Dunia hiburan tanah air saat ini tidak terlepas dari tayangan dalam media televisi ataupun film. Rona hiburan dua dimensi yang beragam saat ini sukses mengantarkan berbagai kalangan dalam menikmatinya. Di tengah euforianya, lembaga sensor bermain peran untuk mewujudkan tontonan yang layak dan mengikuti standar norma yang ada dalam kapasitasnya sebagai pengendali. Kegiatan sensor film dan berbagai tayangan lain dirasa bak obat mujarab bagi entitas pengendali untuk memenuhi tugas mulia ini. Namun, penerapan berlebih membangun tanda tanya di benak penikmat karya ini.
Sejenak menjernihkan pikir atas peranan sensor, kehadirannya disebabkan oleh film yang tidak bisa dikontrol kualitas kontennya. Sensor pun diberlakukan dengan harapan dapat mencakup khalayak luas dan tidak terbatas pada golongan tertentu saja. Dengan kata lain, jumlah penonton film saat ini telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Muhammad Haikal Satria, pengamat film yang berdomisili di Yogyakarta, menjelaskan latar belakang eksistensi sensor film. “Sensor dan rating itu ada karena pada akhirnya negara harus bertanggung jawab atas apa yang dilihat oleh masyarakat,” jelas Haikal. Dalam kaitan geografis, penerapan sensor berbeda-beda di setiap negara. Dibanding negara lain, sensor di Indonesia lebih ketat. “Sensornya lebih ketat karena norma sosial kita lebih konservatif dibandingkan negara, seperti Amerika Serikat yang tidak sebanyak itu,” imbuhnya. Dapat dilihat menurut Undang-Undang Nomor 33 Pasal 6 tahun 2009 tentang kandungan yang dilarang dalam sebuah film, mencakup beberapa poin seperti pornografi, penistaan agama, dan perjudian yang membuat adanya sensor menjadi lebih ketat dan konservatif.
Gelagat sensor film yang dianggap semakin ekstrem memicu tanda tanya bagi penonton. Bila ditelisik lebih jauh, hal ini memiliki implikasi utama kepada penonton sebagai konsumen utama atas kehadiran sebuah film dan sensor yang menyertainya. “Menariknya di Indonesia tuh sensor justru tidak seketat ini dulu. Tapi, semakin ke sini malah semakin konservatif,” ujar Haikal ketika menimbang masa lampau dan masa kini. Hal ini dapat terjadi karena aliran perkembangan sensor yang mengikuti perkembangan sosial masyarakat yang turut menuju ke arah konservatif. Ketika menilik hak penonton atas film yang ditonton, kehadiran sensor saat ini sudah dirasa mencederai. Haikal menambahkan bahwa terdapat dua film yang sekarang ini mendapatkan kritik atas penyensoran yang tidak wajar. Kedua film tersebut adalah Hellboy dan Ave Maryam yang dipotong sebanyak 12 menit. “Hal ini sudah mencederai karena sering kali yang disensor adalah adegan-adegan yang cukup penting,” tandasnya. Ketika dilakukan penyensoran, maka jalannya alur cerita akan menjadi terganggu. Walaupun tidak menghancurkan seluruh pengalaman dalam menikmati suatu karya, tetapi kehadiran sensor yang berlebih dirasa tetap mencederai pengalaman penonton.
Kasus penyensoran terhadap film pun ramai diperbincangkan di media sosial. Pro dan kontra ditujukan masyarakat kepada Lembaga Sensor Film (LSF). Hal ini sesuai karena menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 pasal 60 LSF merupakan lembaga yang bertugas untuk melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan yang ada. Tanggapan tidak hanya keluar dari para penikmat film, sutradara sekaligus penulis film kawakan Indonesia, Joko Anwar, juga ikut bersuara. “Indonesia butuh lembaga klasifikasi film, bukan lembaga sensor,” sebut Joko dalam cuitan pada akun media sosialnya. Walau belum ada gugatan secara serius pada ranah hukum, pertanggungjawaban banyak dituntut oleh mereka yang merasakan ketidakpuasan saat menonton film. Ironisnya, sampai saat ini belum ada langkah LSF yang dinilai konkret dalam menjawab keluhan masyarakat tersebut.
Pembuatan film yang melalui perjalanan panjang membuat tidak adanya sensor yang dapat dikatakan ideal. Setiap suara, adegan, dan cahaya yang ditampilkan merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Dengan demikian, membuat keadaan yang ideal adalah keadaan tanpa penyensoran itu sendiri. “LSF harus mulai terbuka untuk mengurangi sensor. Mulai dari satu adegan ke adegan lainnya hingga akhirnya tidak ada sensor sama sekali. Menurutku, itu proses yang harus LSF mulai,” ucap Haikal. Proses itu juga dapat menjadi salah satu langkah yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat Indonesia. Sebab, usaha yang dilakukan LSF tidak akan ada artinya jika tidak didukung dengan perubahan sikap penontonnya.
Eksistensi sensor film ibarat sebilah pisau. Mengiris sesuai kemauan pengguna ia sanggup, bila prosedurnya tepat. Mencederai penggunanya ia dapat, bila prosedurnya tidaklah tepat. Begitu pula dengan sensor film. Di sisi positif, kehadirannya dapat mengendalikan tontonan masyarakat menuju arah yang mulia. Akan tetapi, sensor yang kebablasan menggerogoti kepenuhan hak penonton dalam menikmati karya. “Ini bukan tanggung jawab Lembaga Sensor Film sendiri, kita sebagai masyarakat harus berubah (ke arah lebih baik, red) juga,” tutup Haikal.
(Afanda Hermawan dan Alula Putri/EQ)
Discussion about this post