Berbicara tentang Gross Domestic Product (GDP) tidak terlepas dari peran pelbagai sektor di Indonesia, salah satunya sektor jasa. Dalam hal ini, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang bekerja sama dengan Australian National University Indonesia Project (ANU Indonesia Project) menyelenggarakan seminar dengan tema “Service Sector as A Driver of Change: Indonesia’s Experience in the ASEAN Context”. Acara yang dilaksanakan pada Kamis (14/4) pukul 09.00-13.00 WIB di Ruang Kertanegara FEB UGM tersebut mendatangkan dua pembicara terkemuka, yakni Mari Elka Pangestu (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang juga mantan Menteri Perdagangan serta mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia) dan Christopher Findlay (Dekan Faculty of Profession di University of Adelaide, Australia). Seminar semakin bertambah spesial karena turut dihadiri oleh Rektor UGM, Dwikorita Karnawati.
Pembahasan materi diawali oleh Findlay yang menuturkan bahwa sektor jasa menyumbang 45% GDP dan mampu menyerap 43% tenaga kerja di Indonesia. Persentase share of GDP bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu 44,6% (2006), 52,9% (2010), dan 55,7% (2014). Transfer pendapatan yang dihasilkan investasi dan perdagangan di sektor jasa tercatat sebesar 7 milyar dolar AS pada tahun 2010 yang berarti terjadinya peningkatan sebanyak 20 juta dolar AS dari dekade sebelumnya. Mengacu pada data-data tersebut, sektor jasa yang menjadi andalan negeri ini adalah bisnis perjalanan dan transportasi.
Namun demikian, Findlay berpendapat GDP Indonesia masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Hal itu didukung oleh data persentase impor dan ekspor dalam sektor jasa yang masih dibawah 5% dan nilai tambah dalam ekspor barang manufaktur sebesar 20%, berbeda cukup jauh dengan negara berkembang lainnya yang berkisar 31-38%. Terlebih lagi, neraca pembayaran sektor jasa Indonesia menunjukkan defisit di angka 10 milyar dolar selama setahun. Masalah selanjutnya adalah hambatan perdagangan yang cukup tinggi daripada negara lain seperti India, Singapura, Thailand, dan sebagainya sehingga meskipun sektor jasa terlihat menjadi andalan di Indonesia, masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki.
Di balik segala kendala yang ada, Findlay tetap optimis Indonesia dapat mengembangkan perekonomian, khususnya sektor jasa. Ia menjelaskan bahwa perdagangan dalam sektor ini nantinya membawa lima keuntungan bagi Indonesia: mendorong spesialisasi, meningkatkan kapasitas, menguatkan daya saing, transfer teknologi, dan merangsang varietas produk jasa yang dihasilkan. “Pekerjaan di sektor jasa akan menjadi pekerjaan dengan bayaran yang tinggi”, ujar Christopher Findlay dengan yakin.
Melihat sektor jasa sebagai salah satu sektor perekonomian andalan, regulasi kian penting untuk diperhatikan. Mari pun memaparkan kompetisi yang berlangsung dalam kegiatan perdagangan, terutama sektor jasa, harus diatur secara tepat. Hal ini ditetapkan agar tidak terjadi persaingan tidak sehat antar pebisnis di Indonesia atau sampai menjatuhkan bahkan mematikan bisnis lain yang cenderung berprofit tinggi.
Dari tahun ke tahun, sektor jasa semakin banyak menyerap tenaga kerja yang artinya semakin dilirik potensinya oleh penduduk Indonesia. Ia menambahkan bahwa penguasaan teknologi sangat berperan dalam memenangkan kompetisi. “Nggak akan ada gap kalau semua orang bisa pake teknologi,” ungkap Mari Elka Pangestu.
(Santini Dewi Putri, Nabilah Ajeng, Nugraha Putra Hutama/EQ)
Discussion about this post