di Lembaga Pemerintah. Forum Kehumasan Kota Tangerang. Bogor: Pemda Tangerang, September 26
Ohio University. (2020). Social Media in Government: Benefits, Challenges, and Impact on Social Perception. https://onlinemasters.ohio.edu/blog/social-media-in-government/
Pemerintah Kabupaten Buleleng. (2017). Pengertian, Prinsip, dan Penerapan Good Governance di Indonesia. https://prokomsetda.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pengertian-prinsip-dan-penerapan-good-governance-di-indonesia-99
Riyanto, Andi D. (2022). Hootsuite (We are Social): Indonesia Digital Report 2022. https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2022/