Reza mengawali materi dengan penjelasan mengenai revolusi industri keempat. Fenomena tersebut ditandai dengan perkembangan teknologi yang pesat. Perkembangan ini berdampak di seluruh aspek kehidupan manusia yang kemudian menuntut adanya penyesuaian pada berbagai bidang. Indonesia telah memiliki peta jalan yang disebut Making Indonesia 4.0 sebagai bentuk penyesuaian terhadap revolusi industri keempat. Terdapat masing-masing lima sektor industri produktif dan teknologi yang menjadi prioritas Indonesia. Sampai saat ini sudah terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan teknologi Industri 4.0 seperti PT. PAN Brothers Tbk.
Penerapan teknologi 4.0 sendiri diprediksi dapat meningkatkan produktivitas produksi dan tenaga kerja jika diterapkan. Disisi lain, dengan berkembangnya teknologi automasi, pekerjaan manusia dapat tergantikan oleh mesin. Salah satu contohnya adalah penggunaan chatbot yang dapat menggantikan pekerjaan customer service. Meskipun demikian, masih ada pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh mesin yang bersifat human sentris seperti konsultan keuangan, perawat, dan terapis.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, di Indonesia pengangguran terbanyak berasal dari lulusan pendidikan SMK. Hal ini diperkirakan terjadi karena ada ketidaksesuaian kemampuan yang dimiliki lulusan dengan kemampuan yang dibutuhan perusahaan. Di sisi lain, sektor perekonomian di Indonesia yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian yang dianggap kurang produktif jika dibandingkan dengan sektor lain seperti sektor pengolahan.
Penelitian dari Interntional Labor Organization pada 2016 mengatakan bahwa menurut pengusaha, keahlian yang paling sulit ditemukan di pekerja adalah berpikir strategik, problem solving, bahasa asing, dan keahlian teknis. Menurut mereka selain keahlian teknis, kemampuan berkomunikasi dan kerja sama juga menjadi skill set penting yang harus dimiliki pekerja.
Peta jalan “Making Indonesia 4.0” telah memasukkan agenda peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam prioritas nasional. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengelola bidang SDM. Ditambah dengan fakta bahwa Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2030, peningkatan kualitas SDM memang pantas menjadi urgensi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti kursus online yang telah disediakan lembaga pendidikan. Dengan demikian, adanya teknologi dan globalisasi dapat membantu kemudahan akses menuju ilmu pengetahuan baru.
Selanjutnya, Nurhadi selaku komisaris Engineering Career Center (ECC) UGM membuka diskusi dengan memberikan gambaran tentang kondisi rekrutmen di dunia kerja. Setiap tahunnya ECC UGM telah melayani kurang lebih seribu mahasiswa dan 600 perusahaan. Tren yang terjadi saat ini adalah banyak talent/fresh graduate yang mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah tahun pertama bekerja. Data menunjukkan bahwa lebih dari 65% fresh graduates dari tiga universitas terbaik di Indonesia mengajukan pengunduran diri setelah tahun pertama bekerja. Dampaknya kemudian ketika proses rekruitmen adalah banyak alumni yang administrasi pendaftarannya tidak diproses karena perusahaan sudah mengerti bahwa calon pekerja ini tidak loyal.
Alasan terbesar pekerja meninggalkan pekerjaannya begitu cepat adalah ketidakcocokan dengan atasannya. Disamping itu, budaya dan lingkungan bekerja juga menjadi penentu. Nurhadi kemudian menjelaskan bahwa untuk menanggapi hal ini perusaahan-perusahaan akan mentransformasi kepemimpinannya. Beberapa perusahaan saat ini juga menerapkan coaching antara praktisi yang telah berpengalaman dengan fresh graduate. Beberapa praktisi di perusahaan juga mengemukakan bahwa ada gap yang tinggi antara industri dengan perguruan tinggi. Bahwa materi pembelajaran yang diberikan di kampus tidak cukup memberikan gambaran kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Fungsi pendidikan tinggi saat ini akan bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Adanya perkembangan teknologi dalam era revolusi industri keempat memang membutuhkan banyak tenaga kerja yang “melek teknologi”. Pendidikan tinggi tidak hanya bersungsi untuk transfer pengetahuan saja namun juga harus dapat mengasah soft skill mahasiswa. Dibutuhkan pemetaan minat, pendampingan, dan mentoring dan tergantung kebutuhan talent. Dengan demikian, implementasi “systematic skill of life learning” dapat terlaksana dengan optimal.