Perlu diketahui bahwa istilah “rektor” kebanyakan hanya dipakai di perguruan tinggi di Eropa dan beberapa di Asia. Karena di belahan negara lain, istilah untuk ketua perguruan tinggi ini disebut chancellor, president, dan lain sebagainya. Walaupun di sini penulis ingin fokus kepada masalah rektor di Indonesia, mungkin bahasan ini kurang lebih juga akan mepresentasikan lika-liku chancellor, president, atau bahkan ‘Excelentísimo e Ilustrísimo Señor Professor Doctor Don (Spanyol).
Pertengahan tahun 2016, dunia pendidikan Indonesia seakan ditantang untuk adaptasi dengan globalisasi yang ada. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir mengatakan, “Presiden mengarahkan agar pendidikan tinggi Indonesia itu mampu bersaing di kelas dunia.” Syok dan syak kepada keadaan pendidikan di Indonesia, maka atas nama efektivitas dan efisiensi, top-down approach pun sempat terbesit oleh pemerintah: impor rektor.
Kejadiannya di Indonesia, menurut peneliti Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, bahwa “mengimpor” rektor pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ideal dilakukan jika memenuhi dua perkara. Pertama, secara mutlak dirasa sudah tidak ada lagi akademisi atau intelektual yang mumpuni dan yang kedua, hasil impor tersebut harus bisa benar-benar menjamin peningkatan kualitas pendidikan yang ada.
Sudah jatuh tertimpa tangga, beruntun sudah tambahan pikiran untuk para rektor yang sebelumnya pada tanggal 20 Mei 2016, aksi oleh mahasiswa ramai dilakukan di Indonesia dan beberapa terkesan “menyerang” rektorat demi tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh golongan tersebut. Namun terbesitkah oleh para aktivis itu, bagaimana sebenarnya para rektor itu berdilema setiap harinya?
Pada suatu hari di Juni 1969, Dr. Charles Johnson yang berumur 48 tahun, meninggal pada kecelakaan tragis di dalam Volkswagennya yang bertabrakan dengan truk gandeng bermuatan kayu yang total bobotnya 36 ton. Beliau merupakan presiden (rektor) dari University of Oregon pada periode tersebut. Tikungan tajam pada tempat kejadian perkara memang sangat berbahaya. Ditambah dengan rumor bahwa beliau terkenal sembrono dalam mengemudi, jadi tak heran banyak orang “me-wajarkan” peristiwa tersebut.
Dalam gaya kepemimpinannya, Dr. Johnson sering dianggap sangat kompromistis dan liberal, yang menurut istilah kita “musyawarah”. Menurut pakar kepemimpinan Warren Bennis, memusyawarahkan perbedaan yang mengandung banyak nilai dan moral bersifat antithesis juga paradoks, akan jauh lebih muskil dibandingkan menimbang hal-hal yang seperti misalnya, masalah keuangan atau kepentingan ekonomi.
Hantaman sosial, politik, dan finansial inilah yang jarang disoroti media massa itu dalam kematian sang “pengambil jalan tengah”. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 1978-1983, Daoed Joesoef, berpendapat bahwa kepemimpinan seorang rektor ialah berciri ganda: administrator sebuah lembaga negara yang vital dan sekaligus menjadi pemimpin akademik oleh suatu masyarakat akademik. Menjadikan selaras antara suatu kebijakan dengan suatu misi atas masyarakat yang berisi ilmuwan dan problema sosial maupun finansial, merupakan hal yang tidak semena-mena.
Akhir kata, izinkanlah penulis mengutip satu celotehan serius dari Herman B. Wells, tepat setelah ia meninggalkan jabatannya sebagai Presiden Universitas Indiana, “Seorang presiden universitas seharusnya manusia yang mempunyai stamina fisik seorang altet Yunani, memiliki kelicinan Machiavelli, kebijaksanaan seperti Raja Sulaiman, dijiwai keberanian seperti seekor singa, dan terutama ia harus mempunyai “perut seekor kambing”—persyaratan yang luar biasa berat untuk dipenuhi!”
Gampang kan?
(Apadong/EQ)
ilustrasi: tobasatu.com
Discussion about this post