Pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo mengusung visi besar Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia Unggul untuk mencapai kemajuan bangsa. Dalam visi ini, terdapat 11 poin pengembangan daya saing SDM Indonesia, mulai dari peningkatan kualitas pendidikan vokasi hingga dukungan riset. Riset menjadi sangat penting dalam pembangunan SDM yang berkualitas. Dapat dianalogikan bahwa, pembangunan SDM tanpa riset bagaikan perbaikan raga tanpa pikiran. SDM dapat diunggulkan melalui pendidikan dan kesehatan sehingga ia akan produktif. Namun, jika SDM Indonesia tidak dapat berinovasi, tentunya kita akan selalu di bawah negara-negara lain.
Pada bidang riset, pemerintah telah menyatakan keinginannya untuk lebih mendukung riset invensi dan inovasi dalam meningkatkan daya saing Indonesia. Bahkan, pemerintah telah mengembangkan berbagai kebijakan seperti pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta dana abadi riset Indonesia. Namun, banyak pihak mempertanyakan keseriusan pemerintah terhadap dukungan riset dalam visi besar ini. Muncul sejumlah pertanyaan seperti: Apakah pengembangan riset disini merupakan gebrakan yang tepat dalam mengembangkan daya saing SDM Indonesia? apakah kebijakan-kebijakan ini dapat diimplementasi dengan baik sehingga mampu meningkatkan daya saing Indonesia? atau, apakah ini hanya lip service penarik investor saja?
Menilik Lebih Jauh tentang Riset
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan riset? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan riset sebagai “penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik”. Menurut Frascati Manual (OECD, 2015), riset terbagi menjadi dua haluan utama yakni riset murni dan riset aplikatif. Riset murni bertujuan memperdalam basis ilmu pengetahuan secara umum, misalnya riset teoritis sebagai pembaruan maupun pengembangan teori dasar sebuah disiplin ilmu. Di sisi lain, riset aplikatif berorientasi pada pemecahan masalah di dunia nyata seperti inovasi obat-obatan farmasi maupun inovasi teknis teknologi informasi. Walaupun begitu, kedua haluan riset ini saling melengkapi.
Sesuai teori pertumbuhan endogen (Endogenous Growth Model), riset menjadi salah satu unsur tak kasat mata. Teori ini menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi bermuara dari faktor endogen atau internal, bukan dari luar. Hal ini menunjukan bahwa negara perlu membenahi inovasi mereka sendiri melalui riset dan pendidikan. Untuk itu, investasi pada SDM, inovasi, dan keilmuan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan. Alhasil, investasi atas pengembangan inovasi melalui riset menjadi faktor krusial pertumbuhan. Hal ini membuktikan pentingnya riset dalam menggerakan roda perekonomian suatu negara.
Bagaimana dengan Indonesia?
Lantas, bagaimana kondisi riset Indonesia dibandingkan negara-negara lain? Indeks pengukur kapasitas inovasi negara atau Global Innovation Index yang dikeluarkan oleh Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization dapat menjadi alat dalam menilai serta mengkomparasikan kondisi riset Indonesia dibandingkan negara-negara lain. Global Innovation Index mengukur kinerja riset atas tiga indikator, yaitu kualitas universitas, rasio peneliti terhadap populasi, dan rasio dana riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Indeks ini menempatkan kinerja riset Indonesia pada ranking 63 dari 129 negara yang terdata. Walau kualitas universitas dari indonesia dinilai cukup baik pada ranking 36 secara global, Indonesia tidak memiliki nilai yang cukup baik pada sub-indeks lainnya. Rasio peneliti terhadap populasi di Indonesia masih rendah, hanya sekitar 216 peneliti tiap satu juta populasi umum. Sebagai pembanding, Malaysia dan Singapura memiliki rasio sebesar 2,358 dan 6,730. Rendahnya rasio peneliti ini menunjukan belum banyak peneliti waktu-penuh yang aktif dalam menghasilkan karya. Rasio pengeluaran dana untuk riset masih sebesar 0.1 persen terhadap PDB. Minimnya aliran dana pada riset ini menunjukan rendahnya perhatian Indonesia terhadap riset.
Dalam riset lingkup akademik, Scimago Journal Ranking dapat menunjukkan kinerja riset melalui jumlah output jurnal serta sitasi dari suatu negara. Menurut data ini, Indonesia menduduki peringkat ke-48, di bawah Malaysia (34), Thailand (43), bahkan Pakistan (45). Indonesia menghasilkan 110.610 publikasi dan 600.569 sitasi dengan rata-rata sitasi per publikasi sebanyak 5.43. Sebagai perbandingan, Malaysia mampu menghasilkan 286.411 publikasi dan 2.107.306 sitasi dengan rata-rata sitasi per publikasi sebanyak 7.36. Ini menunjukan minimnya output riset IPTEK yang dihasilkan akademisi dan peneliti Indonesia, baik secara kuantitas dari jumlah publikasi yang rendah maupun kualitas yang terindikasi dari jumlah sitasi yang sedikit.
Rendahnya nilai Indonesia dalam berbagai indeks tersebut perlu menjadi wake-up call bagi Indonesia, bahwa kondisi riset negeri ini masih dalam kondisi sub-optimal. Rendahnya nilai kondisi riset Indonesia ini berimplikasi tidak hanya pada dunia penelitian saja. Kemampuan riset merupakan salah satu elemen dasar yang substantif dalam pembentukan kapasitas inovasi suatu negara. Alhasil, kemiskinan inovasi negeri ini menjadi tidak terelakkan lagi dalam kondisi riset yang buruk. Di sisi politik, Indonesia masih menghadapi ketiadaan formulasi kebijakan berbasis riset (evidence-based policy), yang menyebabkan munculnya kebijakan yang tidak efektif dalam menyelesaikan masalah.
Mengurai Problematika Riset Indonesia
Dalam memformulasikan kebijakan yang tepat dan berdampak untuk dunia riset Indonesia, diperlukan sebuah pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang problematika riset Indonesia. Masalah ini muncul dalam efek domino, yaitu satu isu menyebabkan atau memperparah isu lain. Lantas, apa saja problematika yang menghambat perkembangan riset di Indonesia?
Pertama, riset di Indonesia memiliki dana yang terbatas dengan pemanfaatan dana yang kurang efisien. Mantan Menteri Riset dan Teknologi Mohammad Natsir menyebutkan bahwa dalam sebuah publikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kurang dari 50 persen dana yang digunakan untuk keperluan riset, sedangkan sisanya dihabiskan untuk biaya administrasi-birokrasi (Ruhyani, 2018). Sebesar Rp14 triliun dari total Rp24,9 triliun dana riset malah dihabiskan untuk kebutuhan lain seperti pelatihan dan perjalanan dinas.
Kedua, rendahnya kontribusi sektor swasta dalam riset. Saat ini, mayoritas pendanaan riset masih berasal dari institusi publik seperti pemerintah dan universitas. Menurut Rakhmani & Siregar (2016), hal ini disebabkan oleh ketidakmerataan semangat riset universitas dan penelitian berpusat di Pulau Jawa yang cenderung berambisi atas risetnya. Akibatnya, hanya mereka yang terekspos untuk mendapat bantuan langsung dari pemerintah, kerja sama pendanaan oleh swasta, dan kolaborasi riset internasional. Belum lagi bias dari regulasi promosi pegawai negeri sipil membuat banyak peneliti cenderung berorientasi pada kuantitas dan penyerapan dana dibanding kualitas output-nya yang diakui di ranah internasional. Pengelolaan dana riset pemerintah tidak selalu dilakukan secara efisien dan/atau bahkan tidak berorientasi output, seperti pada kasus LIPI diatas.
Hal ini berbeda dengan tren di negara-negara maju yang kontribusi pendanaan risetnya didominasi oleh sektor swasta (Unesco Institute for Statistics, 2019). Sektor swasta memiliki kelebihan karena budaya riset yang orientasi pada output dan profit, serta didukung oleh alternatif pendanaan yang lebih luas. Ini menjelaskan alasan lebih dari 90 persen perusahaan dalam peringkat Fortune 500 menghabiskan lebih dari 5 persen kapitalnya untuk riset. Bahkan, terdapat sebuah model fungsi produksi pengetahuan dari Griliches (1979) yang mampu memperkirakan firm’s return dan social return untuk setiap investasi riset dan pengembangan yang dilakukan (Hall et al. 2010). Budaya dan kesadaran akan riset di sektor swasta inilah yang berkontribusi dalam Global Innovation Index.
Ketiga, belum adanya ekosistem terpadu yang suportif dalam pengembangan riset nasional. Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Julian berpendapat, pada artikel infografik Katadata, bahwa kelembagaan riset di Indonesia masih memerlukan penguatan. Pada tingkat nasional, fungsi-fungsi khusus pada bidang riset belum diampu hanya pada satu instansi saja. Wewenang untuk pengelolaan dana, riset invensi, hingga riset inovasi masih tersebar pada beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) sehingga kinerja yang dihasilkan tidak efektif. Hal ini diperparah dengan ketiadaan visi seragam yang nyata dalam pengembangan riset secara umum. Kalaupun ada, implementasi visi riset yang dikembangkan pun belum mampu dijalankan secara optimal. Ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang tumpang tindih dan minimnya kolaborasi antarlembaga. Hasilnya, kegiatan riset pada institusi yang ada masih bersifat normatif tanpa sasaran yang jelas.
Indonesia | Thailand | Jepang | Inggris | |
Regulator | Kemenristek | MoST Ministry of Science and Technology | MEXT Ministry of Education, Culture, Sport, Science, and Technology | BEIS Department for Business, Energy and Industrial Strategy |
Lembaga Riset Invensi | LIPI, BPPT, dan Universitas | NSTDA National Science and Technology Development Agency | RIKEN Rikagaku Kenkyūjo (Institute of Physical and Chemical Research) | Universitas & Lembaga Riset |
Lembaga Riset Inovasi | TISTR Thailand Institute of Science and Technological Research | Catapults Organisasi usungan Innovate UK | ||
Pengelola Dana | DIPI, LPDP, BPDP Sawit, dan Kemenristek | TRF The Thailand Research Fund | JST Japan Science and Technology Agency | UKRI United Kingdom Research and Innovation |
Tabel Kelembagaan Riset pada Indonesia, Thailand, Jepang, dan Inggris
Keempat, perspektif pemerintah mengenai riset yang masih problematik. Sebagai contoh, riset di Indonesia, terutama pada bidang sosial, juga memiliki sejarah ‘dikekang’ pemerintah berkuasa. Menurut Rakhmani dan Sakhiyya (2019), ilmuwan telah aktif dikorporasikan sebagai bagian dari birokrasi sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Praktik ini menjalar pada era Orde Baru, saat pemerintah menggunakan penelitian sosial sebagai justifikasi berbagai kebijakan. Pada dekade terakhir ini, pemerintah sudah tidak menguasai narasi keilmuan layaknya rezim represif masa lalu. Namun, penelitian-penelitian baru di Indonesia saat ini mengikuti ‘selera pasar’. Maka, tidak sepenuhnya keliru jika dinyatakan bahwa kebebasan akademik di Indonesia belum sama sekali tumbuh sebagai basis budaya keilmuan dan riset.
Kelima, ilmu pengetahuan yang tidak sampai ke ruang publik. Masih ada disparitas antara dunia akademik dan masyarakat dalam diseminasi ilmu pengetahuan. Ini diperparah dengan sedikitnya pembahasan mengenai topik riset dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali temuan baru dari dunia penelitian dipublikasi secara terbatas dengan tambahan paywall/akses berbayar. Hal inilah yang menghalangi sirkulasi ilmu pengetahuan dari penelitian ke khalayak umum. Selain itu, sedikit media yang mudah diakses yang mempublikasi hasil penelitian sehingga sirkulasi informasi berbasis riset minim memenuhi diskursus publik. Padahal, teori diffusion of innovation dari Everett Rogers mengklasifikasikan communication channels sebagai elemen utama difusi inovasi. Permasalahan ini tentunya menghambat terbentuknya ekosistem dan budaya keilmuan di Indonesia.
Keenam, kurangnya gairah riset dalam sistem pendidikan Indonesia. Telah muncul berbagai upaya untuk memasukan riset dalam sistem pendidikan seperti penghapusan Ujian Nasional (UN) dan Kurikulum 2013. Namun, belum ada hasil yang jelas atas berbagai upaya tersebut. Pemerhati pendidikan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Furqon Hidayatullah mengatakan dalam liputan dari Medcom.id, Kurikulum 2013 memiliki masalah implementasi yang dikarenakan kurangnya kompetensi guru, rendahnya minat baca dan inisiatif murid, serta keterbatasan sarana pencarian informasi yang memadai. Hal ini turut diperparah dengan budaya pengujian yang bersifat satu dimensi dan menafsirkan keberhasilan pembelajaran pada lingkup yang terbatas. Proses belajar-mengajar sukar diisi dengan pemupukan dasar rasa keingintahuan dan pemikiran kritis dalam ilmu pengetahuan. Padahal, kedua komponen tersebut merupakan dasar yang diperlukan dalam kegiatan riset.
Refleksi
Kondisi riset di Indonesia yang kurang baik diakibatkan oleh berbagai permasalahan, mulai dari keterbatasan dana hingga hilangnya riset dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Maka untuk menjawab pertanyaan di awal, kita perlu memikirkan kembali beberapa hal mendasar seperti problematika riset di Indonesia. Muncullah pertanyaan: Apakah pemerintah benar-benar sudah memiliki kacamata yang tepat dalam memandang riset Indonesia? apakah kebijakan ini hanya akan berakhir sebagai janji kampanye, lip service untuk meyakinkan investor, atau sebuah perubahan nyata dalam memajukan Indonesia? Maka, mengutip kata Pericles, seorang politikus besar dari Athena pada abad ke-5, “Bahwa hanya kebijaksanaan dari sang waktu-lah yang akan menjawab.”
(Maulana Ryan, Irfan Fawwas/EQ)
Referensi
Cornell University, INSEAD & WIPO, 2019. GLOBAL INNOVATION INDEX 2019 Creating Healthy Lives—The Future of Medical Innovation . Global Innovation Index. Available at: https://www.globalinnovationindex.org/about-gii [Diakses 1 Maret, 2020].
Ferdinandus , 2014. Ini Delapan Masalah dalam Implementasi Kurikulum 2013. medcom.id. Available at: https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/4ba08LBN-ini-delapan-masalah-dalam-implementasi-kurikulum-2013 [Diakses 1 Maret, 2020].
Griliches, Z (1979), “Issues in Assessing the Contribution of Research and Development to Productivity Growth,” Bell Journal of Economics 10(1): 92-116.
Hall, B, J Mairesse, and P Mohnen (2010), “Measuring the Returns to R&D,” in B H Hall and N Rosenberg (eds.), Handbook of the Economics of Innovation, Elsevier B.V.
OECD (2015), Frascati Manual 2015: Guidelines for Collecting and Reporting Data on Research and Experimental Development, The Measurement of Scientific, Technological and Innovation Activities, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264239012-en.
Rakhmani, I. & Sakhiyya, Z., 2019. Pembuatan kebijakan di Indonesia tidak didukung riset berkualitas dan kebebasan akademik. The Conversation. Available at: https://theconversation.com/pembuatan-kebijakan-di-indonesia-tidak-didukung-riset-berkualitas-dan-kebebasan-akademik-128472 [Diakses 1 Maret, 2020].
Rakhmani, I. & Siregar, F. 2016. Reforming Research in Indonesia: Policies and Practices. Working Paper. New Delhi: Global Development Network.
Rogers, E.M., 2013. Diffusion of innovations, New York: Free Press.
Ruhyani, Y., 2018. Riset Belum Optimal. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Available at: http://lipi.go.id/lipimedia/riset-belum-optimal/19948 [Accessed March 8, 2020].
Ruhyani, Y., 2018. Riset Belum Optimal. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Available at: http://lipi.go.id/lipimedia/riset-belum-optimal/19948 [Diakses 1 Maret, 2020].
Scimago Lab, 2019. International Science Ranking . Scimago Journal & Country Rank. Available at: https://www.scimagojr.com/countryrank.php [Diakses 1 Maret, 2020].
Tim Publikasi Katadata, 2019. Pengelolaan Kelembagaan Riset di Sejumlah Negara. Katadata.co.id. Available at: https://katadata.co.id/grafik/2019/04/15/pengelolaan-kelembagaan-riset-di-sejumlah-negara [Diakses 1 Maret, 2020].
UNESCO Institute for Statistics, 2019. How much does your country invest in R&D? UIS UNESCO. Available at: http://uis.unesco.org/apps/visualisations/research-and-development-spending/ [Diakses 1 Maret, 2020].
Discussion about this post