Sudah sangat klise bahwa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM terkenal dengan tumpukan acara-acaranya. Bahkan julukan ‘Faculty of Event and Business’ atau ‘Fakultas Event Berkelanjutan’ sudah sangat familiar di kalangan mahasiswanya. Hampir semua organisasi formal yang ada di sini memiliki grand event-nya sendiri. Belum lagi dengan event-event lain yang seringkali tak kalah besarnya dari grand event itu sendiri. Tak heran hampir setiap bulan bisa dipastikan ada event yang sedang diselenggarakan. Terlepas dari pro dan kontra ada tidaknya event, apakah kita sudah menyelenggarakannya secara optimal, efektif, dan efisien?
Bagi saya, tujuan utama event adalah menjadi pusat pengembangan diri mahasiswa di samping mencapai goal-goal profesional dari segi finansial maupun operasional. Event yang benar adalah event yang bisa menjadi pembelajaran bagi mahasiswa. Apalagi bagi anak-anak FEB yang notabene sangat erat kaitannya dengan business conduct, negosiasi, project management, dan lain-lain. Adalah gagal suatu event ketika tidak ada value-added yang didapatkan oleh panitianya. Berikut adalah tiga blind-spot yang menyebabkan misconduct event FEB UGM.
Pemberian Kesempatan Vs Lean Organization
Jumlah panitia yang tidak kurang dari seratus orang dalam satu acara adalah common. Apakah benar? Banyak board of director, steering committee, dan pimpinan organisasi sebagai konseptor dan pusat pengambilan keputusan strategic mengganggap bahwa jumlah anggota kepanitiaan yang banyak merupakan hal wajar, kebutuhan, dan bahkan keharusan. Berbagai justifikasi muncul. Yang kerap kali terdengar adalah pendapat bahwa dengan merekrut banyaknya panitia, maka semakin banyak mahasiswa yang kita berikan kesempatan untuk berkembang. Hal ini tidak sepenuhnya salah.
Kendati demikian, jumlah panitia yang melebihi jumlah optimal hanya akan menyebabkan social loafing (kondisi demotivasi ketika seseorang tidak tahu apa kontribusinya terhadap kinerja dan output tim), ineffectiveness (tidak tercapainya tujuan-tujuan operasional maupun konseptual), dan inefficiency (biaya yang dikeluarkan melebihi benefit atau hasil yang diharapkan).
Contoh konkretnya, banyak divisi-divisi operasional yang sering gabut dan bahkan baru mendapatkan tugas kurang dari H-1 bulan. Banyak panitia yang sering demotivasi karena merasa tidak berkontribusi dan merasa dirinya tidak penting (hal ini sangat sering terjadi). Akhirnya kinerja menjadi rendah dan berdampak pada berbagai masalah remeh temeh pada hari-H acara. Dalam konteks ekonomi, ineffectiveness dan inefficiency ini bisa kita pahami sebagai marginal utility return. Kabar buruknya, hampir semua proses persiapan event sudah melebihi titik stasioner yang membuat kinerja tidak lagi efektif dan malah destruktif. Jadi, apakah benar ingin memberikan kesempatan padahal malah membuat permasalahan kinerja?
Koordinasi dan Komunikasi
Sangat klise juga bahwa kurangnya koordinasi dan komunikasi menjadi topik utama nan hangat pada saat evaluasi kepanitiaan pra-acara. Contoh konkretnya seberapa sering panitia merevisi poster atau media publikasi lain? Padahal ini melibatkan tiga divisi sekaligus, yaitu divisi acara, marketing media, dan visual desain. Bahkan seringkali revisi terjadi setelah masuk ke divisi hilir, yaitu logistik atau percetakan. Contoh lain, apakah setiap panitia paham tentang acaranya? Seberapa sering liason officer tergagap bisu ketika ditanyai pembicara atau pengisi acara dari eksternal tentang konten acara?
Post-Event Management dan Evaluasi
Seberapa banyak kasus peserta seminar, lomba, atau apapun itu meminta sertifikat kepada panitia? Eh ternyata panitia lupa mencetaknya. Dan karena penundaan, hingga dua belas purnama berganti pun sertifikat tetap tidak berada di tangan peserta. Lalu, seberapa banyak event yang menyebar kuisioner evaluasi kepada peserta untuk mendapatkan feedback? Yang kemudian data tersebut akan diolah dan menjadi acuan bagi organisasi yang menaungi event terkait kepada periode selanjutnya. Seberapa banyak kasus peralatan hilang? Sesederhana, terminal kabel kontrakan seorang panitia raib setelah event ditunaikan. Belum lagi, tentang kasus-kasus reimburse bagi event-event yang—maaf, mengalami defisit.
Terkait evaluasi, jika event memang menjadi media pembelajaran, bukankah evaluasi merupakan satu hal yang mutlak harus ada? Proses pembelajaran dan evaluasi melekat satu sama lain bagaikan api dan panas. Di dunia profesional, feedback atau evaluasi merupakan sesuatu yang dicari-cari oleh setiap orang. Karena itu adalah acuan bagi mereka untuk sadar, memperbaiki kesalahan, dan berkembang menjadi lebih baik. Jika evaluasi tidak penting, mengapa banyak perusahaan bela-belain menyewa praktisi atau konsultan untuk menganalisis permasalahan perusahaan dan memberikan saran? Lantas, kenapa masih banyak panitia yang sakit hati ketika divisi atau dirinya di-evaluasi? Bahkan ada yang namanya sindrom ‘takut eval’. Ini artinya ada yang salah dengan pemahaman terhadap penyelenggaraan proses kerja dan pengembangan.
Jika terus seperti ini, kita dan event kita hanya akan terus jalan di tempat sementara orang lain di luar sana sudah berlari ke tujuannya. Bahkan lebih buruk dari itu, kita tidak hanya berjalan di tempat, tetapi juga tidak tahu ke mana seharusnya kita menuju. Beberapa hal yang bisa saya sarankan terkait hal tersebut antara lain adalah:
Pertama, membuat desain kepanitiaan yang mengacu pada lean organization. Akan tetapi tidak serta merta harus amat sangat sedikit. Cukup dengan optimal. Nah, untuk melakukan ini, gunakan indikator-indikator proses kerja dan hasil kinerja kepanitiaan sebelumnya. Tentunya akan ada perubahan pada divisi dan komando. Beberapa divisi terpaksa di-merger atau bahkan ditiadakan. Contoh konkretnya, jika 3 pekerjaan yang awalnya terpisah pada tiga divisi ternyata bisa dikerjakan oleh satu divisi, mengapa tidak digabung saja? Jika ada panitia yang gabut, kenapa tidak di-cut saja pekerjaannya dan dipecah lalu dipindahkan ke berbagai divisi lain.
Kedua, buat garis komando dan alur kerja yang jelas. Pengambilan keputusan A akan ada di divisi X. Untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu harus melibatkan divisi apa saja dan urutannya seperti apa. Batasan tanggung jawab divisi di satu pekerjaan itu seberapa. Dan seterusnya. Semua itu harus tertulis dalam satu dokumen bersama desain organisasi.
Ketiga, menerapkan transfer knowledge yang lengkap, detail, dan menyeluruh. Indikatornya mudah, pastikan setiap orang dalam satu kepanitiaan tahu tentang acara yang sedang diselenggarakan, siapa pengisinya, dan berbagai konten penting lain. Jangan sampai muncul lagi pernyataan ketika seorang panitia ditanyai peserta namun malah menjawab, “Wah itu bukan kerjaan saya Mas. Soale saya dari divisi yahut hore.” Percayalah, sekalinya hal tersebut terjadi, kredibilitas dan kualitas event kita hancur dan jatuh ke dasar jurang terdalam.
Ketiga, masukkan post-event management ke dalam perencanaan dan timeline pekerjaan. Lengkap dengan apa-apa yang harus dikerjakan dan siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut.
Terakhir, lakukan evaluasi yang detail, mendalam, dan recorded baik dalam dokumen tertulis maupun verbal. Never take anything personally. Kita akan menghadapi yang lebih buruk di dunia kerja nanti. Dicaci maki di depan orang banyak oleh bos, proposal yang dikerjakan berbulan-bulan ditolak mentah-mentah—padahal baru dibaca di bagian kata pengantarnya, dan lain-lain.
Perubahan adalah yang berat. Takut jika gagal, takut jika ternyata ‘berubah’ merupakan sesuatu yang salah. Namun yang jelas, jika bukan kita yang berani mencicipi apakah sesuatu pahit atau tidak, siapa lagi? Jika kita tidak memulai hal baru sekarang, siapa lagi? Ide perubahan hanya akan terpendam dalam angan-angan.
Salam Perubahan.
(R.M.S.P. Alam/Manajemen 2013)