Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah organisasi kemahasiswaan intra kampus yang menjalankan tugas layaknya sebuah pemerintahan. Dalam menjalankan tugasnya BEM terbagi-bagi menjadi beberapa dapartemen yang mengurusi urusan internal maupun eksternal tempat organisasi itu bernaung. Layaknya presiden di sistem pemerintahan terpimpin, BEM merupakan lembaga tertinggi di kebanyakan fakultas. Ke-eksekutif-annya itu membuat ia dapat membawahi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Lembaga Kemahasiswaan (LK) lainnya. Hampir seluruh fakultas di setiap universitas di Indonesia memegang struktur ini. Namun, hal yang berbeda tampak di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Di sini, BEM bukanlah lembaga tertinggi melainkan sejajar dengan HMJ/LK lainnya. Kepemimpinan mahasiswa tertinggi berada di Musyawarah Forum Keluarga Mahasiswa (MF KM). MF KM terdiri dari lima pilar utama yaitu KM Anggaran, KM Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), KM Simfoni (Sosialisasi dan Inisiasi Mahasiswa FEB), KM Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa), dan KM LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) yang berperan layaknya ‘Undang-Undang Dasar (UUD) 1945’ di FEB UGM.
Jumat (25/11), Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) FEB UGM telah mengumumkan Ketua BEM terpilih. Sebelum terpilih, Ahmad Najmi Ramadhani dalam kampanye pada Senin (14/11) mengatakan ingin menjadikan BEM sebagai lembaga tertinggi organisasi mahasiswa di FEB UGM. Orasi tersebut memunculkan berbagai pendapat dari kalangan HMJ/LK. Salah satunya adalah Alexander Michael atau yang akrab disapa AM, Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIMIESPA) periode 2016. AM merupakan salah satu orang yang menolak niatan dari ketua terpilih BEM FEB UGM tersebut. Menurut dia, BEM FEB UGM kualitasnya masih diragukan untuk memimpin HMJ/LK FEB UGM.
“Pendapat saya pribadi, kalau BEM (ingin) di atas (lembaga tertinggi), mereka (anggota BEM) haruslah orang-orang terbaik dari HMJ/LK. Jadi, sistem (pemilihan anggota) BEM bukanlah oprec (open recruitment),” ujarnya saat ditemui di Hotel University Jumat (18/11) lalu.
Selain itu, AM juga berpendapat bahwa apabila BEM ingin menjadi lembaga tertinggi, maka struktur dari organisasi ini haruslah jelas. BEM tidak boleh hanya melakukan reduplikasi sistem dari BEM fakultas lain hanya karena sistem tersebut berhasil. Hal itu karena sistem di FEB UGM tidak dapat disamakan dengan fakultas lain. Selain itu, harus ada lembaga independen yang dapat menjadi penyeimbang dari BEM, misal senat.
“Kalau BEM mau di atas, maka pimpinan baru BEM harus mencari jawaban (mengenai) bagaimana struktur yang paling efektif dalam menaungi orang-orang HMJ/LK karena orang-orang di HMJ/LK itu yang terbaik,” tambah AM.
Ketiga mantan ketua HMJ/LK yaitu Yorkie dari Ikatan Mahasiswa Keluarga Akuntansi (IMAGAMA), Faishal dari Ikatan Mahasiswa Manajemen (IKAMMA), dan Achmad dari Syariah Economics Forum mengutarakan persetujuannya dalam perubahan struktur ini. Akan tetapi, hal tersebut harus dibarengi oleh kesiapan program kerja BEM dan kejelasan kewenangan BEM atas HMJ/LK.
Menurut Farhan, Ketua BEM FEB UGM sebelum terpilihnya Najmi, urgensi dari isu perubahan struktur ini karena terlalu banyak event di FEB UGM. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya kesinergisan antarorganisasi. Ketidaksinergisan ini terjadi karena setiap organisasi memiliki hak dan kewenangan tanpa adanya pengawasan ataupun kontrol dari pihak manapun. Menurut ia, BEM seharusnya memiliki hak dan kewajiban tambahan terkait permasalahan koordinasi sehingga ada pembagian tugas yang jelas antarorganisasi. Pada saat ini, BEM belum dapat memaksimalkan hal tersebut karena power yang dimiliki masih lemah. Farhan juga menambahkan bahwa sebaiknya isu perubahan struktur ini tidak ditolak secara mentah-mentah.
“Dilihat dulu apa tawarannya (program kerja), kalau tawarannya itu bener-bener bisa untuk membuat FEB UGM ini menjadi lebih baik lagi, mengapa tidak?” ujar Farhan.
Lain kepala, lain pula pemikirannya. Bagi Ahmad Najmi Ramadhani, Ketua BEM terpilih, integrasi BEM berada di atas HMJ/LK adalah suatu kemungkinan yang harus dipertimbangkan matang-matang demi kerukunan antarorganisasi di FEB UGM. “Kita (tiga departemen) berbagi kelas yang sama, selasar yang sama. Namun memiliki ego yang berbeda. Sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga keharmonisan antarorganisasi,” tutur Najmi.
Mengenai cara agar usaha ini dapat terwujud, Najmi menuturkan bahwa idealnya di FEB UGM terdapat lembaga legislatif dan yudikatif yang berfungsi mengawasi kinerja BEM sebagai lembaga eksekutif agar tercipta rasa saling percaya antarorganisasi di FEB UGM. Langkah ini dinilai relevan dengan konsep trias politica yang dicetuskan oleh Montesquieu mengenai tata kelola pemerintahan, dalam hal ini FEB UGM. Salah satu kampus yang sudah menerapkan model ini adalah FEB Universitas Indonesia yang sudah memiliki lembaga legislatif dan yudikatif sekaligus dalam bentuk Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM).
Namun meskipun begitu, Farhan menganggap untuk mengubah struktur organisasi di FEB UGM tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu 1–2 tahun. Oleh karena itu, untuk menjadikan BEM lembaga tertinggi di FEB UGM, harus dilakukan secara berkelanjutan tidak hanya dalam satu kali kepengurusan. “Menurut aku untuk mengubah struktur itu, tiga tahun baru bisa settle,” ungkap Farhan.
(Brian Ilham, Meichel Mastra, Graini Annisa/EQ)
image src: bem.feb.ugm.ac.id
Discussion about this post