Oleh Divisi Penelitian EQ kolaborasi dengan BPPM Psikomedia
Kemiskinan masih menjadi permasalahan klasik yang sulit dituntaskan oleh para pembuat jabatan. Meskipun terkesan klasik, kemiskinan masih bersifat penting karena konteksnya menyangkut kehidupan orang banyak. Ini dicerminkan dengan belum adanya solusi universal yang mampu benar-benar dapat mengentaskan kemiskinan. Pasalnya, kemiskinan tidak hanya berkecimpung di wilayah terpencil saja, melainkan juga turut menjamur di kota-kota besar. Indonesia sendiri juga tidak terlepas dari keadaan ini.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2019, terhitung sepersepuluh orang di Indonesia adalah orang miskin. Pulau Jawa menempati urutan pertama dalam jumlah orang miskin terbanyak per pulau, yakni sebesar 12,7 juta orang. Meski demikian, rasio antara jumlah penduduk miskin dan total penduduk di pulau Jawa hanya sebesar 8 persen. Artinya seperdelapan orang di pulau Jawa hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu, pulau Sumatera menempati urutan kedua dalam jumlah orang miskin per pulau, yakni sebesar hampir 6 juta jiwa. Rasio perbandingan untuk pulau Sumatera adalah 10 persen. Artinya, sepersepuluh orang di Sumatera hidup di bawah garis kemiskinan. Persentase terbesar dipegang oleh pulau Maluku dan Papua, sebesar 21 persen. Hal itu berarti 1 dari 5 orang di Maluku dan Papua hidup di bawah garis kemiskinan.
Hidup di bawah garis kemiskinan artinya menjalani hidup yang serba kekurangan. Kekurangan ini juga mencakup kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan pokok. Mengikuti definisi penduduk miskin dari BPS, mereka adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Peneliti bidang Kepakaran Sosiologi Politik DPR RI, Mohammad Mulyadi, dalam kajiannya yang berjudul Strategi Pemerintah dalam Penanganan Kemiskinan dan Kesenjangan, menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hal itu mengindikasikan bahwa sulit bagi masyarakat miskin untuk sekedar menyuap sesendok nasi. Kemiskinan juga berarti orang tersebut tidak bisa mengenyam bangku pendidikan sebagaimana yang seharusnya. Kondisi ini kerap diiringi dengan pendapatan yang tidak cukup, kehidupan yang kurang sehat, serta sanitasi yang tidak layak.
Pendapat umum menyatakan bahwa sumber pendapatan masyarakatlah yang dapat mencukupi segala macam jenis kebutuhan materil. Alur solusi sederhana yang dapat dipikirkan, ketika kondisi masyarakat serba kesulitan dalam memenuhi kebutuhan, hal tersebut menyebabkan masyarakat masuk ke dalam lingkar kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Namun, apakah penyebabnya memang hanya sebatas itu saja? Adakah penyebab lain yang menyebabkan kemiskinan tetap awet?

Faktor penyebab kemiskinan sendiri dapat dikatakan sangat kompleks. Tidak ada faktor penyebab kemiskinan yang dapat diterima secara universal (Todaro, 2015). Dalam studi pembangunan sendiri, ada banyak teori yang menyodorkan penyebab kemiskinan. Misalnya, Sarlo (2019) dalam tulisannya yang berjudul The Causes of Poverty, memaparkan dua penyebab utama timbulnya kemiskinan. Yang pertama adalah penyebab struktural. Argumennya, kemiskinan tidak terlepas dari alasan sistematis. Hal-hal sistematis tersebut seperti banyaknya motif mengejar keuntungan dengan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selain itu, melekatnya diskriminasi ras dan gender dalam institusi/pasar dan berlakunya tingkat upah yang kurang sesuai membuat beberapa keluarga sulit keluar dari kemiskinan. Adanya kegagalan untuk berinvestasi secara memadai dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, dan asuransi sosial juga termasuk alasan sistematis lainnya yang menjadikan masyarakat tidak mendapat akses secara baik. Menurut pandangan ini, semua faktor tersebut mengurangi peluang seseorang untuk naik kelas secara sosial dan meningkatkan ketidakamanan ekonomi.
Penyebab kedua dalam argumen Sarlo adalah perilaku atau budaya. Dalam masyarakat, terdapat budaya kemiskinan atau seperangkat sikap dan perilaku negatif yang cenderung diturunkan dari orang tua ke anak-anak. Perilaku ini dapat mengarahkan anak-anak tersebut menuju kemiskinan ketika dewasa. Contohnya adalah budaya konsumerisme yang tidak diimbangi dengan budaya menabung-investasi atau pengelolaan anggaran yang tidak sesuai kemampuan. Selain itu, Bertrand dan rekannya (2004) dalam tulisannya yang berjudul A Behavioral Economics View of Poverty mengatakan bahwa Ilmuwan sosial menganggap perilaku orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi berasal dari “budaya kemiskinan” yang unik dan penuh dengan nilai-nilai yang menyimpang.
Selain dari luar atau sisi eksternal, kemiskinan juga dapat tumbuh dengan subur melalui “budaya kemiskinan” dari dalam diri individu. Seringkali, masyarakat miskin merasa mereka kaya dalam hal sosial dan tidak masalah dengan keadaan finansial (ekonomi). Salah satu contohnya adalah perilaku pasrah dengan keadaan yang sudah ada dengan keyakinan bahwa apapun yang diupayakan tidak akan mengubah kondisi perekonomian keluarga. Budaya tersebut mendorong masyarakat miskin untuk menerima segala macam keadaan di sekitarnya dan menganggap kemiskinan merupakan karunia dari Tuhan. Budaya semacam ini dikenal luas di tanah Jawa dengan nama nrimo. Faktor budaya yang ditempelkan dalam individu inilah yang sulit untuk diabaikan dan diatasi karena hanya individu tersebut yang mampu mengatasi hal-hal negatif dari dirinya sendiri.
Rasanya kurang pantas jika kita menyimpulkan bahwa kemiskinan hanya disebabkan faktor eksternal saja. Kemiskinan juga dapat disebabkan oleh pola pikir manusia. Dalam ranah Ilmu Ekonomi, manusia dianggap memiliki pola pikir yang rasional dan dapat mengetahui apa yang terbaik untuk mereka. Namun, hal terpenting yang harus diingat dalam melihat dunia kemiskinan adalah fakta bahwa pola pikir rasional itu tidak ada. Hidup manusia tidak sesederhana teori ekonomi. Ada banyak hal yang dapat mempengaruhi bagaimana manusia mengambil keputusan, dan ini juga berlaku bagi orang miskin. Seperti yang akan dijelaskan di bawah, orang miskin mempunyai kondisi yang menyebabkan mereka tidak dapat berpikir secara rasional. Kondisi ini juga berhubungan dengan faktor lain yang mengelilinginya. Siklusnya tak hanya berjalan satu arah. Justru, penyebab dan konsekuensi dari kemiskinan itu sendiri membentuk siklus berputar di mana mereka saling mempengaruhi satu sama lain dan kembali lagi.
Untuk mengetahui pengaruh dari kondisi di atas, ada baiknya kita melihat manusia secara lebih humanis. Makhluk yang selalu berpikir, itulah manusia. Dalam proses berpikir atau kognitif manusia, terjadi proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan atau decision making termasuk ke dalam executive function atau fungsi eksekutif pada pikiran manusia. Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif yang membantu manusia untuk membatasi respon impulsif, mengatur emosi negatif, dan menghindari pengambilan keputusan yang buruk (Blair, 2016). Selain pengambilan keputusan, fungsi eksekutif juga mencakup memori, atensi, serta kontrol diri. Individu yang mempunyai kemampuan fungsi eksekutif yang baik akan mampu membuat keputusan yang tepat, tak terkecuali pada aspek mengatur keuangan dan kemiskinan. Beberapa model pengambilan keputusan dapat menjelaskan faktor individu dari siklus kemiskinan itu sendiri.
Dari sekian banyak informasi yang ada, manusia memberi atensi pada informasi yang relevan saja untuk diproses. Manusia bisa memilih hal yang perlu diperhatikan maupun diabaikan. Hal ini disebut attention atau atensi, yaitu mekanisme seleksi informasi yang lebih diprioritaskan (Chun, Golomb, & Turk-Brownie, 2011). Proses atensi ini dapat dipengaruhi oleh kemiskinan seseorang. Hal ini dibuktikan dengan penelitian menggunakan simulasi game oleh Shah, Mullainathan, dan Shafir, (2012) dan Mani dkk, (2013).
Dari penelitian tersebut, ada perbedaan yang mencolok. Orang yang mengalami kemiskinan terlihat kurang terlibat dalam game, lelah, dan butuh waktu lebih lama dalam membuat keputusan. Kelompok eksperimen (kelompok yang mengalami kemiskinan) juga memiliki skor atensi yang lebih rendah dibanding kelompok kontrol (kelompok yang tidak mengalami kemiskinan). Terlihat bahwa kemiskinan dapat menyebabkan gangguan dalam proses seleksi informasi yang masuk. Individu yang mengalami kemiskinan sulit untuk menentukan hal mana yang ingin diperhatikan dan hal mana yang ingin diabaikan. Ketidakmampuan untuk melakukan atensi dengan baik berefek pada lamanya waktu yang diperlukan individu dalam mengambil keputusan. Lamanya waktu pengambilan keputusan mengarah pada keputusan yang juga buruk.
Fenomena ini disebabkan oleh ketidakmampuan mekanisme otak dalam mengatur masalah. Dalam proses kognitif, dikenal istilah cognitive resources (daya kognitif) dan cognitive load (beban kognitif). Daya kognitif adalah kemampuan berpikir yang tersedia. Sementara itu, beban kognitif atau beban pemrosesan pikiran mengacu kepada seberapa besar suatu tugas mengambil kapasitas kognitif. Pada individu miskin, tekanan ekonomi yang timbul karena kemiskinan, afek negatif, dan stres ikut berperan dalam beban pemrosesan pikiran. Beban pemrosesan pikiran ini memberi pengaruh negatif pada kapasitas seseorang untuk mengendalikan diri atau self-control capacity (Adamkovic & Martoncik, 2017). Individu yang mengalami penurunan kapasitas pengendalian diri akan mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan dan membuat keputusan.
Salah satu pemicu pengambilan keputusan yang buruk adalah perilaku impulsif dan intuitif. Penurunan kemampuan mengendalikan diri rupanya mengakibatkan lahirnya perilaku impulsif dan intuitif yang dapat memicu pengambilan keputusan ekonomi yang buruk dan mengarah ke siklus kemiskinan yang berulang (Vohs, 2013). Perilaku intuitif mengarahkan individu pada pengambilan keputusan yang buruk, misalnya dengan pembelian barang-barang konsumsi yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Keinginan untuk membeli barang tak lagi bisa ditahan dikarenakan pengendalian diri yang melemah. Saat tindakan semacam ini dilakukan dalam kondisi miskin, kemiskinan meningkat dan membuat individu berkutat pada siklus kemiskinan. Ini akan menjadi lingkaran setan yang berulang dan tidak akan pernah selesai.
Diluar faktor-faktor beban pemrosesan pikiran, pengambilan keputusan juga berkaitan dengan literasi finansial. The Marshmallow Experiment mengenalkan konsep delayed gratification (kepuasan yang tertunda) dimana keberhasilan anak dalam mengontrol diri akan menghasilkan reward yang lebih banyak daripada yang dijanjikan di awal. Konsep ini disebut pula dengan konsep time-discounting dalam studi keuangan. Hasil studi mendukung bahwa individu dalam kemiskinan akan cenderung mengambil reward kecil yang lebih dekat dibanding reward yang lebih besar tetapi lama (Mishra & Lalumière, 2016). Preferensi dalam pengambilan keputusan ini memang perlu disorot dengan faktor-faktor di sekitarnya; beban pemrosesan pikiran yang lebih banyak pada individu miskin dan tidak adanya stabilitas finansial. Tanpa adanya kepastian keuangan jangka panjang, individu cenderung ‘bermain aman’ dengan reward yang kecil dan instan.
Secara garis besar, dalam model oleh Adamkovic dan Martoncik (2017), berada dalam kemiskinan meningkatkan afek negatif dan stres. Hal ini disebabkan baik oleh indikator objektif (pendapatan, kebutuhan yang tidak tercukupi, dll) maupun indikator subjektif (kesejahteraan psikologis, status sosial). Efek negatif dan stres yang menambah beban kognitif, terjadi secara konstan dan dalam jumlah yang lebih banyak pada individu dalam kemiskinan. Beban kognitif yang lebih berat ini akan mempengaruhi kinerja yang lebih buruk pada fungsi eksekutif berupa atensi, memori kerja serta kontrol diri. Kinerja yang lebih buruk pada fungsi eksekutif ini mendorong pemikiran yang lebih intuitif, seperti dalam preferensi membeli. Hal ini membawa dampak yang lebih besar pada pengambilan keputusan dalam konteks literasi finansial yang buruk pula. Dari hubungan antar faktor ini, jelas semakin menempatkan individu yang berada dalam kemiskinan berada dalam posisi yang sulit untuk mengambil keputusan finansial yang lebih baik.
Terlepas dari penyebab kemiskinan yang sangat kompleks, harus diakui bahwa pengentasan kemiskinan memerlukan berbagai upaya dari pemerintah. Terhitung sejak Maret 2018 hingga Maret 2019, penurunan persentase jumlah orang miskin di Indonesia hanya sebesar 0,41 persen. Salah satu kontributor dalam penurunan angka tersebut adalah usaha-usaha pemerintah berupa bantuan sosial: Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Meski demikian, program-program tersebut masih terintegrasi secara parsial dan belum efisien dalam praktiknya, sehingga dampak yang diharapkan tidak memenuhi ekspektasi. Fakta ini bisa dilihat dalam implementasi Program Keluarga Harapan (PKH). Masalah dalam praktik program ini terletak pada cakupannya yang tidak setara, manfaatnya yang rendah, pelatihan dan dukungan yang tidak memadai bagi para fasilitator, serta koordinasi yang terbatas dengan penyedia layanan kesehatan dan pendidikan di tingkat nasional maupun daerah.
Solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaikinya ialah melakukan perluasan akses dan mekanisme program bantuan secara intensif. Perluasan ini dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas pelaksanaan program, memperbaiki sistem Teknologi Informasi (TI), memperbaiki manajemen SDM dan memastikan pelatihan yang memadai bagi para fasilitator, memperluas Family Development Session (FDS) untuk para keluarga, menaikkan besaran manfaat PKH, serta meningkatkan upaya berbagi informasi dengan penyedia layanan dan otoritas perencanaan penyediaan layanan. World Bank (2017) dalam kajiannya yang berjudul Menuju Sistem Bantuan Sosial yang Menyeluruh, Terintegrasi, dan Efektif di Indonesia menyarankan sebaiknya Indonesia mengintensifkan upaya reformasi bantuan sosial untuk memastikan Indonesia tetap berada di jalur yang benar dalam pengentasan kemiskinan dan penurunan ketimpangan. Selain itu, perbaikan terhadap akses finansial bagi orang miskin juga harus digalakkan. Sebagai contoh, mereka dapat diberi pinjaman yang dirasa cukup dengan jaminan yang tidak terlalu besar, dan tidak membebani. Hal ini dapat dilakukan saat orang miskin tersebut sudah dapat mengalokasikan uangnya dengan baik.
Selain program bantuan dalam bentuk uang, pemerintah juga perlu memberikan pembekalan keterampilan bagi masyarakat menengah ke bawah. Pembekalan yang ada harus mengutamakan berbagai macam keterampilan, baik dari segi softskill maupun hardskill. Pengentasan kemiskinan akan lebih efektif apabila bantuan uang diimbangi dengan kemampuan mengontrol dan mengalokasikan bantuan tersebut dengan efisien. Selain itu, bantuan yang ada juga harus dapat membantu mereka untuk keluar dari penting bagi individu untuk menyikapi bantuan secara bijak. Tujuan ini dapat direalisasikan dengan memberikan sedikit pelatihan mengenai kontrol diri dan pengaturan prioritas keuangan. Manajemen diri dan keuangan penting untuk memaksimalkan manfaat dari bantuan pemerintah yang tersedia.
Secara simultan, program-program bantuan saat ini harus bertujuan untuk memberikan manfaat yang tepat kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat. Sosialisasi yang buruk dan misalokasi penerima manfaat yang terjadi di masa lalu perlu diperbaiki; reformasi prosedur penetapan sasaran harus dilakukan agar belanja pemerintah tidak terbuang secara percuma dan objektif program-program bantuan sosial dapat terpenuhi. Akhirnya, reformasi program bantuan sosial yang terintegrasi akan mendorong konvergensi program yang lebih besar yang sudah atau sedang berjalan saat ini.Kemiskinan tetap menjadi suatu permasalahan yang kompleks. Ada banyak perbaikan yang harus dilakukan dari berbagai segi kehidupan orang miskin untuk menghilangkan masalah ini. Sejauh ini, pemerintah telah memberikan berbagai jaring pengaman sosial dan subsidi untuk menjaga mereka yang rentan. Namun, perbaikan dari segi menjaga sumber daya materil saja tidak cukup. Para pembuat kebijakan juga harus mengetahui apa yang ada di pikiran orang-orang miskin. Pemikiran mereka harus diubah supaya mereka dapat mengalokasikan sumber daya mereka untuk jangka pendek dan jangka panjang (consumption smoothing). Siklus kemiskinan dapat dihilangkan jika orang miskin dapat mengetahui apa yang terbaik bagi mereka setelah memperhitungkan prioritas, budaya, dan pencegahan perilaku buruk. Jika pola pikir orang miskin tidak diubah, pemberian berbagai jejaring sosial tidak akan mengubah kehidupan mereka dalam jangka panjang. Pemberian bantuan dalam jangka panjang bisa jadi akan hanya terkesan membuang-buang uang saja.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. t.thn. Kemiskinan dan Ketimpangan. Diakses Januari 31, 2020.
https://www.bps.go.id/subject/23/kemiskinan-dan-ketimpangan.html.
Bertrand, Marianne, Sendhil Mullainathan, dan Eldar Shafir. 2004. “A
Behavioral-Economics View of Poverty.” American Economic Review, 94 (2): 419-423
Adamkovicˇ, M., and Martoncˇ ik, M. (2017). A Review of Consequences of Poverty on Economic Decision-Making: A Hypothesized Model of a Cognitive Mechanism. Frontiers in Psychology, 8(1784), 1-13.
Blair, C., Granger, D. A., Willoughby, M., Mills-Koonce, R., Cox, M., and Greenberg, M. T. (2011). Salivary cortisol mediates effects of poverty and parenting on executive functions in early childhood. Child Dev. 82, 1970–1984. doi: 10.1111/j.1467-8624.2011.01643.x
Christopher A. Sarlo (2019). The Causes of Poverty. Fraser Institute. http://www.fraserinstitute.org.
Chun, M. M., Golomb, J. D., & Turk-Browne, N. B. (2011). A taxonomy of external and internal attention. Annual Review of Psychology, 62, 73–101. DOI: https://doi.org/10.1146/annurev.psych.093008.100427
Mani, A., Mullainathan, S., Shafir, E., and Zhao, J. (2013). Poverty impedes cognitive function. Science 341, 976–980. doi: 10.1126/science.1238041
Mulyadi, Mohammad. 2018. STRATEGI PEMERINTAH DALAM PENANGANAN KEMISKINAN DAN KESENJANGAN. Jakarta Pusat: PUSLIT BKD.
Shah, A. K., Mullainathan, S., and Shafir, E. (2012). Some consequences of having too little. Science 338, 682–685. doi: 10.1126/science.1222426
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2015). Economic development.
Discussion about this post