Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Pasal 33 UUD 1945, Ekonomi Kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia. Menurut Prof. Mubyarto, pakar Ekonomi Kerakyatan, Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi berskala nasional, yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan keberpihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Keberpihakan pada Sistem Ekonomi Kerakyatan ini menjadi muara pada diskusi yang diadakan oleh Ormada Candradimuka (28/1) dengan tema “Polemik Perda Sleman Tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan” di Kantor Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (Pustek UGM).
Akhir November 2018 lalu, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Sleman tentang perizinan pusat perbelanjaan dan pasar swalayan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sleman. Raperda ini akan diproyeksikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman untuk menggantikan Perda No. 18 tahun 2012. Rancangan ini menjadi polemik hingga sekarang. Adanya draf Raperda ini dirasa merugikan penjual di pasar tradisional. Salah satu poin utama yang dibahas adalah jarak antara pasar tradisional dengan toko modern di jalan nasional adalah 0 meter dan pada jalan biasa adalah 500 meter. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang menetapkan bahwa jarak antara pasar tradisional dan toko modern adalah 1 kilometer. Kelonggaran ini membuat pasar tradisional semakin sepi. Sigit Wibowo, perwakilan dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), menyebutkan bahwa poin mengenai jarak pasar tradisional dengan toko modern tidak disetujui oleh 7 fraksi partai dari 8 fraksi partai saat sidang paripurna DPRD Sleman. Namun, keadaan beralih kepada persetujuan dari semua fraksi pada sidang selanjutnya .
Agus Subagyo, selaku Koordinator Forum Peduli Pasar Rakyat (FPPR) mengatakan bahwa meskipun baru berbentuk Raperda, Pemkab Sleman menganggap Perda ini sudah berlaku. “Contohnya, sudah ada toko-toko modern baru karena mengacu pada perda yang baru ini, ” ujar Agus. Menurut Agus, Pemda Sleman tercakup dalam skenario pemilik modal. Skenario ini telah membuka kesempatan yang lebih besar untuk pemilik swalayan dan mempersempit ruang gerak para pedagang pasar.
Pada Forum Diskusi Candradimuka, Hempri Suyatna mengungkapkan bahwa riset yang dilakukan oleh Pustek UGM dengan Ombudsman menunjukkan ada dampak negatif dari kehadiran pasar modern terhadap pasar tradisional seperti warung kelontong. Sebagai contoh, observasi yang dilakukan oleh aktivis Pustek UGM ini menunjukkan bahwa adanya Alfamart di Maguwo berimplikasi terhadap turunnya omzet bahkan tutupnya toko kelontong di sekitar gerai tersebut. Di samping itu, Dosen Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) yang berfokus pada ekonomi kerakyatan ini berpandangan bahwa banyak toko modern telah melanggar peraturan seperti tidak memiliki Izin Usaha Toko Modern dan melanggar jarak toko dengan pasar tradisional.
Menurut Hempri, Raperda ini dianggap sebagai siasat strategi untuk melindungi toko-toko modern yang sudah melanggar aturan. “Jika dilihat dari progres, kuota toko modern pada tahun 2015 di Sleman hanya 130, kenyataannya ada 203 toko modern,” tambah Hempri. Agus mengemukakan bahwa toko modern yang tidak berizin mencapai 70 hingga 80 toko modern. Agus menambahkan, “Jika Raperda ini akan berlanjut, maka toko yang tidak berizin ini akan sah secara langsung. Semacam diputihkan.”
Hal ini menunjukkan bahwa Pemkab Sleman belum serius dalam membantu meningkatkan kesejahteraan pedagang pasar di wilayah Sleman. Kejadian ini tidak hanya terjadi pada penyusunan aturannya saja, tetapi juga pada program pembangunan sarana maupun prasarana pasar tradisional. Hal ini diungkapkan oleh Rubiyanto, selaku perwakilan pedagang Pasar Godean. Kebijakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sleman untuk melakukan revitalisasi Pasar Godean tak kunjung mendapat kabar yang jelas.“Dulu dikabarkan ada relokasi karena ada revitalisasi, tapi setelah kabar itu, relokasi tidak kunjung digubris, ” katanya.
Sayangnya, realisasi kebijakan yang demikian dipengaruhi oleh pembuatan kebijakan oleh Disperindag Sleman yang tidak menampung aspirasi pedagang pasar secara menyeluruh. Menurut Rubiyanto, sebenarnya rencana revitalisasi Pasar Godean yang sebetulnya tidak begitu dibutuhkan oleh pedagang pasar. Akan tetapi, jaminan kondisi pasar yang ramai pembeli menjadi kebutuhan pedagang pasar. “Simbok-simbok di pasar itu gak butuh revitalisasi. Selagi tempat sudah enak dan mesti ada pembeli, simbok-simbok di pasar pasti seneng,” ujar Rubiyanto.
Jaminan kondisi pasar agar ramai pembeli diyakini hanya bisa tercapai bila toko modern dibatasi jumlahnya. Hal ini karena saat ini barang yang dijual di pasar tradisional dengan toko modern tidaklah jauh berbeda. Kondisi ini diperparah lagi dengan akses toko modern untuk mendapatkan barang yang dijual lebih mudah karena berhubungan dengan produsen langsung. “Orang di pasar itu bukan miskin karena bodoh, tetapi karena memang dimiskinkan,” ujar Agus. Oleh sebab itu, mencegah Raperda tentang perizinan pusat perbelanjaan yang melonggarkan batasan jumlah dan lokasi toko modern menjadi perhatian yang harus diperjuangkan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh FPPR untuk menolak diterapkannya Raperda tersebut. FPPR beralasan bahwa argumen Naskah Akademik (NA) yang digunakan untuk merancang Raperda ini lemah. Menurut FPPR, kelemahan NA dari sisi kajian terletak pada tidak ada pembahasan terkait tingkat ketimpangan dan perbandingan kondisi toko modern dengan toko lokal. Pembahasan NA lebih banyak memaparkan keberadaan toko modern. Dari sisi landasan ilmiah, ada ketidakcocokan antara paparan landasan ilmiah dan rekomendasi yang diberikan dimana seharusnya pemerintah lebih tegas menata keberadaan toko modern dan toko lokal. Dengan semangat berpihak pada rakyat kecil, FPPR berharap agar Raperda dikaji ulang oleh Pemkab Sleman. Meskipun, saat ini Raperda sedang dalam register pada tingkat gubernur. Selain itu, melalui forum ini, Agus mengharapkan pemerintah untuk tidak ngawur dalam membuat Raperda karena peraturan tersebut berlaku lima tahun dan Raperda ini tidak berpihak pada rakyat.
(Y. B. Ariel Kenandega, Ayom Purwahadikusuma/EQ)
Discussion about this post