Bentang alas kini bergulir memandang kuasa
Porak poranda hilang tak bertepi, tak bergeming
Untukmu, seorang yang pandai menggerus haus laba
Tunggu, kami akan bertandang, menerkam, pun mengingatkan
–
Kami menyeru nyanyian, menghamparkan sesajian
Dikelillingi bukit derap kaki kami menari selagi sendumu terus mengaum
Disaksikan arwah rimba Kerinci,
gendang dan rebana kami menggema semakin cepat
Mengukir harmonis selagi rituali perlahan sirna
–
Konflik ini akan terus meraung
Meletus hingga tak ada lagi satu pun pohon
Ketika habis sudah belantara, hutan tak lagi berwibawa
Dua sampai tiga kami mati perlahan dari zaman Batavia
Yang dahulu kau pasang jerat kini kau buas babat
Hancur sudahkah hatimu, sampai kau tega melihat?
–
Barangkali ia marah, rumahnya roboh kini sawit tegak kokoh
Dan lupa kita kadang mendera, yang dilihatnya hanya politik para penguasa
Dengan segala dalih, tak bermartabat, hilang segala hormat
Pernahkah kuingatkan?
Karena koridor kehidupan, berdampingan tidak dengan politik, namun alam
–
Rindu kami pada suatu waktu
Ketika tak kau ganggu kami berburu
Ketika kami tak mengaum untuk mengadu
Sampai lembayung senja menutup hari
Berharap kudengar nyanyian sunyi, dari eloknya habitat kami
–
Lihatlah kami, sebelum lagi nyawaku habisi
Yang mati bersama egoisme sang manusia ambisi
Sedang kami perlahan punah, dan darah kami sebagai bukti
Bahwa bumi ini pernah ditinggali,
oleh kami arwah buas Kerinci
(kata “kami” saling bertukar konteks, merujuk pada frasa kami si harimau sumatera dan kami si penduduk pedalaman Taman Nasional Kerinci Seblat).
(Desti Amelia/EQ)
Discussion about this post