Penulis: Ana Anselma dan Annisa A. Salsabiila/EQ
“Unpaid labor is a disgusting manipulation tactic which preys on young, unprotected workers. If you need interns then you MUST have the budget to pay their service.”
Kicauan ini dilontarkan oleh pengguna Twitter dengan nama akun @ichanishka yang mengkritik unggahan milik The Conversation Indonesia pada 22 Juli 2020 lalu. Pada unggahan tersebut, perusahaan yang bergerak di bidang multimedia ini mengumumkan iklan lowongan magang mereka. Dalam iklan tersebut, tertulis bahwa lowongan magang ini bersifat unpaid, dimana pemagang tidak diberikan bayaran/upah selama mereka bekerja di perusahaan tersebut.
Kecaman serta kritik negatif langsung membanjiri kolom komentar unggahan milik The Conversation Indonesia. Dua hari setelahnya, pada tanggal 24 Juli 2020, perusahaan tersebut mengumumkan klarifikasinya melalui website resmi mereka, theconversation.com. Ditulis langsung oleh Manajer Pengembangan Khalayak The Conversation Indonesia, klarifikasi ini menerangkan bahwa program tersebut berfokus pada pengembangan portofolio peserta magang sebelum memasuki dunia kerja. The Conversation Indonesia tidak ingin melewatkan kesempatan bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa muda yang berbakat. Pada pemaparannya, mereka juga menyebutkan bahwa program magang mereka dirancang agar mahasiswa tidak mengerjakan hal-hal remeh. Program ini berisi kegiatan beragam mulai dari melakukan riset, menerjemahkan artikel berbahasa Inggris, menerjemahkan artikel ke infografis, mewawancarai narasumber, hingga menyunting dan menerbitkan naskah dari akademisi.
Fenomena unpaid internship atau yang disebut sebagai magang tak dibayar ini memang sudah umum terjadi di Indonesia. Banyak perusahaan penyedia lowongan unpaid internship menawarkan berbagai jenis kegiatan serta agenda. Bahkan, tak jarang pula beberapa perusahaan ini menjanjikan sertifikat kepada peserta yang telah selesai mengikuti program magang. Hal ini tentu banyak digandrungi para mahasiswa yang sedang gencar mencari pengalaman bekerja atau meng-upgrade Curriculum Vitae (CV) mereka. Lantas bagaimana mahasiswa menyikapi fenomena unpaid internship ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami telah mewawancarai sejumlah mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisns Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) yang pernah mengikuti program internship.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan narasumber yang pernah mengikuti program internship, mereka mengaku mendapatkan pengalaman bekerja, sertifikat, serta sejumlah kenalan dan “jaringan” yang mungkin akan berguna di masa mendatang. Namun, beberapa dari mereka berterus terang bahwa selama menjalani program magang, mereka tidak mendapatkan upah sepeserpun. Mereka juga mengaku merasa kontra dengan adanya fenomena unpaid internship ini.
Mahasiswa-mahasiswa ini menjelaskan bahwa untuk sampai ke tempat bekerja sendiri dibutuhkan transportasi yang biayanya lumayan merogoh kocek. Selain itu, seorang mahasiswa juga menyayangkan bahwa instansinya tidak memberikan upah yang sepadan. Padahal menurutnya, tanggung jawab serta beban yang dirasakan selama ia bekerja tidak kalah besar dengan karyawan lain. Menurutnya, apapun jenis pekerjaan serta tanggung jawabnya, pegawai magang haruslah tetap dibayar.
Beberapa mahasiswa lain yang kami wawancarai ternyata memiliki pandangan berbeda. Mereka merasa tidak masalah dengan adanya fenomena unpaid internship di berbagai perusahaan dan instansi di Indonesia. “Unpaid internship tidak masalah, asalkan sudah disebutkan di awal, periode waktu magangnya masih wajar, dan jobdesc yang diberikan ke intern akan menambah skill dan kemampuan mereka, jadi kesannya sudah ada perjanjian dan tidak ada yang dirugikan. Intinya sama-sama menguntungkan lah,” jelas salah satu mahasiswa FEB UGM berinisial CA yang pernah menjalani program internship di perusahaan layanan dan teknologi informasi. Baginya, internship juga memiliki nilai tambah dalam hal pengalaman kerja yang tidak didapatkan di ruang kuliah.
Mahasiswa lain yang kami wawancarai juga berpandangan bahwa seharusnya sebelum mendaftar, kandidat harus memperdalam informasi mereka mengenai program internship yang akan diikuti. Dengan begitu, para pendaftar terhindar dari kekecewaan akibat ekspektasinya tidak sesuai dengan kenyataan pada saat menjalani magang. Namun, mahasiswa-mahasiswa ini menyepakati bahwa setiap perusahaan yang menawarkan lowongan internship harus tetap memberikan layanan fasilitas kantor yang baik.
Fakta lain juga kami temukan melalui wawancara dengan beberapa mahasiswa. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, tidak sedikit pula mahasiswa yang mendapatkan bayaran dari perusahaan tempat ia melakukan magang–terlepas dari layak atau tidak layaknya upah yang mereka dapatkan. Yang menarik di sini adalah fakta bahwa beban kerja peserta magang, baik yang dibayar maupun tidak dibayar, hampirlah sama. Mereka sama-sama mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang cukup krusial dan strategis bagi perusahaan tempat mereka bekerja. Biasanya, perusahaan yang membayar pegawai magangnya memang merupakan perusahaan yang sudah mapan secara finansial. Lantas, apakah boleh perusahaan tidak membayar pegawai magangnya atas dasar kemampuan finansial perusahaan?
Janggal rasanya apabila memutuskan benar atau salah terhadap suatu hal tanpa berpedoman pada hukum. Untuk itu mari kita cermati apa saja yang ada dalam Peraturan Perundang-undangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemagangan. Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Pemnaker) Nomor 6 tahun 2020 Pasal 9, peserta magang adalah mereka yang umurnya minimal 17 tahun, sehat baik jasmani maupun rohani, serta dinyatakan lolos seleksi pegawai magang yang diselenggarakan oleh instansi tempat ia melamar. Hak-hak pegawai magang juga sudah tertulis jelas di dalam Pemnaker. Hak tersebut meliputi hak memperoleh bimbingan dari pembimbing atau instruktur, hak atas fasilitas keselamatan dan kesehatan selama mengikuti pemagangan, hak untuk memperoleh uang saku, hak diikutsertakan dalam jaminan sosial, serta hak untuk memperoleh sertifikat pemagangan atau surat keterangan telah mengikuti pemagangan.
Akan tetapi, seperti telah dijabarkan sebelumnya, hasil wawancara kami dengan para mahasiswa menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka memang tidak memedulikan perolehan insentif, gaji, atau jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka magang. Mereka mengakui bahwa biaya yang mereka keluarkan selama magang memang cukup besar, tetapi mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu masalah. Sebab, motivasi utama mereka dalam menjalani magang adalah untuk mencari pengalaman perihal dunia kerja serta mengimplementasikan dan mempertajam ilmu yang mereka pelajari selama kuliah.
Motivasi tersebut memang tidak salah sama sekali. Apalagi jika opini tersebut datang dari mahasiswa dengan latar belakang ekonomi di atas rata-rata. Akan tetapi, bagaimana nasib mahasiswa lain yang tidak memiliki kemampuan finansial memadai untuk bekerja dari pagi sampai sore tanpa imbalan sepeserpun? Mereka adalah orang-orang yang terhimpit oleh dua sisi; universitas yang menuntut mahasiswanya untuk melakukan magang, serta perusahaan yang memanfaatkan tuntutan tersebut untuk merekrut para mahasiswa dengan iming-iming nambah pengalaman yang memang terlihat sangat menggiurkan.
Dalam realitanya, memang tidak semua perusahaan memiliki kemampuan finansial untuk dapat menggaji para pegawai magang mereka. Seperti The Conversation Indonesia yang akhirnya membatalkan lowongan magangnya setelah mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Mereka mengakui alasan utamanya tidak membayar pegawai magangnya adalah karena kondisi finansial perusahaan yang belum memadai. Apabila perusahaan-perusahaan lain yang senasib dengan The Conversation Indonesia memutuskan untuk menutup lowongan unpaid internship, maka dua belah pihak akan dirugikan, baik perusahaan maupun pelamar magang. Pelamar akan dirugikan karena jumlah perusahaan yang menyediakan lowongan magang berkurang, sehingga mereka akan kesulitan mencari tempat untuk magang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa antara perusahaan dan mahasiswa memang saling membutuhkan perihal pemagangan. Akan tetapi, tetap saja program pemagangan tanpa imbalan sepeserpun adalah tindakan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Walaupun sebetulnya para mahasiswa juga tidak mengharapkan imbalan yang tinggi dari perusahaan tempat mereka magang. Namun, setidaknya perusahaan memberikan upah untuk biaya operasional yaitu uang untuk makan siang dan transportasi, serta memberikan sertifikat yang dapat menunjang karier mereka kelak. Jika ketiga hal mendasar tersebut tidak mampu dipenuhi oleh perusahaan, menutup lowongan magang seperti yang dilakukan The Conversation Indonesia adalah jalan paling bijaksana.
Discussion about this post