Oleh: Rayhan Marfiano R & Ratri Mahanani
“Jangan takut untuk follow atau unfollow dalam media sosial, sebab pada akhirnya media sosial tersebut merupakan milik kita dan hanya kita yang dapat mengatur serta menyaring isi kontennya. Tidak semua hal perlu untuk kita ambil secara personal.” – Dr. Rayhan Maditra
Isu kesehatan mental selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan selama beberapa tahun ke belakang. Banyak pihak telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental, terutama di era serba digital ini. Bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Psikomedia dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menyelenggarakan acara tahunan Sikolastik 2020 yang terdiri atas rangkaian lomba dan talk show. Mengangkat tema “Building Digital Wellness in The Age of Internet Phenomenon”, talk show tahun ini dihadiri oleh dr. Rayhan Maditra (Dokter dan Pendiri Platform Edukasi Mako Talk) dan Acintya Ratna P., S. Psi., M. A. (Dosen Fakultas Psikologi UGM) sebagai pembicara, serta Farah Nadhifa Azarine, S. Psi. (Asisten Psikolog) sebagai moderator. Kegiatan dilakukan secara daring dengan menggunakan platform Zoom Meetings.
Acara talk show dibuka dengan dengan pengantar dari kedua pembicara. Dr. Rayhan membeberkan data bahwa hampir setengah dari total penduduk dunia (sekitar 3,5 miliar jiwa) saat ini telah memiliki akses terhadap internet. Dari jumlah tersebut, 1 miliar telah memiliki akun Instagram, 2 miliar telah memiliki akun YouTube, dan 2,7 miliar telah memiliki akun Facebook. Walaupun tidak semua aktif dan rutin menggunakannya, angka ini sudah sangat fantastis. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi digital karena sebagian besar masyarakat saat ini bergantung pada gawai dan media sosial dalam berinteraksi dan beraktivitas.
Kemudian, Acintya menjelaskan data tugas akhir penelitian yang ia lakukan di 2018 tentang rata-rata penggunaan gawai. Hasil yang didapat cukup mengejutkan karena setidaknya orang-orang menggunakan gawai lebih dari 7 jam setiap hari. Padahal, di tahun itu tidak ada tuntutan untuk kelas daring, pertemuan virtual, dan lain-lain seperti yang terjadi di 2020 ini. Maka dari itu, sebelum terjun ke dunia digital, sudah seharusnya kita memahami dulu dunia digital sebab penggunaan dan pemanfaatan gawai semuanya bergantung pada diri kita masing-masing. “The choice is yours,” kalau bukan kita yang belajar literasi digital, siapa lagi?” tutup Acintya dalam pengantarnya.
Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental
Berdasarkan penuturan dr. Rayhan, berada di dunia digital seolah-olah memunculkan tuntutan tidak tertulis bahwa kita perlu memiliki koneksi yang berkelanjutan dengan teman-teman dunia maya sehingga menyebabkan rasa kewalahan. Jika rasa ini terus berlanjut, akan timbul fenomena yang sering kita sebut dengan FOMO (Fear of Missing Out). Oleh sebab itu, penting sekali bagi kita untuk menetapkan batasan dan bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan telan mentah-mentah seluruh hal yang ada di sosial media karena belum tentu yang terlihat di sosial media itu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Mengambil contoh dari film The Social Dilemma, kita juga dapat mengetahui bahwa peningkatan teknologi yang tidak bisa diimbangi dengan peningkatan kemampuan otak manusia dapat menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan mental (digital toxicity).
Penuturan dr. Rayhan di atas diamini oleh Acintya yang pernah melakukan studi mendalam pada 2018 terkait cyberpsychology (cabang ilmu psikologi terkait fenomena psikologis dan pola relasi yang terjalin di dunia digital). Masa menjelang pemilu 2019 menimbulkan fenomena segregasi dalam masyarakat karena perbedaan pandangan dan pilihan politik. Pada masa itu, kondisi media sosial sangatlah kacau, tiada hari tanpa komentar negatif di media sosial. Padahal, perbedaan merupakan suatu hal yang lumrah terjadi, alih-alih menyerang atau merendahkan orang dengan pandangan berbeda, seharusnya kita saling menghargai dan mengutamakan sikap tenggang rasa.
Membangun Kesehatan dan Kewarasan di Era Serba Digital
Bagi dr. Rayhan, membangun kesehatan dan kewarasan ini harus dimulai dengan mengecek ukuran adiksi kita dengan dunia digital. Hal paling mudah yang dapat kita lakukan adalah dengan cara tidak membuka ponsel selama beberapa jam, lalu cek apakah kita punya withdrawal symptoms (rasa ingin membuka dan menggunakan ponsel kembali) atau tidak. Untuk lebih detail, kita juga dapat menggunakan aplikasi seperti SKAI Score dan KDAI Score yang dapat diunduh secara gratis di internet. Jika memang dirasa memiliki ukuran adiksi cukup tinggi, kita dapat menyikapinya dengan beberapa hal: mematikan notifikasi ataupun log out dari beberapa aplikasi (buka hanya jika memang diperlukan), menghindari endless scrolling, serta menggunakan aplikasi media planner. Kita juga perlu ingat bahwa gawai dan internet bukan merupakan suatu hal yang jahat, melainkan hanya alat yang membantu kita dalam berkegiatan setiap harinya. Perlu keseimbangan dalam penggunaannya. Kita juga harus hati-hati dan bijak dalam penggunaan media sosial karena jejak digital selalu ada dan dapat dilihat oleh semua orang. “Manusia sejatinya tidak bisa melakukan multitasking. Akan lebih baik jika kita fokus dalam mengerjakan satu tugas dahulu, baru kemudian berpindah ke pekerjaan yang lain,” ujar dr. Rayhan dalam pembicaraannya.
Selanjutnya, Acintya menjelaskan beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam menggunakan internet dan media sosial. Pertama, kita perlu menyadari bahwa tubuh kita sering mengirimkan sinyal jika sudah lelah (psychophysiology): tubuh pegal linu, mata terasa berat, tidak bisa fokus, dan lain-lain sehingga kita tidak boleh memaksakan diri. Kedua, kita selalu memiliki kuasa/pilihan untuk bertindak, seperti menarik diri dari gawai, mencari kegiatan substitusi, atau ikut masuk terjerumus ke dalam dunia digital itu. Keempat, kita semua memiliki coping strategy masing-masing sehingga yang perlu digaris bawahi adalah kita harus punya tujuan yang jelas dalam menggunakan internet dan media sosial.
Beberapa cara yang dituturkan Acintya untuk membangun kesehatan dan kewarasan di era serba digital ini antara lain: meningkatkan self-awareness agar paham informasi yang bisa kita terima dan yang tidak, melakukan eksplorasi digital untuk melihat helicopter view dari seluruh informasi yang ada di dunia maya (contoh: mencari nama sendiri di Google untuk melihat apakah ada informasi/postingan negatif yang berkaitan dengan kita), membiasakan diri untuk mencari informasi dari sumber yang kredibel, serta menghindari self-comparison dengan menyadari dan melakukan langkah pencegahan (contoh: menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa memicu kita di internet). Sejatinya, teknologi seperti internet dan media sosial diciptakan untuk meningkatkan produktivitas manusia, bukan malah menghambat. Kita sebagai pengguna lah yang seharusnya mengontrol internet dan media sosial, bukan sebaliknya. Setelah kurang lebih 1,5 jam berbincang, acara talk show ditutup dengan closing statement dari kedua pembicara. Dr. Rayhan menekankan untuk menggunakan teknologi yang ada sebijak mungkin sebab tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Jadikan teknologi untuk mendekatkan yang jauh, tetapi jangan sampai kita diberdayakan olehnya karena kita sebagai manusia harus menjadi lebih baik dari teknologi itu sendiri. Acintya menekankan bahwa kita harus selalu menjadi diri sendiri, meningkatkan empati terhadap orang lain, dan selalu sadar akan tanggung jawab yang dimiliki dalam menggunakan teknologi agar dapat tercipta kesehatan digital.