Kemarin sore, seperti biasa saat pulang dari kampus aku meyempatkan diri untuk membeli wedang teh jahe murah di angkringan dekat rumahku. Wedang teh jahe adalah solusi disaat aku butuh penenang diri dari rutinitas sebagai mahasiswa yang kian hari kian sibuk. Sebetulnya, banyak temanku yang menawarkan cara lain untuk menenangkan diri. Ya, dengan rokok. Tidak, kutolak tawaran mereka karena aku sudah cukup muak dengan asap rokok yang mengepul dan justru tidak memberi manfaat apapun selain memberi bibit penyakit.
“Pak, wedangnya satu ya,” sapaku pada Bapak paruh baya yang entah sudah berapa lama berjualan angkringan di daerah ini. “Biasa mas? ini mumpung jarangnya baru mateng,” ujarnya seperti sudah hafal denganku. “Nggih, Pak. Biasa.” Sembari menunggu minumanku dibuat, aku mengeluarkan bekalku yang sengaja kubawa ke kampus karena perkiraanku hari ini akan lembur rapat seperti biasa. Akan tetapi, ternyata rapatku dibatalkan. Alhasil, kubawa pulang kembali bekalku dan kujatuhkan pilihanku untuk memakannya sembari bersantai sejenak di angkringan ini.
Sudah merupakan hobiku untuk minum di wedangan atau angkringan sejak kecil dengan ayah yang memiliki hobi yang sama. Bukan hanya sekedar Like Father Like Son, tapi angkringan selalu berhasil membuatku terkesan dengan obrolan renyah para pembeli yang secara tidak langsung membuka sudut pandangku pada berbagai hal.
“Monggo, Mas.” Akhirnya wedangku datang. Segera aku mencicipinya lalu menyantap bekalku. Sembari aku makan, pembeli banyak datang silih berganti. Entah hanya datang membeli gorengan, atau sekadar membeli nasi kucing sebungkus. Memang, kebanyakan pengunjung angkringan adalah bapak-bapak ataupun pemuda yang tak jarang akan merokok sambil bercengkrama di angkringan ini. Sudah kubilang aku muak dengan asap rokok bukan? Tak mengapa, aku selalu mendapat tempat duduk yang spesial di angkringan ini meski aku hanya anak rantau. Walaupun tidak terlalu mengenal bapak penjual angkringan ini, hakku tidak pernah terganggu.
“Pak, beli teh jahenya satu, jahenya sedikit aja, ” aku sedikit terkejut ketika ada sesosok perempuan yang berani membeli minum di angrkingan ini. “Diminum mriki napa dibetha wangsul mbak?” aku yang sedikit tergelitik pun memperhatikan karena perempuan ini mengambil posisi duduk disebelahku sembari memberi seyum sekilas pertanda permisi.”Disini aja pak,” jawab perempuan itu.
“Wah mbak suka teh jahe juga ?”
“Iya mas, enak di tenggorokan bikin anget.”
“Kuliah di Jogja mbak ?”
“Iya mas,” jawabnya simpel.
Aku diam sejenak tak melanjutkan pembicaraan beberapa saat.
“Kok ke angkringan mbak? Jenengan memang suka ke angkringan atau gimana? Maaf nih mbak sebelumnya, kan jarang ada perempuan suka ke angkringan buat beli minum.”
“Wah masnya ini masih primitif ya?” jawabnya sembari tertawa, “Saya memang suka ke angkringan mas, wedangnya enak, selain murah dan pas sama kantong mahasiswa, di angkringan saya juga dapat banyak inspirasi buat nulis dan mendapat pandangan baru dari masyarakat. Saya paham kalau perempuan memang jarang ke tempat seperti ini karena berbagai paradigma negatif atau hal lain. Akan tetapi, bagi saya, selama saya masih berlaku baik dan wajar serta menaati aturan yang ada, wajar-wajar aja kalau ada perempuan ke angkringan. Toh ini juga tempat makan banyak orang, dekat kampus juga.”
Jawabannya cukup membuatku terkesan. Aku melanjutkan, “Wah mbaknya bisa aja. Mbaknya nggak takut apa ke angkringan sendiri? Mbak kuliah di UGM kan ? saya lihat stikernya di helm mbak. Sebagai mahasiswa salah satu universitas terbaik di Indonesia, apa pandangan mahasiswa di lingkungan kampus masih kurang mbak? kan lingkungannya anak intelektual semua.”
“Iya mas saya kuliah di UGM. Justru itu mas, saya merasa masih kurang berwawasan karena teman-teman dan lingkungan kampus saya pinter semua. Kita kan mahasiswa, ya harus tetap terbuka sama pandangan masyarakat mas.Nah saya bisa dapet itu dari angkringan mas. Ya walaupun sedikit, tapi tetep nambah pengetahuan saya. Selain itu, karena saya perempuan juga, saya juga butuh informasi terkini mengenai masyarakat di lingkungan sekitar saya. Harus terbuka sama hal baru pokoknya mas. Masnya kuliah di UGM juga?”
Sangat terkesan. Aku terdiam beberapa saat. “Iya saya juga kuliah di UGM mbak. Wah iya juga ya mbak. Setelah dipikir-pikir , omongannya mbak tadi ada benarnya juga.”
Maksudku, sepaham. Sepaham denganku. Kebetulan? Siapa yang tau. Aku sendiri terlalu takut untuk mengambil kesimpulan dari obrolan singkat ini. Obrolan singkat yang membuatku terkesima.
“Mari mas, saya duluan,” Ternyata wedang teh jahe mbak ini sudah habis. “Iya mbak, ngatos-atos nggih,” Dirinya berlalu disampingku setelah membayar wedang. Seketika aku merasa aneh.
Tunggu.
Aku lupa menanyakan namanya.
(Astrid Nasanti P.L./EQ)
Discussion about this post