Riuh rendah perhelatan pesta demokrasi kian memuncak di kala semakin mendekatnya hari pemungutan suara atas berbagai calon yang akan menduduki jabatan strategis di Indonesia. Tiap-tiap calon mendeklarasikan diri untuk maju dan menduduki kursi yang merepresentasikan aspirasi seluruh rakyat. Berbagai cara mensosialisasikan diri dilakukan untuk menarik atensi pemilih. Namun, hal unik justru ditampakkan sebuah kampung di sudut dalam benteng Keraton Yogyakarta.

Berbeda dari pemandangan ruang publik menjelang 17 April yang penuh hingar-bingar atribut kampanye politik, Kelurahan Patehan yang terdiri atas Kampung Ngadisuryan, Taman, Nagan, dan Patehan menyelubungkan diri atas hal tersebut. Kampung ini tidak menampakkan diri sebagai wilayah yang bersiap menjelang pesta demokrasi pada April mendatang. Hal ini terlihat dari tidak adanya atribut kampanye politik yang menyesakkan pandangan di sekitar kampung. Bermono Wijanarko, Ketua RW 03 Kampung Ngadisuryan, menuturkan bahwa kampung ini bebas dari atribut kampanye politik sejak sepuluh tahun lalu. “Keprihatinan kami adalah banyaknya perbedaan pendapat yang sangat tajam antar-pendukung dari kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tuturnya.
Proses memasyarakatkan kebijakan ini dimulai dengan sosialisasi di forum arisan warga. “Hampir 90 persen warga setuju akan hal ini,” ungkap Bermono. Dalam rangka memfasilitasi kebutuhan sosialisasi calon legislatif maupun eksekutif, Kampung Ngadisuryan menyiapkan ruang khusus di tiap-tiap papan pengumuman RT yang dapat digunakan untuk menempelkan alat peraga kampanye. Bermono juga menjelaskan bahwa hubungan antarwarga menjadi kondusif dan tidak ada permasalahan yang serius akibat kebijakan tersebut. Kendati mendapat respons positif dari sebagian besar warga, petugas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kerap mendatanginya untuk meminta izin dalam hal pemasangan atribut kampanye. Akan tetapi, izin tersebut ditolak oleh Bermono dengan alasan kerukunan warga. Senada dengan Bermono, Nanang, warga Kampung Ngadisuryan yang berprofesi sebagai tukang becak, mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Ia merasa lebih nyaman dan aman jika kampung ini bebas dari atribut kampanye. Namun, ketika ditanya mengenai keyakinan dalam memilih anggota legislatif, ia mengaku masih belum tahu daftar calon dan program yang ditawarkan.
Sebagai dampak atas kebijakan wilayah bebas atribut kampanye, sosialisasi visi dan misi serta program kerja yang ditawarkan tiap calon menjadi terhambat. Hal tersebut diaminkan oleh Cahyadi Aji, warga Kampung Ngadisuryan yang sempat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan legislatif. Cahyadi mengungkapkan perlunya pertimbangan lebih lanjut atas sikap yang diambil oleh Kampung Ngadisuryan terkait kebijakan ini. “Saya berharap ada kebijakan yang bisa memberikan keuntungan serta kemudahan di antara warga dan peserta pemilu ke depannya,” jelasnya.
Kilas balik terhadap wilayah bebas atribut kampanye tersebut, kebijakan ini dapat memanggul sisi positif maupun negatif yang menyertainya. Ibarat dua sisi koin, kebijakan ini mengemban pandangan heterogen yang senantiasa menyertainya. Oleh sebab itu, hadirnya sebuah kebijakan perlu dipandang sebagai sebuah urgensi bagi suatu daerah untuk memaksimalkan potensi positif yang ada dan meminimalkan dampak negatif yang menyertainya. Beragam cara dapat dijalankan untuk menghadirkan tujuan ini, tidak melulu adanya homogenitas pandangan. Puncaknya, kerukunan warga sebagai sebuah komunitas sosial merupakan episentrum bagi penetapan sebuah kebijakan terlebih hanya lima tahun sekali pesta demokrasi dihelat.
(Afanda Hermawan & Ibnu Safari/EQ)
Discussion about this post