Kelopak mata mengatup rapat dalam kedamaian bumi pertiwi. Sisi badan kananku merapat pada pembaringan tua, tempat kulanggarkan keletihan yang melekat pada raga. Menurut ramalan telinga yang mendengar cicitan burung gereja, hari ini matahari akan bersinar cerah dari timur.
“Saya itu jam 6 dah sampai sini. Biasanya ketemu sama Pak….” suara Bapak berusia lanjut ini memenuhi ruangan kelas. Sederetan nama dosen dan insan kampus lain yang hobi datang pagi hari masih terus disebutkan. Beberapa menyimak, lebih banyak yang bergeming mengantuk. Kisah kecil mengenai kehidupan manusia memang menjadi topik favoritnya untuk membuka kelas pukul tujuh pagi. Terlebih mengenai istri dan keluarga besarnya. Tentang istri yang mengomentari mobil baru tetangga mereka, istri yang membuatkan teh lalu dipamiti untuk pergi kerja, juga sanak famili yang ia bantu pendidikannya.
Ialah Suratno, dosen senior Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) yang mengantarkan dasar-dasar ilmu ekonomi dengan penuh ketulusan. Sudah 41 tahun, Suratno mengabdikan diri di universitas kerakyatan ini. Dikutip dari artikel EQNews edisi April 2015: Lika-Liku Laku Dosen, menjadi tenaga pengajar merupakan pilihan hidup yang telah beliau dambakan sejak kecil. Baginya, ilmu adalah amal yang tak pernah terputus dan rasa tulus ikhlas adalah landasan dalam melakukan suatu pengabdian. “Jika awalnya saja sudah memikirkan rupiah, tentu tidak bisa melakukan pengabdian dalam pekerjaan,” ujarnya tegas.
Kelas berlanjut dengan diktean teori ekonomi. “Titik F menunjukkan jumlah input K yang digunakan apabila seluruh kemampuan dialokasikan untuk input K.” Untaian-untaian konsep beliau layangkan pada lembaran catatan putra putri didiknya. Lalu kemudian ia berikan contoh dalam cerita-cerita sederhana. Kelas berlangsung sederhana tanpa basa-basi. Menolak toleransi pada mahasiswa yang terlambat, memulai kelas pada menit yang akurat, dan mengakhiri kelas untuk istirahat adalah bentuk kedisiplinan yang ia sisipkan di antara materi. Pernah pula ia ceritakan tentang satu catatan kecil di dompetnya. Catatan lama berisikan kalimat-kalimat indah tentang berbagi kehidupan. Beginilah kelas Ekonomi Pengantar yang difasilitasi Suratno. Seperti langit di pagi hari yang terkadang mendung meneduhkan atau terang menyenangkan. Pun pagi di hari ini yang terang dalam diam.
Kelopak mata yang tadinya mengatup rapat, kini telah terbuka. Tak terkira, terang tak selamanya menyenangkan. Kabar duka itu datang. Sang Dosen telah berpulang. Beribu bayang terbesit, berjuta tanya menagih jawaban akan kebenaran. Ya, sosok kurus berambut putih yang kerap memberi senyum di lorong kampus itu telah tiada. Suratno telah menghadap Yang Kuasa diusianya yang tak lagi muda.
Kepada Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Equilibrium, Suratno sempat bercerita. Baginya menjadi dosen itu pasti lebih banyak mahasiswa yang senang dibanding yang tidak. “Mahasiswa yang senang akan banyak mendoakan dosennya,” tuturnya. Sempat terabai oleh perhatian mahasiswa, kalimat itu kini menjadi kalimat sarat rasa dan makna. Jauh lebih bermakna ketika sadar hal terakhir yang dapat dilakukan mahasiswa untuk membalas budi hanya berdoa.
Pulang. Suratno telah berpulang diiringi banyak rasa dan nostalgia. Rasa bangga pada ketulusannya, hormat pada kedisiplinannya, teduh pada kasih sayangnya, dan rindu pada semangatnya. Selamat jalan salah satu guru kebanggaan kami. Sosok penyulut semangat di pagi hari. Pembangun fondasi dasar ilmu ekonomi dalam benak kami. Pencerita kisah manusia yang menginspirasi. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perbaikan diri ini. Terima kasih ‘Pak Ratno’, telah mengajarkan kami hal sesederhana bangun pagi.
(Sofi Nabila/EQ)
Discussion about this post