Penulis: Nicolas Gea/EQ
Ilustrasi oleh M. Akmal Farouqi/EQ
Selama berabad-abad manusia berusaha menciptakan sebuah alat yang bisa digunakan untuk menangkap dan menyimpan suatu objek. Alat itu saat ini dikenal sebagai kamera. Sejarah panjang penemuan kamera menemui titik terang saat Joseph Niepce memublikasikan hasil foto yang ditangkap dari alat yang menjadi cikal bakal kamera modern. Saat ini terdapat beberapa jenis kamera, mulai dari kamera dengan media film hingga kamera digital. Jenis kamera yang menggunakan media film untuk memproyeksikan objek dikenal dengan sebutan kamera analog. Belakangan, beberapa pehobi fotografi mulai jenuh dengan penggunaan kamera digital. Sebagian dari mereka ingin merasakan sensasi menggunakan teknologi lawas sehingga mereka mulai melirik kamera analog kembali. Dengan kata lain, kamera analog seakan bangkit dari kuburnya. Pehobi fotografi mungkin mencari kamera tuanya yang sudah tenggelam di dalam gudang, bahkan ada beberapa pehobi yang rela mengeluarkan uang untuk membeli peranti tersebut.
Kamera analog memang tidak mudah untuk digunakan. Jumlah gulungan film yang terbatas membuat orang lebih mempertimbangkan trade-off antara momen yang diambil dan jumlah gulungan film. Penggunaan kamera analog bak senapan api. Kamera ini harus dikokang terlebih dahulu untuk menyiapkan lembar film yang baru. Perhitungan dan keyakinan diperlukan sebelum jari menekan tombol shutter. Tidak ada layar mungil pada bodi kamera yang menampilkan hasil jepretan kamera. Yang ada hanya ada rol film yang terus berkurang beriringan dengan jumlah momen yang diabadikan. Kepekaan cahaya (ISO) yang tidak bisa diubah melalui bodi kamera membuat seseorang lebih berhati-hati dalam mengalkulasi intensitas cahaya di sekitar objek. Ketidakpraktisan itu menjadi obat kerinduan bagi pengguna lama sekaligus pemuas rasa ingin tahu bagi orang yang belum pernah mencicipi sensasi menggunakan kamera analog. Ketidakpraktisan itu juga yang menjadi seni dalam menggunakan kamera analog.
Di balik itu semua, kamera analog memiliki suatu aspek yang disukai banyak orang yaitu warna yang bisa dihasilkan. Hasil dari cahaya yang dilukis di dalam rol film bergantung pada jenis rol film yang digunakan. Pemilihan jenis rol film yang tepat akan menghasilkan tone warna yang indah tanpa perlu proses edit secara digital. Warna yang indah itu dipercantik lagi dengan timbulnya bintik-bintik hasil dari pencucian dengan bahan kimia. Tidak hanya mempercantik, bintik-bintik yang sering disebut grain ini juga menimbulkan kesan retro. Kesan yang menyeret perasaan dan imajinasi seseorang untuk menilik masa lalu seakan foto yang diambil berasal dari beberapa dekade yang lampau.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengguna kamera analog memang mengalami peningkatan. Akan tetapi, belakangan pula produsen kamera merasakan penderitaan. Tahun demi tahun berbagai inovasi terus membombardir berbagai jenis teknologi, tak terkecuali kamera. Dahulu kamera harus menggunakan rol film untuk menangkap dan menyimpan citra objek. Tidak hanya itu, rol film juga harus diproduksi dengan cara yang sangat kompleks. Hanya perusahaan besar dengan teknologi mumpuni yang bisa memproduksinya sehingga hanya ada segelintir perusahaan yang bisa memproduksi. Lambat laun kamera mencapai era digital yang memudahkan seseorang untuk mengabadikan momen dengan lebih cepat dan melihat hasil jepretan mereka dalam hitungan detik. Kini teknologi kamera sudah bisa ditemukan di semua smartphone dengan kemampuan yang hampir setara dengan kamera analog maupun digital.
Pergeseran teknologi dan hilangnya barrier merupakan celah bagi smartphone untuk memasuki pasar kamera. Hal inilah yang menyebabkan perusahaan kamera harus bisa bertahan dengan keuntungan yang terus menurun. Berdasarkan data yang dirilis Camera and Imaging Products Association (CIPA) pada tahun 2018, pasar kamera di Asia turun sebesar 28% dan kemungkinan akan terus menurun. Naiknya penggunaan kamera analog tidak bisa mengambil andil besar dalam meningkatkan pendapatan perusahaan kamera. Sebaliknya, seperti yang dilansir dalam CNBC, penjualan gulungan film dari Fujifilm hanya menyumbang kurang dari satu persen (1%) dari pendapatan mereka. Dengan demikian, booming-nya kamera analog hanya memenuhi pasar nostalgia dan itu tidak cukup meningkatkan pendapatan berbagai produsen kamera. Fenomena naiknya kamera analog beberapa tahun terakhir memang dapat dilihat sebagai sinyal bahwa masih ada beberapa orang yang ingin merasakan pengalaman menggunakan kamera tua ini. Tone warna dan sensasi yang unik menjadi daya tarik terkuat untuk menggunakan kamera jenis ini. Akan tetapi, sebagian besar orang menggunakan kamera analog hanya sebagai selingan untuk mengatasi kerinduan, tidak lebih dari itu. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan jika fenomena ini tidak akan bertahan terlalu lama. Produsen hanya bisa harap-harap cemas dengan tren penggunaan kamera yang mengalami penurunan. Profit yang semakin rendah tidak lantas membuat mereka menghentikan produksi dan menelantarkan pengguna setia mereka. Akhirnya, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk bernostalgia. Menjajal sensasi kamera analog yang mungkin sudah berada di ujung asa.
Discussion about this post