Penulis: Naufal Mohammad F/EQ
Foto oleh Annisa Mutiara/EQ
Romantisme Yogyakarta tampaknya menjadi sebuah diskursus menarik belakangan ini. Hal ini muncul dalam masyarakat sebagai sebuah respons kepedulian mereka terhadap Yogyakarta, khususnya dalam memandang kota ini sebagai sebuah entitas kultural. Walaupun demikian, pemahaman akan romantisme ini masih berada di tataran permukaan saja; sebatas melihat Yogyakarta dari kenikmatan malam di Malioboro, estetiknya bangunan cagar budaya, hingga sekadar kesyahduan trotoar di pinggir jalanan kota. Lebih dari itu, ada unsur-unsur yang selama ini tidak disadari oleh mayoritas masyarakat bahwa ada pemaknaan filosofis atas berbagai lingkungan fisik Yogyakarta yang didramatisasi selama ini, bahkan sudah ada sejak dahulu kala. Mahakarya filosofis ini disumbangkan sepenuhnya oleh kearifan Sri Sultan Hamengku Buwono I di awal pembangunan Keraton Yogyakarta hingga berkembangnya Kota Yogyakarta saat ini. Tak ayal, Yogyakarta ditetapkan oleh UNESCO sebagai the city of philosophy, yaitu sebuah penghargaan atau pengakuan internasional atas bertahannya unsur filosofi Kota Yogyakarta yang tak lekang oleh waktu. Lantas, bagaimana makna filosofis ini mengikuti zaman dan peluang pengembangan makna filosofis Yogyakarta menjadi konsep storynomics dalam pariwisata.
Yogyakarta, Filosofi Kota, dan Storynomics
Berbicara topik filosofis Yogyakarta, tidak dapat dipungkiri bahwa masih sedikit masyarakat yang mengetahuinya. Sebagai contoh, pernahkah kita mendengar bahwa Malioboro sebenarnya berasal dari kata malia (jadilah wali)dan bara/ngumbara (mengembara) yang berarti jadilah wali yang mengembara? Ditilik lebih jauh, hal ini bermakna bahwa di masa dewasa, perlunya manusia untuk mencari pengalaman yang banyak yang direpresentasikan dalam sebuah istilah pengembaraan. Sejalan dengan kondisi tersebut, Malioboro secara filosofis memang menggambarkan kehidupan manusia saat dewasa (filosofi sumbu imajiner Tugu—Keraton Yogyakarta dan Panggung Krapyak—Keraton Yogyakarta). Di dalam Malioboro, disajikan berbagai gemerlap dunia yang menggambarkan godaan duniawi manusia saat mencapai kedewasaan, misalnya keberadaan Pasar Beringharjo sebagai godaan kuasa atas harta dan kekayaan manusia. Jalan pinggiran yang tembus ke daerah Malioboro pun menggambarkan berbagai godaan yang masuk dalam kehidupan dewasa seorang manusia—yang memicu manusia untuk memilih dalam hidupnya untuk tetap lurus pada pendiriannya atau berbelok mencari arah jalan yang lain.
Cerita-cerita filosofis salah satu bagian dari Yogyakarta tersebut tak pernah diceritakan secara luas kepada masyarakat. Sebenarnya, tak hanya sebatas Malioboro saja, tetapi banyak daerah lain (khususnya di sumbu imajiner Yogyakarta) memberikan makna filosofis yang mendalam. Tidak hanya nama saja, kenampakan fisik pun juga menjadi objek yang simbolisasinya memiliki makna tersirat, misalnya penanaman pohon sawo kecik di Keraton Yogyakarta untuk menggambarkan perilaku sarwa becik atau senantiasa baik pada manusia. Hal ini tidak lepas dari budaya Jawa yang mencoba untuk mengharmonisasi antara kehidupan masyarakat dengan alam; memayu hayuning bawono.
Walaupun pemaknaan ini menetap dan melekat di setiap objek, kesadaran masyarakat kota masih sangat minim untuk turut mengetahui filosofi kotanya. Beberapa faktor yang memengaruhi minimnya kesadaran ini adalah kebijakan pemerintah yang pendekatannya kurang kekinian, anggapan kuno dan klenik dari masyarakat, hingga perubahan fasad objek tersebut akibat perkembangan populasi urban. Apabila dibiarkan terus-menerus, kondisi ini akan turut mendegradasi makna filosofis ini sedikit demi sedikit hingga akhirnya tidak dikenal lagi oleh generasi yang akan datang. Hal ini sangat riskan bagi perkembangan kota itu sendiri dan mempercepat perkembangan ruang urban ke sebuah kota yang tirani—pemerintahan yang sewenang-wenang akibat masyarakat yang tidak tahu jati dirinya.
Storynomics berkembang sebagai alternatif baru dalam model wisata saat ini. Secara umum, konsep ini didefinisikan sebagai sebuah pendekatan wisata yang menekankan pada narasi, konten kreatif, dan budaya serta penggunaannya sebagai atraksi dalam pariwisata. Konsep ini mulai berkembang sebagai respons atas kejenuhan wisata yang hanya menawarkan atraksi monoton akhir-akhir ini yang menjual visual dan suasana saja. Pengalaman berwisata pun hanya akan menggunakan unsur indra saja yang minim elaborasi olah rasa dan karsa lebih jauh. Padahal, penggunaan olah rasa dan karsa dalam wisata akan menimbulkan efek yang berkepanjangan di dalam psikologis wisatawan; tak hanya sekadar datang dan menikmati, tetapi muncul rasa kepemilikan dan kesadaran atas ruang, budaya, maupun sejarah wisatanya. Syarat ini apabila dilihat lebih jauh akan membawa narasi ketahanan kota secara berkelanjutan.
Konsep storynomics demikian dapat menjadi peluang besar bagi Yogyakarta, khususnya dalam menawarkan model wisata baru kepada wisatawan. Kejenuhan yang ditawarkan oleh wisata massal (mass tourism) menjadi titik balik yang memicu storynomics muncul sebagai sebuah inovasi dalam pengembangan pariwisata. Filosofi Yogyakarta, baik dalam segi toponimi, sejarah, hingga nilai budaya yang berkembang, dapat menjadi modal yang sangat baik untuk mengembangkan wisata storynomics di berbagai ruang-ruang wisata Kota Yogyakarta. Hal ini juga menjadi model baru untuk memenuhi ekspektasi wisatawan saat ini yang tak hanya sekadar menikmati “permukaan” saja, tetapi juga pengalaman mendalam atas berwisata di suatu lokasi. Unsur orisinalitas menjadi kekuatan yang ditawarkan dalam wisata storynomics ini; begitu pula apabila diterapkan di Yogyakarta. Dampak yang ditimbulkan pun cukup besar, yaitu dari peningkatan jumlah wisatawan domestik dan mancanegara hingga peningkatan jumlah pengeluaran per kapita wisatawan. Seluruhnya akan berkontribusi pada perkembangan ekonomi Yogyakarta secara lebih luas dan multidimensional.
Catatan Kebijakan Bagi Pemerintah Lokal
Mau dibawa kemana konsep wisata storynomics di Yogyakarta—quo vadis wisata storynomics Yogyakarta? Model wisata baru ini sejatinya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi berbagai kelompok yang secara sadar peduli terhadap pemajuan wisata dan kebudayaan di Yogyakarta. Namun, syarat utama yang perlu dipenuhi adalah perlunya first mover, dalam hal ini pemerintah, untuk menggerakkan komponen-komponen terkait untuk mengimplementasikan konsep ini ke depannya. Pertama, penguatan regulasi sangat penting sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan berkonsep storynomics. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) telah diteken oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai suatu upaya sadar dan berkelanjutan pengembangan wisata di Yogyakarta. Selanjutnya, diperlukan aturan turunan yang bersifat bottom-up, yaitu adanya partisipasi aktif dari pelaku wisata di tingkat lokal terhadap pemahaman dan penerapan konsep storynomics ini. Model bottom-up memastikan bahwa storynomics tidak hanya menjadi konsep awang-awang pemerintah saja, tetapi juga turut dipahami oleh pelaku di tingkat mikro. Harmonisasi ini penting untuk menimbulkan kebijakan pariwisata yang inklusif di dalam pemerintahan.
Kedua, perlunya revitalisasi kawasan-kawasan strategis kota, khususnya di kawasan sumbu filosofis yang menjadi objek utama wisata storynomics Yogyakarta. Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta patut diapresiasi untuk program revitalisasi ini. Dapat dilihat bahwa kebijakan pedestrian Malioboro sudah mulai diberlakukan awal November 2020, yakni memberikan ruang publik baru bagi masyarakat lebih mengenal Malioboro dari sisi yang berbeda. Selain itu, pengembangan kawasan Tugu Pal Putih Yogyakarta melalui perbaikan jalan, pembersihan kabel melintang, dan penambahan aksesoris di sekitar tugu kembali menguatkan eksistensi tugu sebagai awal permulaan dari sumbu filosofis Yogyakarta. Pada akhirnya, hal ini menjadi permulaan baik bagi wisatawan belajar mengenai filosofi Yogyakarta melalui pariwisata. Perbaikan jalur pedestrian di daerah-daerah strategis lainnya pun menjadi instrumen pendukung yang turut memberikan branding baru atas wisata storynomics di Yogyakarta.
Dengan demikian, wisata storynomics Yogyakarta melalui atraksi berbasis nilai filosofis Yogyakarta akan senantiasa relevan di sepanjang waktu. Bukan hanya masalah pelestarian nilai budaya yang ada, tetapi juga cara-cara mengintegrasikannya ke dalam sebuah konsep yang berdampak pula secara ekonomi. Terobosan baru ini diharapkan membawa napas baru bagi wisata di Yogyakarta sehingga kejenuhan akan wisata yang monoton akan dapat diminimalisasi, sekaligus menguatkan citra Yogyakarta sebagai kota wisata budaya. Melalui wisata storynomics juga, wisatawan tak hanya mendapatkan pengalaman visual saja, tetapi pengalaman “batin” yang dapat dibawanya saat kembali ke asalnya masing-masing sehingga menjadikan Yogyakarta sebagai wisata yang membekas di hati para wisatawan.
Discussion about this post