Oleh: Danial A. Futaki
Mata dan jari saya gatal membaca cuitan covidiot di Twitter. Urban Dictionary mengatakan bahwa covidiot adalah orang-orang yang perilakunya bertentangan dari hal yang dianjurkan saat menghadapi ancaman virus corona, mulai dari tidak mengindahkan social distancing, jalan-jalan ke luar rumah, hingga memborong persediaan barang-barang di pasar. Para covidiot ini sejatinya tidak menghormati para pekerja medis yang tengah bekerja dan bertaruh nyawa di medan perang. Cuitan itu berbuntut hingga saya menghasilkan surat ini.
Covidiot tidak memandang ras, umur, pendidikan dan gender. Pada semua situasi (bahkan saat darurat), covidiot dengan berbagai varietas akan selalu ada dan bermutasi. Alih-alih menguntungkan sesamanya, mereka cenderung tidak memberikan kontribusi kepada masyarakat dan malah merugikan. Sebagai garda terdepan pemutus rantai penyebaran, kita semua mempunyai public moral kepada tenaga kesehatan yang justru berada di garda paling akhir dalam pagebluk ini.
Terbangunnya public moral pada mahasiswa dan peran tridarma perguruan tinggi membuat kita harus bersinergi mengolah berbagai macam informasi yang masuk. Muncul sebuah pertanyaan: Sejauh mana pemerintah dan elemen masyarakat (mahasiswa) bersinergi untuk memberikan informasi, verifikasi, dan edukasi pada masa pagebluk seperti ini? Surat terbuka ini akan memulai dan mengetahui sejauh mana daya, upaya, dan pergerakan masyarakat akar rumput yang simultan serta radikal ini.
Mengolah Keterbukaan Informasi dengan Urun Daya
Dalam siniar Asumsi Bersuara (31/3), Ainun Najib berkata bahwa saat ini kita sudah berada pada titik perlu menyiapkan kuburan massal apabila pemerintah tidak bersikap tegas. Tentu dengan data, analisis, dan fakta di lapangan, salah seorang penggagas laman urun daya atau crowdsourcing kawalcovid19.id tidak main-main dengan argumennya. Walaupun begitu, kita semua mendoakan hal itu salah dan tak akan terjadi.
Dikelola oleh beberapa praktisi kesehatan dan teknologi informasi yang mengedepankan keterbukaan informasi, kawalcovid19.id meluncur bebas di internet sejak sebelum kasus positif pertama diumumkan di Indonesia. Data agregat yang tersaji bersumber dari pemerintah, LSM kesehatan, dan media, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Kontribusi masyarakat untuk masyarakat terpampang nyata.
Pagebluk akan menjadikan semua orang memutar otak untuk bertahan hidup dan mempertanyakan akhir dari hal itu. Semua terkurung dalam sebuah jebakan yang menghantui siapa saja dan di mana saja. Pergerakan pagebluk ini sebenarnya bisa diprediksi dari jauh-jauh hari, lalu diidentifikasi (containment) dan dipetakan (tracing) untuk melandaikan laju pertumbuhan positif virus corona walaupun pemerintah agak terlambat. Kerja-kerja kebaikan tak melulu harus menunggu respon pemerintah.
Dalam esainya pada Financial Times (20/3), Yuval Noah Harari memprediksi dunia selepas pagebluk, salah satunya adalah isolasi negeri atas solidaritas global. Prediksi dari Harari patut untuk ditelaah bersama. Solidaritas global berangkat dari keadaan menderita bersama yang diampu oleh masyarakat dunia. Membangun kesadaran dan menggerakkan seluruh elemen masyarakat akar rumput menjadi suatu bekal yang pasti setelah pagebluk.
Mahasiswa dan Pagebluk: Kontribusi Untuk Garda Terakhir
Mungkin banyak dari rekan-rekan mahasiswa yang menggalakkan donasi secara kolektif bagi beberapa pekerjaan atau yang terdampak secara langsung oleh pagebluk. Donasi tersebut dapat berupa berupa bahan pokok dan kebutuhan kecil untuk mobilitas sementara. Hal ini tidak masalah karena niatnya baik dan ingin berkontribusi pada sesama.
Pandji Pragiwaksono pernah berkata pada materi tur dunia komedi tunggalnya pada 2016, bahwa sedikit lebih berbeda lebih baik daripada sedikit lebih baik. Walaupun hal itu konteksnya dalam berkarya, maksud saya hanyalah agar bantuan tak melulu berbentuk pengumpulan donasi. Terkadang, kebanyakan donasi juga tidak baik untuk pemerataan distribusi barang. Barang menjadi terpusat di suatu daerah sehingga tidak merata. Menjadi sedikit berbeda dalam berderma tentulah bukan suatu kompetisi atau ajang gengsi. Sekali lagi, ini hanyalah perbedaan cara menanggapi solidaritas global.
Hal yang menarik adalah ketika rekan-rekan mahasiswa menempuh jalan lain sebagai pegiat informasi inisiatif dan pro-data untuk membantu memberikan masukan dan rujukan kepada pemerintah, khususnya pada alat-alat kesehatan. Sebuah laman crowdsourcing bernama kawalrumahsakit.id digagas oleh tim kawalcovid19.id dengan tujuan merangkum semua data dan informasi tentang kejadian virus corona. Kejadian-kejadian tersebut dapat berupa jumlah dan status pasien, rumah sakit yang memberikan pelayanan, dan ketersediaan alat pelindung diri dan alat pendukung perawatan bagi pasien di masing-masing fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).
Donasi berupa data/informasi yang diisi oleh para relawan (dan kemudian divalidasi oleh moderator) menjadi hal yang menarik dan paling mudah dikerjakan mahasiswa dari rumah. Data dari relawan terkait kebutuhan alat kesehatan juga terpampang dan menyebar pada seluruh rumah sakit/puskesmas di Indonesia. Ini mencegah overdosis kebutuhan dan lebih fokus pada pendataan yang pada akhirnya tepat guna dan efisien. Kontribusi masyarakat untuk masyarakat dan pemerintah lagi-lagi terpampang nyata.
Di Kota Surabaya saja (per 1/4) belum ada relawan yang mendata kebutuhan setiap rumah sakit/puskesmas. Baru ada empat daerah di Jawa Timur yang terdata (dengan masih minimnya fasyankes), yaitu Bojonegoro, Malang, Batu, dan Gresik. Dapat dibayangkan apabila semua mahasiswa bergerak aktif dan solid menjadi relawan terkait pendataan (juga dibarengi dengan pemutakhiran data secara periodik) yang sudah tersedia di laman kawalrumahsakit.id. Sebagai relawan pertama di daerah saya sendiri sekaligus rekan-rekan mahasiswa yang sudah kembali ke kampung halamannya masing-masing, kami pastinya lebih mengetahui kondisi dan fakta tentang fasyankes di desa/kecamatan kami. Gerakan akar rumput oleh elemen masyarakat yang saling bersinergi membuat data kebutuhan fasyankes seluruh Indonesia akan terpenuhi! Data is the new gold and oil. Data is a commodity.
Akhir kata, kemanusiaan memang harus didahulukan ketimbang urusan lain. Hal ini selaras dengan perkataan Presiden Ghana (29/3) yang akan menjadi kalimat penutup surat terbuka ini: Ekonomi bisa tumbuh kembali, tetapi manusia tidak.
Salam.
Discussion about this post