Penulis: Alharkan/EQ
Foto oleh M. Buchari Muslim/EQ
Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat bertahan hidup sendiri. Sejak dahulu, biasanya berawal dari kenal seorang, lalu kenal dengan lainnya hingga berkumpul membuat kumpulan untuk menjalani sebagian kepentingan bersama. Istilahnya kalau sekarang mungkin dikenal dengan sebutan circle. Sejatinya memiliki circle adalah hal yang lumrah saja. Toh tiap individu memiliki kepentingannya masing-masing. Baik kepentingan untuk haha hihi, menjadi kumpulan orang-orang eksklusif, teman ngambis, teman olahraga, dan lain-lain.
Mengambil contoh yang biasa terjadi di tiap sekolah. Misalkan, dalam suatu angkatan kelas di suatu jenjang sekolah. Seluruh murid akan terbentuk dengan sendirinya untuk saling memiliki circle pertemanan. Biasanya terdapat circle yang gemar futsal, nongkrong, kumpulan orang eksklusif, ambis, anime, kpop, dan lain-lain. Walaupun terkadang selalu ada murid yang tidak memiliki circle karena tidak menemukan teman yang cocok. Namun, mereka yang tidak memiliki circle rentan dicap sebagai kumpulan murid yang tidak punya teman. Belum pula circle yang dianggap rendah dan tidak jelas oleh circle lainnya. Hal tersebut terkadang berlanjut hingga bangku kuliah bahkan lingkungan kerja.
Lambat laun, memiliki circle sudah menjadi sebuah tuntutan sosial agar setidaknya dapat diakui luas oleh teman lain. Padahal, menjadi individu yang tidak memiliki circle justru merupakan sebuah kemerdekaan. Anda tidak terikat pada teman-teman kalian. Anda dapat masuk sementara untuk sekadar bercengkerama dengan circle lainnya tanpa harus terikat terus menerus. Anda ingin melakukan apapun terserah kalian tanpa harus malu diejek oleh circle sendiri. Walaupun tidak memiliki circle sering kali menjadi orang ketinggalan zaman ketika adanya info atau gosip teman.
Sebelum munculnya media sosial, untuk melacak seseorang memiliki circle pertemanan adalah melihat dengan siapa ia bergerombol di sekolah. Minimnya informasi untuk mengetahui dengan siapa saja seseorang berteman dapat memudahkan kesempatan seseorang untuk saling kenal tanpa ada rasa sungkan terhadap circle pertemanannya masing-masing. Misalkan, ketidaktahuan stereotip dan circle antar murid akan memudahkan saling akrabnya antar murid dari kalangan bawah dan atas. Berbeda ketika terdapat pihak ketiga yang merupakan satu circle dengan pihak kalangan atas, yang akan cenderung menganggap temannya “Ngapain dia main sama anak yang miskin itu?”.
Maraknya media sosial yang telah bermunculan ragamnya menjadikan manusia bebas mempublikasikan segala hal. Medium media sosial dapat memudahkan untuk melacak dengan siapa seseorang beraktivitas, asalkan orang tersebut memang mempublikasikannya. Sering kali hanya dengan orang tertentu saja yang dipublikasikan. Ada pula seseorang yang tidak pernah mempublikasikan dirinya, dengan beranggapan bahwa media sosial digunakan sebatas untuk mencari informasi dan melihat kegiatan teman-temannya saja.
Mirisnya, terdapat circle pertemanan yang memiliki akun khusus untuk mempublikasikan kegiatan bersamanya dan dengan bangganya dipamerkan kepada yang tidak termasuk circle pertemanannya. Mungkin hanya sebagian kecil saja, paling tidak post dan repost antar anggota circle ketika melakukan aktivitas bersama alih-alih sebagai bentuk wujud keterikatan dan mungkin pengakuan sosial seperti “Inilah teman saya”.
Belum pula adanya fitur tambahan seperti close friend dan fenomena second account yang biasanya berisi tentang privasi pemilik akun, kadang mengumbar keburukan orang lain, dan segala hal yang tidak rela dilihat oleh seluruh pengikutnya. Lucunya, dalam dunia nyata terkadang pemilik akun malah membicarakan hal yang dibagikan di close friend-nya kepada temannya yang tidak dimasukkan ke dalam daftar close friend-nya. Padahal, pemilik akun tidak sadar bahwa lawan bicaranya terkadang menahan diri betapa teganya membicarakan hal tersebut di depannya.
Antropolog asal Britania Raya, Robin Dunbar, telah mencetuskan istilah Magic Number adalah 150. Artinya, individu biasanya hanya dapat memiliki teman akrab di kontaknya sebanyak 150 orang saja. Uniknya angka ini berlipat tiga kali lipat, sehingga hanya terdapat 50 orang sebagai teman biasa, 15 orang sebagai teman baik, dan lima orang saja sebagai teman sangat dekat. Dengan ini tidak ada salahnya memiliki circle pertemanan, menggunakan fitur close friend, memiliki second account, dan sejenisnya. Toh kalian memiliki kepentingan tersendiri dan biasanya merasa tidak percaya diri untuk mempublikasikan segala hal kepada seluruh pengikut di media sosial.
Sebelum munculnya media sosial mungkin tidak menjadi masalah ketika kalian sering berinteraksi dengan circle kalian. Sebab wajar tidak semua orang mengetahuinya kecuali bergerombol di sekolah karena sering dilihat oleh teman lainnya. Akan tetapi, perlu disadari bahwa banyak orang yang sebenarnya ingin berkenalan dengan kalian, tetapi sungkan karena kalian menciptakan sebuah pembatas bayangan yang bernama publikasi circle. Mereka hendak berkenalan dengan kalian, tetapi kalian malah membicarakan pembatas bayangan yang bernama daftar close friend maupun second account. Bila Gandhi berkata, “Adalah dosa sosial besar ketika Anda kaya tanpa kerja keras” maka bagi penulis, “Adalah dosa sosial besar ketika Anda mempublikasikan kepada sebagian teman Anda saja dan membicarakannya kepada teman yang tidak Anda publikasikan.”