Oleh : Sofi Nabila
(sofinabila254@gmail.com)
Tuhan menciptakan bumi berotasi maka, saat itu pula, Ia ciptakan dentingan waktu yang tak serempak di satu tempat dan tempat lainnya. Berbeda hal lagi saat bulatan ini mengitari matahari. Dengan demikian, ia gerakan angin yang membawa musim kemarau padaku dan musim lagu “aku selalu bahagia saat hujan turun” diputar di radio kesayanganmu. Hidup ini nampaknya sejak awal diatur untuk dikandung zat-zat perbedaan. Termasuk, saat ini, aku harus merasakan nuansa separuh bulan Ramadan yang berbeda, di tanah kering berpasir dengan rumah-rumah berjajar di tepi jalan Trans-Sulawesi. Aku di Desa Patuhu, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Masih di Indonesia, tanah air beta.
“Heh ! Mbok, jangan hemat-hemat. Masa satu orang 2 ikan kecil, 2 sendok kangkung?” “Prek, sekarang aku tahu kenapa kita siang-siang tidur? Mergo kurang gizi!” “Ya kalian sih makannya kayak kuli!” “Assssh! Mbok jangan kayak orang susah to!” “Pol peyok!”. Baru saja, beberapa saat lalu, aku ribut dengan kawan-kawan lelaki seperjuangan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Semua memang perlu diurus sendiri, mulai dari mencincang bawang hingga mengatur keuangan. Pun perihal buka puasa dan sahur. Itu tadi percakapan jenaka di dapur kecil kami, saat waktu santap makan tiba. Ya sudahlah ya, sepertinya bocah-bocah lanang ini rewel karena panasnya cuaca Gorontalo belum jadi zona “biasa” mereka. Bukan begitu? Zat-zat perbedaan tadi menjadi persoalan bagi kita lantaran kita belum biasa saja. Sesudah itu, semua menjadi sama normalnya, seperti saat dahulu belum berbeda.
Di Desa Patuhu, 99 persen penduduknya memeluk agama Islam dan hanya segelintir yang tidak berpuasa Ramadhan. Maka, tak heran ketiga masjid di tiga dusun akan disambangi Imam Desa dan makmum-makmumnya. Begitu pula, di masjid dusun tempat aku tinggal, Dusun Suka Damai. Namanya memang seperti dusun dalam buku paket bahasa Indonesia untuk sekolah dasar, namun, sekali lagi, ya sudahlah ya, bisa jadi toponimi namanya memang darisana.
Kondisi masjid masih setengah jadi. Dindingnya berwarna kelabu semen dengan jendela tak berkaca. Langsung darinya terpampang bukit hijau di seberang desa dengan langit biru tua berawan. Langit disini selalu terasa luas apapun warnanya. Termasuk saat menampilkan sejuta ilusi bintang di kala malam. Perihal terbiasa tadi, ternyata bukan hanya kita harus bisa biasa pada perubahan yang menyusahkan, melainkan juga yang maha indah seperti bintang jatuh di langit Gorontalo dan bubur ikan yang disediakan masjid. Bubur berbumbu dua belas bungkus micin per hari selama satu bulan penuh. Pol Peyok!
Kita di Jawa pasti sudah familier dengan adzan di layar kaca. Sementara itu, disini orang-orang pasang telinga dengan radionya. Masjid-masjid juga tak mau kalah turut men-stereokan bebunyian ayat suci di radio, sebelum panggilan Tuhan akhirnya mengudara. Kendati demikian, kami tidak langsung menegak teh-setengah-gelas-super-manis, kue-kue manis, dan bubur micin begitu adzan terdengar. Kami perlu menunggu lima menit lagi karena adzan di radio ditujukan untuk manusia Kota Gorontalo yang berjarak 200 km dari kami. Jadi, anggap saja jarak 200 km itu sudah dapat membedakan pukulku dengan pukulmu selama lima putaran jarum panjang. Baru setelah lima menit berlalu, pemuda setempat akan memukul bedug tanda kami boleh mulai menyeruput.
“Umur berapa?” “20 21 Ibu” “Bisa masak?” “Hehe sedikit-sedikit Ibu” “Astaga! Hahaha” Begitu selesai beribadah, kami biasa bercengkrama sebentar dengan warga di Masjid, pun terbiasa pula dengan tawa bahak mereka melihat kami anak perempuan tak lihai mengolah bumbu-bumbuan. Bermacam-macam suku disini, namun nampaknya semua suka cita menyambut kami, para mahasiswa. Ada seorang nenek tua asli Gorontalo yang begitu semangat memaksa kami memakan kue lebih, tak peduli dengan keseriusan kami menolak. Ada Ibu berbahasa jawa. Ada pula Ibu yang menikah dengan pria Bugis setempat, saudagar tambak ikan serta udang di desa ini. Beruntung Ibu Saudagar berhati dermawan dan sempat memaksa aku berbuka di rumahnya. Baik makanan maupun anak laki-lakinya, keduanya sama-sama cakep. Pol Peyok! “Umur 20 21 itu sudah boleh punya cowok,” kata ibu-ibu lain yang aku sudah lupa namanya.
Semakin gelap, suasana rumah Kepala Desa yang kami singgahi mulai mendingin oleh angin malam. Ibu Kepala Desa yang biasa kami panggil Bunda – lantaran Kepala Desa kami panggil Ayah, mengaji menyejukan hati. Anak perempuan di rumah menghangatkan dapur, sementara lelaki bersama remaja karang taruna setempat membuat seribu sentir – lampu-lampuan sederhana dari botol kaca berbahan bakar minyak. Sentir ini nantinya akan disusun menghiasi lapangan desa, membentuk tulisan “Smart Patuhu 2017”. Nama yang menyemogakan kesuksean tema utama program KKN kami, yaitu Patuhu Smart Village.
Jika kamu masih bertanya, apa yang membedakan Ramadanku di Gorontalo dengan Ramadanmu di Jawa? Maka, maafkan aku, karena ceritaku sepertinya sudah terbiasa dengan perbedaan-perbedaan itu. Aku juga baru menyadarinya saat aku menuliskan ini. Saat aku tak bisa menyepesialkan untaian doa Bunda, pemikiran Ayah untuk desanya, bau tanah yang pesing oleh kencing anak dan ayamnya, semiran rambut warna merah di ujung kepala pemuda, dan bukit hijau yang menyembunyikan desa. Semuanya terasa biasa karena kalbuku sudah menyerap Patuhu, Gorontalo dalam-dalam, menyempurnakan Indonesia yang selama ini diisi dengan Yogyakarta, Jawa saja. Keelokan disini sama normalnya dengan keelokan yang kamu pandang disana. Dengan demikian, hatiku sudah pol tak bisa dipeyokkan lagi oleh indah-indah disini. Semua sudah pol peyok!