“Silau mata”. Orang Indonesia terkesan mudah sekali terpana dengan perilaku sosial bangsa lain. Contoh yang paling sahih adalah Mass Rapid Transportation (MRT) Jakarta ketika menyosialisasikan bahwa sisi kanan eskalator dikhususkan untuk orang berjalan dan sebelah kiri untuk orang berdiri. Namun tak lama kemudian, Jepang menyosialisasikan kebijakan baru yang melarang orang berjalan di eskalator karena eskalator pada hakikatnya didesain untuk berdiri, bukan untuk berjalan. Perubahan ini didasari oleh kesadaran akan kebutuhan yang berkembang dan tentunya banyak contoh lain, termasuk mengenai tergerusnya konsep kehidupan komunal dengan konsep working space. Sebenarnya, apa itu working space?
Kini masyarakat Indonesia sedang menggandrungi konsep tempat kerja yang berkonsep working space, di mana tidak ada sekat-sekat atau istilahnya cubicle. Tidak hanya perkantoran dan dunia profesional saja, konsep ini sudah merambah ke dunia perkuliahan. Working space adalah konsep tempat kerja yang mengedepankan keterbukaan dengan ciri-ciri tidak adanya sekat-sekat pemisah. Diharapkan dengan adanya konsep ini, ada interaksi antarrekan kerja lain.
Jika ditilik dari sejarahnya, working space bukanlah barang baru dalam dunia arsitektur perkantoran. Working space dikenalkan pertama kali pada 1754 di Inggris. Konsep yang ada pada saat itu tidak jauh berbeda dengan working space yang menjamur akhir-akhir ini. Ditandai dengan meja panjang, tanpa sekat, kursi berbentuk bench atau bangku panjang, dan jarak yang tidak terlalu jauh antarorang. Padahal, konsep working space seperti itu merupakan konsep yang salah dari working space yang ideal. Mengapa?
Ide mengenai working space yang ideal muncul pada tahun 1930 ketika ada seorang arsitek Amerika Serikat bernama Frank Lloyd Wright memperkenalkannya. Konsep working space yang muncul pada tahun 1754 disempurnakan dengan melakukan banyak perubahan. Gubahan-gubahan Wright meliputi: meja satu dengan yang lain memiliki jarak tertentu, tinggi ruangan yang diperhatikan, adanya pemisahan lokasi antara manajemen dengan karyawan, hingga pewarnaan langit-langit juga diatur dalam konsep penyempurnaan working space. SC Johnson di Racine, Wisconsin menjadi tempat pertama yang menerapkan konsep working space ideal ala Wright. Penyempurnaan konsep working space ini bertujuan untuk meningkatkan dan kenyamanan karyawan dengan harapan kinerja bisa meningkat.

Berkembangnya industri maka bertambah besar pula perusahaan yang diikuti ledakan jumlah karyawan. Hal itu menyebabkan konsep working space yang ideal tidak lagi menjadi ideal karena hanya bisa menampung karyawan dengan jumlah terbatas. Oleh sebab itu pada 1950, Jerman mengenalkan konsep baru, yaitu burolandschaft yang biasa kita kenal dengan ruang kerja cubicle. Konsep ini tercipta agar mampu menampung karyawan sebanyak-banyaknya tanpa mengganggu kenyamanan tiap-tiap karyawan. Konsep ini eksis hingga tahun 2010-an hingga akhirnya working space mulai menjamur (kembali).
Sekretariat Mahasiswa FEB UGM
Sekretariat himpunan mahasiswa jurusan dan organisasi mahasiswa FEB UGM menerapkan konsep cubicle dalam bentuk ruangan. Kini ruangan sekretariat akan dirobohkan dan diganti dengan konsep working space dengan embel digital student lounge. Lantas, apakah konsep working space sekretariat yang akan dihadirkan ini dapat diterapkan dengan baik di FEB UGM?
Sebelum menilai apakah konsep tersebut baik atau tidak, alangkah baiknya untuk merujuk jurnal terkait working space. Dalam jurnal Enviromental Psychology dengan judul “Workplace Satisfaction: The privacy-communication trade-off in open-plan offices” yang ditulis oleh Jungsoo Kim dan Richard de Dear dari University of Sydney menyebutkan bahwa working space sangat jauh tertinggal dari konsep enclosed private office dalam segala aspek dari Indoor Environmental Quality (IEQ). Hal itu disebabkan tidak seimbangnya keuntungan dan kerugian yang didapat dari working place model ini. Keuntungan yang kerap digembar-gemborkan, yaitu ease of interaction jauh lebih kecil daripada kerugian yang didapat. Meningkatnya tingkat kebisingan dan menurunnya privasi pribadi dalam bekerja. Ease of interaction juga kerap kali menjadi perdebatan karena hingga kini tidak ada bukti empiris yang mampu mendukung argumen tersebut. Malah dari beberapa penelitian menyebutkan, karena tidak ada privasi maka seseorang akan membangun “cubicle-nya sendiri” dengan cara menggunakan earphone dalam bekerja. Ease of interaction menjadi isapan jempol belaka. Tidak lagi sekat yang kasat mata, tetapi berubah menjadi sekat yang tak kasat mata.
Sekretariat lawas memang bukan tanpa cela, pun bukan berarti tanpa makna. Pertama adalah semakin berkurangnya communal space di FEB UGM. Konsep working space mengedepankan individualitas dari pada kehidupan komunal. Dalam peta rancangan desain yang baru, sebenarnya sudah ada yang menerapkan konsep dari Lloyd Wright, tetapi juga menerapkan konsep yang “salah” dari working space seperti antar meja yang sangat berdekatan.

Kedua, yang menjadi titik berat selanjutnya adalah sponsor pembangunan working space yang berasal dari swasta. Stigma privatisasi segala fasilitas di FEB UGM sudah terlalu pekat. Isu ini berhembus menjadi sangat kencang karena kali ini yang digusur bersinggungan langsung dengan kepentingan mahasiswa.
Keempat, konsep working space yang digunakan secara bergiliran dan lokasi terbatas membuat organisasi kemahasiswaan di FEB UGM dapat saja menurunkan kinerja. Aspek budaya organisasi yang telah hidup melalui interaksi anggota akan terhambat karena tidak ada pembeda. Memang benar bahwa mahasiswanya sama saja, tetapi kepentingan masing-masing organisasi berbeda. Analoginya: bukankah tidak mungkin ruang rapat dekanat disamakan dengan ruang dosen. Bukannya ada kepentingan dan rahasia yang tetap harus dijaga dari masing-masing kepentingan?
Working space yang dirancang kurang mempertimbangkan inventarisasi barang organisasi, kapasitas yang sangat jauh terbatas, dan tentunya masalah privasi serta kultur tiap organisasi. Jangan sampai semua konsep luar negeri yang membuat silau mata diadopsi padahal bisa saja ada kepentingan dan kebutuhan yang berbeda dari masing-masing kondisi. Teringat jelas Sebuah pernyataan seorang wakil dekan, “boleh hearing dekanat, tetapi tidak boleh menyimpang dari konsep working space yang sudah ada.” Tampaknya alasan-alasan ini akan tetap terkubur bersama reruntuhan, sukacita, dukacita, memori indah di gedung sayap utara lantai satu.
(Zevan Ricardo)
Discussion about this post