Sudah bukan rahasia lagi bahwa naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) sangat berpengaruh terhadap harga barang. Ongkos distribusi akan melonjak saat harga BBM naik dan berimplikasi pada naiknya harga jual barang. Mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Chatib Basri, dalam podcast-nya yang berjudul “Perang Dagang Amerika Vs Tiongkok” menyebutkan, “subsidi BBM merupakan subsidi yang tidak tepat dikarenakan tidak tepat sasaran.”
Presiden Jokowi merupakan salah satu presiden yang menolak keras adanya subsidi BBM dari pemerintah. Akan tetapi, mendekati pemilihan presiden tahun 2019 lalu, Jokowi sempat menurunkan kembali harga BBM yang diduga untuk menyenangkan masyarakat sesaat; alih-alih agar terpilih kembali menjadi presiden di periode keduanya. Mengapa inkonsistensi kebijakan tersebut dapat terjadi? Apakah secara kebetulan saja atau memang sengaja dirancang untuk dikeluarkan tiap pilpres?
Secara bahasa, populisme merupakan paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Menurut I Made Krisnajaya, Dosen Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, populisme sendiri secara bahasa artinya something to gain. Kebijakan populis dikeluarkan dengan tujuan agar popularitas meningkat dan biasa dikeluarkan dekat pemilu. Kebijakan populis sering dianggap tidak sesuai dengan yang seharusnya. Padahal, menurut dosen yang akrab dipanggil Pak Made, tidak selamanya kebijakan populis itu buruk, bisa saja kebijakan semacam itu digunakan dengan tujuan yang mulia. “Misalkan, mungkin menurut Pak Jokowi satu periode dirasa belum cukup untuk menuntaskan janji politik dan visi misinya sejak pilpres pertama. Mau tidak mau kebijakan populis harus dikeluarkan agar menang pilpres lagi dan melanjutkan tujuan mulianya yang belum terselesaikan,” ujar Made.
Memasuki periode kedua, Presiden Jokowi berjanji akan lebih fokus dalam membangun negara karena tidak memiliki beban politik. Akankah begitu? Menurut Made, semua kebijakan kembali kepada yang memutuskan. Siapa yang memutuskan? Jelas, siapapun yang memiliki kekuatan tertinggi. Sebelum kebijakan diputuskan, pada tahap awal terdapat pengumpulan usul kebijakan. Misalnya, pemerintah ingin membuat usulan sepuluh pantai terindah di Indonesia. Langkah awal adalah dengan membuka semua usulan dari berbagai pihak. Langkah selanjutnya akan dipilih mungkin oleh vote terbanyak. “Pokoknya, semakin mencapai titik akhir pengambilan keputusan, semakin sedikit pula aktor atau pihak yang memutuskan,” tambah Made.
Made menambahkan pula bahwa sebaik apapun usulan yang telah diusulkan akan kalah dengan para decision taker atau pengambil keputusan. Fenomena seperti ini sangat umum dan dinamakan sebagai the iron law of oligarch. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kebijakan tidak terduga walaupun di saat bersamaan banyak usulan yang lebih baik. Bicara ketidaktepatan kebijakan yang dikeluarkan, apakah sebuah kebijakan dapat dikeluarkan dengan tepat sesuai dengan yang seharusnya terjadi? “Bisa jadi kebijakan yang akan dikeluarkan sangat tepat sesuai dengan perspektif ekonomi. Namun, dari perspektif ilmu lain bisa saja bertentangan. Hal inilah yang sering terjadi dan harus diseimbangkan agar tidak terlalu berefek buruk dari perspektif lain,” jelas Made.
Kebijakan muncul dikarenakan adanya proses politik. “Setiap kebijakan yang dikeluarkan, sebaik atau seburuk apapun akan terlihat siapa pihak yang diuntungkan,” tambah Made. Tidak muncul begitu saja secara teknis manajerial. Artinya, kebijakan itu bersifat politis. Sebelum diterapkannya suatu kebijakan, tentu semua aktor ingin kepentingannya dipenuhi. Ketika terjadi sebuah negosiasi politik yang imbang, biasanya akan berujung pada deadlock. Tidak jarang para policy maker akan melakukan sebuah koalisi, kompromi, dan tukar menukar dalam menentukan kebijakan. Pada akhirnya, akan terlihat apa value yang akan ditonjolkan dari setiap kebijakan.
Sulit sekali bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang tepat. Terdapat banyak aktor yang berperan dalam menentukan. Sejauh ini Indonesia beruntung sudah cukup dewasa dalam hal mekanisme demokrasi. “Kita bersyukur di negeri ini tidak seperti Britania Raya yang sempat akhir-akhir ini membekukan parlemennya demi kelancaran janji politik Boris Johnson (Perdana Menteri Britania Raya) dalam melakukan Brexit,” sebut Made. Tidak ada kebijakan yang sempurna. Pasti akan dipandang salah oleh perspektif lain. Bahkan seandainya pemerintah berencana akan gila-gilaan dalam membasmi korupsi, tentu tidak semua masyarakat senang, akan ada pihak seperti koruptor yang tidak senang dengan kebijakan tersebut. Mengutip perkataan salah satu founding fathers dari Amerika Serikat, Benjamin Franklin, “anda setelah menjadi pemimpin, tidak perlu takut mengeluarkan kebijakan apapun. Karena kebijakan apapun yang Anda keluarkan, pasti akan ada orang yang mengkritik sehingga Anda tidak perlu takut salah.”
(Penulis: Muhammad F. Z. Alharkan
Ilustrasi: M Andika Rafianto/EQ)
Discussion about this post