Beberapa saat yang lalu, pembicaraan keluarga saya menggelitik rasa keingintahuan dalam diri saya. Sebuah percakapan yang sangat sederhana. “Kenapa ya, kebijakan tidak pakai plastik di Bogor hanya diterapkan di toko-toko mahal? Kenapa tidak sekalian juga di pasar diterapkan?” Tanpa bermaksud menyinggung, pada akhirnya kami setuju bahwa jawaban untuk pertanyaan itu adalah karena orang yang membeli dari toko mahal biasanya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Orang yang memiliki tingkat ekonomi demikian umumnya berlatar pendidikan baik. Ketika pendidikannya baik, seseorang bisa lebih mengerti tentang tujuan dari sebuah kebijakan sehingga kebijakan bisa berjalan dengan lebih efektif.
Lalu, apakah jika semua orang di Indonesia bisa berpendidikan tinggi, maka Indonesia secara otomatis bisa menjadi lebih baik? Apakah jika semua orang bisa memiliki pendidikan yang tinggi maka serta merta semua mimpi bangsa Indonesia bisa menjadi kenyataan? Apabila semua pertanyaan tersebut bisa dijawab “iya” maka mengapa selama ini bangsa kita belum juga sadar dan meningkatkan kualitas pendidikannya?
Ketika pendidikan seseorang lebih tinggi maka kemungkinan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang tersebut menjadi lebih tinggi. Tidak hanya itu, pendidikan juga membentuk pola pikir sehingga seperti halnya kebijakan yang bisa berjalan dengan lebih efektif, pendidikan juga bisa mengurangi ketidaksetaraan dalam kehidupan sosial. Hasilnya, kesetaraan gender dapat tercapai dengan lebih mudah. Kesadaran untuk hidup lebih sehat dapat bertambah pula lewat pendidikan. Dalam mewujudkan perdamaian dunia, pendidikan juga ikut mengambil peran untuk membangun rasa toleransi sehingga masyarakat bisa hidup dengan lebih harmonis.

Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya tidak dapat dipamerkan dalam waktu seratus hari ataupun lima tahun. Hasil dari investasi ini memerlukan waktu yang sangat lama dan kesabaran yang tinggi. Selama periode 2001 sampai 2017, Indonesia memang menunjukkan peningkatan jumlah siswa yang mendaftar sekolah hingga 23 persen atau setara dengan 10 juta. Dalam jangka waktu tersebut, skor PISA (Program for International Student Assessment) Indonesia juga meningkat. Namun, peningkatan skor tersebut masih lambat. Dengan laju kemajuan pendidikan saat ini, Indonesia masih membutuhkan 60 tahun untuk mengejar peringkat rata-rata negara OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi).
Pemerintah Indonesia sendiri tidak bisa disalahkan dalam hal kurangnya perkembangan pendidikan di Indonesia. Tidak main-main, dalam Impian Indonesia 2015-2085, Presiden Joko Widodo sendiri menuliskan bahwa Indonesia memiliki impian untuk menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Perwujudan pendidikan yang lebih baik didukung penuh karena pasalnya 20% dari APBN diamanatkan untuk digunakan dalam pengembangan kualitas pendidikan Indonesia.. Bukan hanya itu, kurikulum yang terus menerus diganti menandakan bahwa pemerintah terus menerus berusaha untuk memperbaiki kekurangan yang mungkin terdapat dalam kurikulum sebelumnya. Walaupun cara ini dinilai kurang profesional karena menandakan bahwa setiap kurikulum yang disajikan tidak disiapkan secara sempurna sebelum menjadi konsumsi publik, tetapi apresiasi untuk tetap memperbaiki kekurangan kurikulum-kurikulum tersebut tentu saja harus tetap diberikan.
Apakah masalah pendidikan di Indonesia adalah beban yang hanya bertengger pada pundak pemerintah? Kita harus selalu menyadari bahwa untuk memperbaiki bangsa, kita tidak bisa terus meminta pemerintah untuk menjalankan semua sendirian. Walaupun memiliki sistem yang paling sempurna, tetap dibutuhkan kontribusi dari setiap individu agar bisa menghasilkan langkah besar menuju kesejahteraan rakyat yang paripurna. Berbagai program dan sarana pendidikan layaknya digunakan semaksimal mungkin agar kita sendiri tidak lagi meraung-raung merasa bahwa APBN digelontorkan dengan percuma. Masalah kemiskinan memang menjadi faktor utama terjadinya putus sekolah, Pemerintah pun sudah sadar akan hal ini dan sudah mengerahkan berbagai upaya. Sebut saja BOS, BSM, KIP, BIDIKMISI, dan LPDP. Program-program tersebut ditujukan untuk memastikan bahwa hak untuk melanjutkan pendidikan didapatkan oleh setiap penduduk Indonesia. Dengan semua fasilitas yang telah disediakan, nyatanya penggunaan dana yang tidak efektif dan kesadaran yang rendah untuk meningkatkan kualitas diri menjadi dinding penghalang laju pendidikan kita.
Pendidikan pada akhirnya merupakan sebuah proses untuk lebih mematangkan pemikiran dan memupuk kebijaksanaan. Terlepas dari masalah saling lempar tanggung jawab dalam pendidikan, kita dihadapkan pada krisis kesadaran untuk ikut mengulurkan tangan. Kita perlu menyadari bahwa kita adalah penyambung perjuangan bangsa. Tanggung jawab untuk memajukan bangsa ini adalah milik kita bersama, dipikul di setiap bahu masyarakat Indonesia secara sama rata.
(Shafira Jessenia Jasmine/EQ)