Oleh: Angelica Andrea C.T./EQ
Tempat tinggal merupakan tujuan seseorang untuk pulang, beristirahat, bahkan terkadang menjadi satu-satunya tempat pemberi rasa aman dan nyaman. Dikutip dari Interiordesign.id, hasil survei Houzz menunjukkan 87% dari 6.000 responden menyatakan bahwa desain rumah memengaruhi tingkat kebahagiaan penghuninya. Namun, hal ini bisa menjadi masalah tersendiri bagi mahasiswa yang merantau, terlebih bagi mahasiswa yang tidak memiliki kerabat di kota yang sama. Lantas, manakah pilihan tempat tinggal yang bisa membawa kebahagiaan bagi diri kita sendiri?
Berdasarkan survei terhadap puluhan mahasiswa UGM, 84% orang memilih indekos sebagai tempat tinggal paling sesuai untuk mahasiswa. Sementara jangkauan harga terbanyak yang dipilih berkisar antara Rp600.000,00 sampai Rp1.000.000,00. Dengan biaya tersebut, pertimbangan utamanya terletak pada ketersediaan wifi, kamar mandi dalam, dan jarak tempat tinggal dengan kampus.
Saat ini, indekos sebagai pilihan utama sudah memiliki tipe yang lebih spesifik. Label eksklusif yang menempel pada kos sudah umum didengar dan memberikan perbedaan tersendiri. Dilansir dari mamikos.com, indekos eksklusif memiliki fasilitas yang menyamai apartemen, tetapi dalam kemasan indekos dan harga rata-rata yang lebih murah. Beberapa fasilitas yang dimaksud adalah ketersediaan wifi, kamar mandi dalam, AC, tempat parkir mobil, ataupun layanan tambahan, seperti laundry dan membersihkan kamar.
Menurut seorang mahasiswa Manajemen 2019, indekos eksklusif dengan harga Rp2.500.000,00 memberikan kenyamanan, kebersihan, dan keamanan yang memuaskan. Namun, cerita berbeda didapatkan dari Jasmine, mahasiswi Akuntansi 2019. Indekos eksklusif yang dipatok dengan harga Rp1.700.000,00 sangat tidak worth it. Masalah-masalah kebersihan tidak kunjung diperbaiki, kebebasan orang asing memasuki wilayah indekos yang menimbulkan rasa was-was, dan pemilik yang kurang disenangi anak-anak kos menjadi penyebabnya. “Masak, salah satu anak kos sampai kejatuhan tikus. Ada juga yang kakinya digigit tikus, belum lagi rayap dan semut yang nggak hilang walaupun disemprot,” ungkap Jasmine.
Namun memang, kedua mahasiswa tersebut mengakui indekos eksklusif menang dengan letaknya yang dekat dari kampus. Fasilitasnya pun sudah mencakup AC, kamar mandi dalam, wifi, sampai TV. Bahkan, tempat tinggal mereka berani menyediakan jasa laundry dan pembersihan kamar, tanpa membayar biaya tambahan. Lingkungannya pun cenderung individualis karena tidak semua anak kos berstatus mahasiswa, sehingga kepentingan masing-masing menjadi yang utama dan saling menyapa bukan lah keharusan yang menjadi budaya.
Lalu, bagaimana dengan apartemen yang fasilitasnya kurang lebih sama dengan indekos eksklusif? Salah seorang mahasiswi Manajemen 2019 menceritakan harga sewa apartemen mencapai Rp3.000.000,00 sampai Rp4.000.000,00 per bulan. Dengan harga ini, apartemen menyediakan fasilitas tambahan yang menggiurkan dan sesuai untuk mahasiswa seperti, lift, wifi, laundry, kafe, tempat parkir, kolam renang, gym, minimarket, sampai coworking space. Keamanannya pun sudah menggunakan kartu akses yang hanya bisa digunakan untuk lantai tertentu.
Akan tetapi, adanya fasilitas canggih, lift dan tempat parkir, justru menimbulkan kontra tersendiri. Lift membuat mahasiswa malas untuk bolak-balik. Tempat parkir dengan desain kurang baik juga menyulitkan pengendara yang baru bisa menyetir mobil. Selain itu, mahasiswi tersebut juga mengaku menambahkan daya listrik di apartemennya, “Daya listriknya terlalu kecil jadi kalau dipakai macem-macem bakal jeglek.”
Pilihan tempat tinggal ini memang dikarenakan apartemen yang ditempati merupakan bentuk investasi yang sudah ada sebelum mahasiswi tersebut resmi diterima di UGM. Sementara preferensi pribadinya jatuh pada indekos. Perasaan sendiri, tanpa mengenal tetangga apartemen sama sekali, menjadi alasan utamanya. Namun, tinggal di apartemen akan mengasah tanggung jawab diri sendiri. Tidak adanya aturan mengharuskan setiap mahasiswa membuat batasannya masing-masing.
Tidak seperti sebelumnya, berbagi tempat tinggal dengan orang lain juga bisa menjadi salah satu alternatif. Menurut Zaidan, mahasiswa Ilmu Ekonomi (IE) 2018 yang pernah mencicipi kehidupan indekos, keputusan pindah ke kontrakan bersama kelima teman jurusannya dirasa lebih menarik. Alasan utamanya adalah biaya yang lebih murah. Dengan jumlah tujuh kamar, tanpa ada fasilitas tertentu, setiap mahasiswa membayar Rp416.000,00 setiap bulan. Sebab lainnya adalah kehidupan kontrakan yang lebih ramai, tidak individualis, dan cerita seru yang akan lebih banyak terukir. Zaidan pun mendukung dengan mengungkapkan, “Setelah satu bulan libur kuliah, aku lebih kangen kontrakan daripada kuliah.”
Tidak bisa dipungkiri, keramaian yang tercipta memaksa adanya toleransi tinggi dan privasi yang berkurang karena kontrakan bersifat milik bersama. Keamanan kontrakan juga tidak bisa disamakan dengan indekos maupun apartemen. Untuk menyiasati hal tersebut, Zaidan dan teman-teman harus memilih jadwal kuliah yang berbeda agar kontrakan tidak kosong. Lingkungan sekitar pun bisa menjadi salah satu asal permasalahan. “Tetangga kontrakan ada yang punya ayam, tapi nggak mau rumahnya kotor. Terus dengan enaknya, tetangga itu nglemparin makanan ayam ke halamanku supaya ayamnya makan di situ. Jadi lah kontrakanku berantakan.”
Berdasar pengalaman yang cukup rumit, Zaidan memberi saran bagi maba untuk tidak memilih kontrakan agar dapat beradaptasi terlebih dahulu. Menurut mahasiswa semester lima ini, pengalaman mengontrak boleh dicoba, tetapi bukan suatu keharusan. Kunci utama dari mengontrak terletak pada ketepatan pemilihan teman kontrakan. “Jangan salah pilih. Meskipun kamu nggak bisa milih orang yang tepat, setidaknya meminimalisir (re: ketidaktepatan pemilihan teman kontrakan),” Zaidan mengingatkan.
Dari pilihan tempat tinggal yang sudah ada, tidakkah perlu mempertimbangkan pilihan yang diberikan kampus? Bagi seorang mahasiswi Peternakan 2018, asrama UGM Bulaksumur merupakan pilihan tempat tinggal terbaik pada tahun pertama perkuliahan. Latar belakangnya adalah ketidaktahuan terhadap Yogyakarta sehingga pencarian tempat tinggal yang lebih terjamin oleh kampus menjadi alternatif terbaik. Alasan berbeda diungkapkan Sekar, mahasiswi IE 2018. Sekar memilih asrama UGM Sagan karena biaya yang lebih terjangkau dibanding pilihan lainnya, yaitu Rp400.000,00 per bulan dengan fasilitas lengkap.
Biaya asrama memang tidak semua sama. Dilansir dari residence.ugm.ac.id, setiap asrama UGM memiliki rentang harga yang berbeda-beda, mulai dari R325.000,00 sampai Rp1.300.000,00. Dengan rentang harga tersebut, asrama UGM menyediakan kamar mandi untuk setiap kamar, wifi, tempat parkir kendaraan, TV bersama, dan petugas keamanan selama 24 jam. Selain itu, beberapa asrama UGM juga memiliki fasilitas ruang diskusi, minimarket, jasa laundry, sepeda, sampai lift.
Berdasarkan wawancara dengan kedua mahasiswi tersebut, asrama UGM merupakan tawaran yang sangat good deal. Namun, permasalahan tentu ada, privasi jelas jauh berkurang karena harus berbagi kamar dengan orang asing. Peraturan jam malam dan keharusan meminta izin ketika pulang terlambat menjadi pertimbangan tersendiri, terlebih bagi mahasiswa yang rapat, nugas, atau kegiatan lainnya yang sampai malam. Kedua faktor itu juga menjadi alasan kedua mahasiswi berkeinginan pindah ke indekos.
Asrama UGM khusus ditujukan bagi maba. Jika pada tahun kedua atau seterusnya ingin melanjutkan di asrama, mahasiswa harus memenuhi syarat tertentu. Keunikan lainnya ditemukan dalam keharusan mengikuti program Life Skills sebanyak dua kali dalam satu semester. Program ini menjadi salah satu sarana yang ikut membentuk keterbukaan bagi mahasiswa dalam menjalin komunikasi seluas mungkin. Akan tetapi, semua kembali ke masing-masing pribadi, apakah memilih untuk memanfaatkan kesempatan bersosialisasi atau tidak.
Apapun tipe tempat tinggal yang dipilih tidak mutlak menentukan kenyamanan di dalamnya. Justru, siapa yang berada di dalamnya menjadi pengaruh utama akan seperti apa tempat tinggal tersebut. Mengutip perkataan Maya Angelou, aktivis asal Amerika, “The ache for home is in all of us. The safe place where we can go as we are and not to be questioned,” masing-masing orang memiliki tanggung jawab untuk melahirkan kenyamanan di mana ia akan selalu pulang walaupun hanya sementara.
Discussion about this post