Teknologi informasi semakin berkembang setiap waktunya. Menilik 20 tahun lalu, kita masih harus menggunakan air ludah untuk mempermudah pembacaan berita ke halaman berikutnya. Saat ini kita hanya perlu mengetuk tombol next page atau menggeser jari jempol di layar gawai untuk melanjutkan bagian selanjutnya dalam suatu cerita. Revolusi industri, globalisasi, modernisasi, virtualisasi kerap kali menjadi diksi dalam menjelaskan perkembangan peradaban manusia. Apapun istilahnya, salah satu unsur yang berpengaruh terhadap perkembangan peradaban adalah cepatnya distribusi kabar. Di dunia dengan ruang dan waktu yang semakin sempit ini, kita tidak perlu waktu yang banyak untuk mengetahui hal-hal yang terjadi baik berskala nasional maupun internasional.
Kecepatan distribusi informasi menjadi suatu bagian dari perkembangan peradaban manusia. Hanya dengan satu dua ketuk, informasi dapat tersalurkan ke dunia virtual. Rasanya mustahil bagi penikmat informasi untuk tidak bergabung dengan lingkup sosial yang hidup dengan cara ini. Ditambah lagi siapapun yang berada di dunia maya memiliki akses untuk melaporkan suatu berita. Baik melalui pengunggahan ulang maupun laporan suatu cerita secara primer, informasi yang tersebar kerap kali berdampak terhadap perilaku dari penerima.
Ketika membaca atau mendengar suatu informasi baru, terdapat berbagai reaksi dari para pembaca, tidak terkecuali informasi yang membawa isu sensitif yang kebenaran dan tujuannya patut dipertanyakan. Karena manusia memiliki perasaan, wajar berbagai emosi timbul ketika kita membaca suatu informasi yang menyentuh naluri. Pada saat-saat seperti inilah, tidak jarang keinginan kita untuk membagikan informasi tersebut baik melalui Instagram, Twitter, Whatsapp, dan saluran lainnya sebagai salah satu cara untuk mendistribusikan informasi yang kita yakini.
Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein dalam bukunya yang berjudul Nudge mengklasifikasikan dua sistem yang ada dalam manusia: sistem otomatis dan sistem reflektif. Marah, sedih, perasaan iba, kecewa, takut ketika mendapatkan suatu kabar menjadi salah satu sistem yang sifatnya otomatis dalam diri manusia. Di titik inilah kita dapat melakukan hal-hal irasional seperti tidak mengecek keabsahan informasi dan tidak memikirkan dampak dari tindakan menyebarkan informasi tersebut. Namun, sistem reflektif dapat bekerja jika kita bertanya pada diri sendiri mengenai informasi tersebut. Dengan berpikir sebelum menyebarkan, misleading information atau informasi yang menyesatkan dapat dicegah. Untuk berperan dalam kebijakan bertelepati, rasanya perlu bagi kita untuk memiliki keahlian reflektif untuk menanggapi suatu informasi.
Secara implisit, dengan menggunakan sistem reflektif artinya kita menggunakan rasionalitas pada interaksi dengan informasi yang semakin liar tersebar di dunia virtual ini. Memang, tidaklah mudah bagi kita untuk melakukan transisi dari suatu sistem ke sistem lainnya. Dalam konteks tulisan ini, transisi yang dimaksud adalah mengubah tata bertindak dalam menanggapi berita yang ada. Namun, hal ini dapat dilatih secara praktis dengan bertanya pada diri sendiri mengenai informasi. Setidaknya ada tiga poin yang perlu dipertanyakan, yaitu: keabsahan, urgensi, dan kausal.
“Apakah informasi ini bersifat faktual?” Keabsahan suatu informasi perlu dicek terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menyebar (ulang) suatu informasi. Cara paling mudah untuk mengukur faktualitas dari suatu informasi adalah mengidentifikasi sumbernya. Pastikan informasi didapatkan dari sumber kredibel dengan terdaftarnya suatu sumber di dewan pers atau asosiasi jurnalistik. Setelah mengetahui sumbernya, terdapat platform untuk mengecek ada atau tidaknya informasi yang hoaks atau misleading. Salah satunya Cekfakta, sebuah proyek yang dibangun oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI). Melalui Cekfakta, kita dapat menemukan berita-berita yang tergolong hoaks serta dapat melaporkan informasi-informasi palsu lainnya. Selain itu, kita harus dapat membedakan antara portal berita dan blog. Melalui portal berita, hanya wartawan tertentu saja yang dapat menyebarluaskan informasi, berbeda dengan blog yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tidak hanya itu, ada juga media opini seperti Mojok.co, indoprogress.com, dan sebagainya yang mempertemukan pandangan-pandangan subjektif ke dalam suatu wadah. Tentu saja, jika kita ingin mengetahui cerita yang berlandaskan fakta, portal berita adalah jawaban yang paling tepat. Namun, jika ingin memperluas perspektif, blog dan media opini lah yang cocok untuk diakses.

“Penting gak ya untuk disebarluaskan?” Setelah tahu absah atau tidaknya suatu cerita, kita perlu mengidentifikasi penting atau tidaknya suatu informasi. Beberapa informasi memang tertulis secara faktual, tetapi tidak semuanya memiliki urgensi. Meskipun sudah memohon maaf, salah satu entitas yang tergolong sebagai media arus utama yaitu Liputan 6, mempublikasikan suatu cerita mengenai pose-pose seksi Sulli, seorang artis dari Korea yang beberapa waktu lalu mengalami kejadian tragis. Berita seperti ini merupakan salah satu informasi yang tidak memiliki urgensi pada saat ini. Secara etika, tidaklah elok membahas informasi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kabar duka yang menimpa seseorang. Hasilnya, tuaian kecaman dari warganet kerap kali menghiasi kolom balasan di Twitter. Maka dari itu, tidak cukup hanya faktual saja sebagai syarat untuk mendistribusikan suatu berita. Diperlukan urgensi sebagai ketentuan bagi kita untuk melakukan distribusi informasi.
“Jika informasi ini diunggah, bagaimana dampak yang dihasilkan? Setidaknya untuk followers-ku.” Penting bagi kita selaku distributor dan konsumen informasi untuk mengenal dampak dari suatu penyebarluasan berita. Ada dua dampak yang mungkin terjadi: baik atau buruk. Berdampak baik jika informasi yang disebarluaskan memiliki nilai tambah. Sebaliknya, akan berdampak buruk jika informasi yang didistribusikan memperkeruh keadaan dengan unsur provokatif apalagi palsu. Dengan framing provokatif yang dilakukan produsen cerita, tujuannya akan tercapai jika informasi tersebut menuai banyak retweet, likes, hingga dijadikan acuan dalam bertindak. Tentu tujuan ini tidaklah bajik jika informasi yang kita sebar bertujuan untuk berdampak baik.
Secara praktis, sistem reflektif dapat diterapkan dalam dunia yang semakin cepat ini, terlebih lagi dalam penerimaan dan penyebarluasan informasi. Tidak salah, kita sebagai manusia memiliki sistem otomatis yang mempermainkan spontanitas. Namun, sistem reflektif harus hadir dalam diri manusia sebagai alat timbang untuk mengambil keputusan dengan rasionalitas. Pada masa transisi, peran manusia ke sistem otomatisasi ini, hal inilah yang mungkin tak tergantikan oleh robot.
Oleh Ariel Kenandega
Discussion about this post