“Jika ada pajak penghasilan, orang yang adil akan membayar lebih dan orang yang tidak adil akan membayar kurang pada jumlah penghasilan yang sama.” – Plato.
Apa itu pajak? Menurut UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan) pasal 1 ayat (1), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dapat kita lihat bahwa pembangunan infrastruktur pemerintah yang saat ini semakin baik, perekonomian masyarakat yang senantiasa mengalami pertumbuhan, dan sarana pendidikan yang berkembang pesat merupakan manfaat tidak langsung yang dapat kita rasakan dari pajak yang telah dibayarkan masyarakat kepada pemerintah. Di sisi lain ada juga manfaat yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, seperti adanya jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan hari tua, dan masih banyak lainnya.
Menyadari akan manfaat yang cukup besar apabila membayar pajak, sudahkah seluruh masyarakat kita sadar dan taat membayar pajak? Tentu belum. Masih banyak pihak yang belum sadar akan hal tersebut sehingga mereka melalaikan kewajibannya untuk membayar pajak. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab, antara lain sebagian dari mereka memilih untuk menyimpan dana yang mereka miliki di luar negeri, adapula Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak mencatatkan diri mereka sebagai seorang Wajib Pajak (WP). Hal tersebut tentu akan merugikan negara karena besar pajak yang diperoleh nantinya tidak sesuai dengan target yang direncanakan, mengingat bahwa WP yang dianggap sebagai pahlawan bangsa ternyata tidak memenuhi kewajibannya.
Tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran para WP untuk melaksanakan kewajibannya. Sebagai contoh, berbeda dengan tahun sebelumnya yang menerapkan pembayaran pajak secara manual, mulai 2016 ini pembayaran pajak dilakukan secara online melalui E-billing sehingga masyarakat tidak harus datang ke tempat mereka biasa membayar dan menghemat waktu. Upaya yang lain misalnya, pada 2015 lalu, pemerintah menerapkan sistem pembinaan pajak. Dengan adanya pembinaan pajak ini WP diberikan keleluasaan untuk memperbaiki laporan pajak sebelum 2015 sekaligus membayarkan kekurangan pajaknya. Terkait dengan kebijakan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui himbauan, sosialisasi, dan konseling akan memastikan WP agar secara sukarela membetulkan laporan pajaknya. Selain itu, melalui kerjasama pengumpulan data perpajakan dengan Instansi Lembaga Asosiasi dan Pihak Lainnya (ILAP), DJP akan mengecek kebenaran laporan pajak yang dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak.
Akan tetapi, lagi-lagi kebijakan tersebut di atas masih belum efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kewajiban membayar pajak. Pemerintah pun menetapkan tahun 2016 sebagai tahun penegakan hukum. Pada tahun ini, Kementerian Keuangan akan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menyelidiki kasus-kasus perpajakan. Namun, belum sempat terlaksana, pemerintah merencanakan sebuah kebijakan baru, yaitu adanya pengampunan pajak (tax amnesty). Memang jika dilihat keduanya sangat bertolak belakang, akan tetapi mayoritas dari para pembuat kebijakan menyetujui penerapan tax amnesty tersebut.
Apakah sebenarnya tax amnesty itu? Amnesty berasal dari bahasa Yunani yaitu “amnestia” yang berarti lupa. Jika dihubungankan dengan kebijakan perpajakan maka, tax amnesty adalah suatu kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak melakukan perbaikan atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang di masa lalu dengan membayar seluruh kekurangan pokok pajak tetapi dibebaskan dari pengenaan sanksi bunga, denda ataupun sanksi pidana fiskal (tax crime). Bukan tanpa alasan pemerintah menerapkan kebijakan tersebut. Sadar akan tidak sedikitnya masyarakat yang menyimpan dan menimbun kekayaan mereka di luar negeri agar tidak terkena beban pajak, akhirnya pemerintah memiliki inisiatif untuk mengeluarkan kebijakan ini. Padahal merekalah yang nantinya akan mempengaruhi peningkatan penerimaan pajak pemerintah. Kebijakan tax amnesty sebagai landasan hukum dilakukan dengan repatriasi modal dan aset di luar negeri untuk masuk kembali ke Indonesia. Dengan demikian, diharapkan nantinya pemerintah akan sangat diuntungkan dengan peningkatan penerimaan pajak.
Pemerintah sangat yakin bahwa setelah diterapkannya kebijakan pengampunan pajak ini akan membuat dana para WNI yang terparkir di luar negeri mengalir kembali ke Indonesia seperti halnya beberapa negara di berbagai belahan dunia yang juga menerapkan tax amnesty. Hal ini menjadikan pemerintah semakin yakin bahwa kebijakan tersebut dapat diterapkan pula di negara kita. Kebijakan tax amnesty ini tidak akan diterapkan sepanjang tahun. Menurut mantan Dirjen Pajak yang mengundurkan diri pada Desember lalu, Sigit Priadi Pramudhito, skema tax amnesty itu berlaku hanya sampai akhir 2016 dengan tarif pajak 2% pada semester pertama dan semester berikutnya 6%. “Skema tax amnesty tersebut dalam rangka repatriasi dana yang terparkir di luar negeri. Potensi yang akan diterima negara sekitar Rp 60 triliun. APBN 2016 sudah menyertakan kebijakan tax amnesty. Target pajak Rp1.350 triliun,” kata Sigit saat ditemui di Kompleks Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Jumat (30/10/2015) seperti yang dilansir dari laman mediaindonesia.com.
Berhasil atau tidaknya kebijakan pengampunan pajak ini kembali lagi kepada masyarakat, karena apapun kebijakan yang diterapkan apabila masyarakat tunduk pada peraturan maka kebijakan tersebut akan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya, apabila masyarakat sendiri tidak tunduk pada peraturan maka kebijakan tidak akan berjalan baik. Jadi, segala sesuatunya sangat bergantung pada kesadaran masyarakat. Semoga kedepannya perpajakan di Indonesia akan menjadi lebih baik dan kesadaran masyarakat akan lebih meningkat.
(Zulfa Oktafiani/EQ)
Discussion about this post