Perjalanan kali ini merupakan pengalaman pertama saya menginjak tanah Kalimantan. Pagi hari, saya dan ketiga sahabat saya menempuh rute penerbangan Jakarta-Pangkalan Bun menuju destinasi utama kami, Taman Nasional Tanjung Puting. Setiap harinya hanya tersedia satu jadwal penerbangan dari Jakarta menuju Pangkalan Bun.
Pesawat kami berangkat dari bandara Soekarno-Hatta Jakarta menuju Pangkalan Bun. Selama di pesawat saya mengamati penumpang lain, sepertinya hanya kami yang terlihat sebagai para pelancong. Kurang lebih satu jam kemudian kami tiba di Pangkalan Bun, saya menengok ke arah luar jendela pesawat dan merasa heran ketika melihat ada segerombolan orang memakai pakaian tradisional dan terlihat seperti penari, mereka terlihat sudah siap menyambut tamu kehormatan. Menguping pembicaraan penumpang lain sepertinya kami satu pesawat dengan tamu atau orang penting di kota ini, pantas saja pada awal keberangkatan pesawat kami sempat tertunda selama tiga puluh menit.
Setelah mengambil bagasi kami langsung bertemu dengan Mas Sai, dia adalah warga lokal asli Pangkalan Bun akan menjadi teman sekaligus pemandu kami selama perjalanan. Bersama Mas Sai dengan menyewa taksi bandara, kami langsung menuju Pelabuhan Kumai yang berjarak sekitar dua puluh menit dari Bandara Iskandar. Turun dari taksi kami langsung menaiki klotok, klotok adalah bahasa lokal setempat untuk menyebut boat atau kapal kecil bermuatan kurang lebih sepuluh penumpang. Saya baru tersadar bahwa pelabuhan yang kami kunjungi ini merupakan pelabuhan di tepi sungai bukan laut, karena luas dan besarnya sungai-sungai di Kalimantan kebanyakan dari mereka biasa menyebut sungai dengan laut.
Klotok yang kami sewa terdiri dari dua lantai, lantai pertama ditujukan untuk awak kapal, terdiri dari ruang kemudi, dapur, ruang istirahat dan kamar mandi. Lantai kedua ditujukan untuk penyewa kapal terdiri dari ruangan yang cukup luas. Terdapat sebuah meja makan dan area yang pada siang hari dijadikan tempat bersantai, kemudian saat sore dan malam hari diubah menjadi tempat tidur. Klotok ini nantinya akan menjadi tempat tinggal kami selama beberapa hari menjelajah Taman Nasional Tanjung Puting.
Setelah menyalakan mesin dan memasukkan barang-barang serta kebutuhan pokok, kapal pun berlayar menyusuri sungai dan langsung menuju Taman Nasional, hanya terdapat satu cara untuk menuju TNTP (Taman Nasional Tanjung Putting) yaitu melalui jalur sungai. Sambil mengobrol dan menikmati kopi hitam yang telah disuguhkan Mas Sai, kami sangat menikmati awal pelayaran kami menuju Taman Nasional. Beberapa menit kemudian kami pun mulai meninggalkan pelabuhan Kumai dan masuk menuju Sungai Sekonyer, sungai yang akan membawa kami ke wilayah Taman Nasional.
Di sepanjang sungai kami berpapasan dengan para pengunjung lain, kebanyakan dari pengunjung yang kami temui selama perjalanan adalah warga asing, jarang ada warga indonesia yang kami temui selama perjalanan. Air sungai menunjukkan warna kecoklatan dengan vegetasi di sekitar kami berupa lahan basah atau tumbuhan bakau. Dari hilir sungai menuju hulu, tumbuhan yang kami jumpai semakin beragam. Mudahnya, makin dekat dengan pelabuhan jenis tumbuhannya semakin homogen dan juga sebaliknya.
Sekitar satu jam lamanya kami sampai di perkemahan pertama, terdapat beberapa pondok yang berfungsi sebagai pusat informasi, penyimpanan makanan, dan tempat tinggal para penjaga hutan (penjaga hutan) yang bekerja sebagai penjaga hutan dan pemberi makan orangutan liar. Setelah awak kapal menambatkan klotok, kami dan Mas Sai segera turun dari klotok dan menuju tempat pemberian makanan tambahan kepada orangutan liar. Menuju ke dalam hutan kami menyusuri jalur trekking selama kurang lebih dua puluh menit.
Selama trekking didalam hutan kami semua berkeringat luar biasa, pori-pori tubuh saya merasakan kelembaban hutan hujan tropis Kalimantan. Saya langsung teringat pelajaran sewaktu SD yang mebahas mengenai kelembaban hutan hujan tropis di Kalimantan, menurut Mas Sai tingkat kelembaban seperti ini merupakan salah satu kelemahan orang bule, terutama mereka yang baru beradaptasi dengan udara di Indonesia, bahkan tentara Amerika yang tidak terlatih dengan kelembaban seperti ini bisa dengan mudah dikalahkan di lokasi seperti ini.Sampai di lokasi feeding kami melihat sebuah panggung kecil yang terbuat dari kayu dan diberi pagar berupa tali berjarak lima meter dari panggung tersebut. Lima meter adalah jarak teraman bagi pengunjung untuk dekat denga orangutan. Sepuluh menit pertama, tak ada tanda-tanda orangutan akan muncul, kami hanya duduk menunggu dan melihat sekeliling, mencari-cari kemunculan sosok tersebut.
Sambil menunggu saya memerhatikan beberapa peraturan yang tertulis di sekitar platform, beberapa diantaranya yang saya ingat adalah untuk menuju lokasi feeding para pengunjung harus didampingi guide resmi, tidak boleh memberikan makanan kepada orangutan atau hewan lainnya, tidak boleh membuat kegaduhan, dilarang menyentuh satwa dan dilarang meninggalkan sampah termasuk puntung rokok.
Perasaan khawatir dan keseruan detik-detik menunggu orangutan liar yang akan muncul membuat kami semua tidak sabar untuk melihat wujud orangutan. Sudah sejak kecil saya mengagumi orang utan liar, tetapi hanya bisa sebatas menonton dari televisi seperti Animal Planet, National Geographic atau kartun Eliza Thornberrys dan sekarang adalah saaatnya saya melihat sosok liar di habitat aslinya! Suara para rangers memanggil orangutan terdengar seperti suara Tarzan, panggilan itu disambut suara ayunan dahan dan ranting pohon, dari kejauhan saya mulai melihat sosok tersebut!
Ketika mereka muncul, kami semua terkagum-kagum dan diam melihat tingkah laku mereka menikmati buah-buahan yang disediakan para Rangers. Sebenarnya makanan yang diberikan para Rangers ini hanya sebagai makanan tambahan serta cara untuk menarik orangutan liar keluar dan memperlihatkan wujud mereka kepada para pengunjung. Diluar itu semua, Orangutan liar di Taman Nasional Tanjung Puting dibiarkan untuk mencari makanannya sendiri. Hari sudah memasuki waktu senja, hal tersebut menjadi tanda untuk kembali ke dermaga dan melanjutkan perjalanan kami diatas kapal
Ketika mereka muncul, kami semua terkagum-kagum dan diam melihat tingkah laku mereka menikmati buah-buahan yang disediakan para Rangers. Sebenarnya makanan yang diberikan para Rangers ini hanya sebagai makanan tambahan serta cara untuk menarik orangutan liar keluar dan memperlihatkan wujud mereka kepada para pengunjung. Diluar itu semua, Orangutan liar di Taman Nasional Tanjung Puting dibiarkan untuk mencari makanannya sendiri. Hari sudah memasuki waktu senja, hal tersebut menjadi tanda untuk kembali ke dermaga dan melanjutkan perjalanan kami diatas kapal.
Rencana selanjutnya adalah mencari lokasi untuk beristirahat. Selama menuju lokasi, kami merasa seperti diperhatikan, dan ternyata benar! Di sekeliling kami tampak Bekantan yang terkenal sebagai monyet dufan. Hewan berhidung besar ini adalah monyet endemik.
Bermalam diatas sungai dan merasakan kealamian hutan hujan tropis terasa seru sekaligus mencekam bagi kami, bayangkan saja film Anaconda! Kurang lebih itulah suasana yang kami rasakan, gelap, sunyi dan terdengar suara hewan dimana-mana.Langit sudah mulai gelap, kami punsampai di lokasi yang dianggap kapten dan awak klotok saat sebagai tempat bermalam. Mereka dengan sigap mengubah matras tempat kami bersantai menjadi tempat tidur berkelambu, kelambu ini berfungsi melindungi kami dari serangga terutama nyamuk Malaria, wilayah tropis yang alami memang terkenal sebagai pusat perseberan nyamuk malaria, sehingga bagi kami yang berasal dari luar wilayah tersebut diwajibkan meminum obat malaria terlebih dahulu sebelum ke Kalimantan sebagai upaya pencegahan.
Keesokan paginya mata saya disuguhi pemandangan yang belum pernah saya saksikan seumur hidup, terbangun diatas sungai hutan hujan tropis membuat saya berasa seperti di antah berantah, kabut pagi menyelimuti wilayah sekitar sungai suara hewan-hewan pun menyambut kami untuk segera bersiap menuju destinasi selanjutnya.
Camp kedua yang akan kami kunjungi menempuh jarak kurang lebih dua jam dari tempat kami beristirahat. Camp ini memiliki wilayah trekking yang lebih menantang dari camp sebelumnya, kami melewati semak belukar dan wilayah hutan hujan yang cukup lebat.
Ketika menyusuri semak tiba-tiba mas sai memberikan kode untuk berhenti dan bersikap tenang, jantung saya langsung berdegup kencang, saya berusaha untung tidak panik dan bersikap setenang mungkin.Kami berempat diposisi masing masing dan menunduk bersiap-siap menunggu komando mas sai, dibelakang kami terdapat sebuah tower, mas sai pun langsung memberi kode kepada kami untuk segera menaiki tower tersebut. Dengan bergegas kami menaiki tower tersebut dan saat itu juga mas sai memberi tahu bahwa sepertinya ada babi hutan yang sedang berada disekitar kami. Dari atas tower kami tidak melihat seekor babi pun, merasa telah aman kami turun melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tower, Mas Sai menunjukkan jejak babi hutan yang terlihat masih baru. Kurang dari setengah jam kami sampai di tempat feeding, tak beda jauh dengan tempat feeding di camp yang kemarin kami kunjungi, di camp kedua ini kami menyaksikan hal yang sama yaitu kedatangan orangutan liar dari dalam hutan.
Dari tempat feeding kami kembali ke dermaga dari situ kami menuju camp ketiga, camp ini berbeda dari camp sebelumnya. Dinamakan Camp Leakey, merupakan pusat rehabilitasi orang utan yang berdiri di atas lahan seluas 45.907 Ha. Camp Leakey awalnya merupakan lokasi penelitian mahasiswa yang berasal dari Universitas Colombia, Los Angeles yang bernama Birute MF. Galdikas. Penelitian tersebut didukung oleh Direktorat Perlindungan Pelestarian Alam yang saat ini di sebut Ditjen PHKA. Nama Leakey sendiri di ambil dari pembimbing penelitian beliau pada saat itu yang bernama Prof. Louis Leakey. Dr. Birute ini adalah pecinta sejati orangutan! dia sudah mendidakasikan hidupnya untuk orangutan, kata Mas Sai Dr. Birute sewaktu muda lebih cantik dari Tamara Blezensky.
Perjalanan menuju Camp Leakey bisa dikatakan penyusuran sungai paling Dramatis selama perjalanan kami. Dengan membelokkan kemudi memasuki cabang anak sungai yang lebih sempit dari luas sungai sebelumnya membuat kami berdecak kagum, kami merasa semakin dekat dengan alam. Ditambah lagi perubahan air yang sangat kontras dari warna kecoklatan menjadi warna kehitaman, persis seperti yang saya liat di natgeo saat sedang meliput penyusuran ke pedalaman Kalimantan. Air yang terlihat hitam ini, sebenarnya sangat jernih. Terlihat hitam karena menyerupai cermin karena kejernihan air tersebut, air ini juga kaya akan oksigen dan jauh dari pencemaran lumpur akibat penambangan sungai di hulu sungai sekonyer. Pantas saja jika disebut kaya oksigen karena tumbuhan di sepanjang sungai makin eksotis dan beragam. Kami juga melihat gelembung-gelembung udara bermunculan dari akar pepohonan bakau yang naik ke permukaan air. Ketika ditengah perjalanan kami menemui sedikit hambatan, ada tanaman bakau yang menutupi sungai menghalangi klotok kami lewat. Awak kapal pun secara bersama-sama berusaha menarik tumbuhan tersebut, pada saat itu Mas sai juga ikut membantu bahkan beliau turun kedalam sungai yang masih menjadi habitat buaya, sungguh sangat berani. Tak lama dari situ kami sampai di camp leakey, camp ini memang terlihat lebih terawat dari camp-camp sebelumnya mengingat camp leakey merupakan sekaligus tempat tinggal Dr. Birute maka wajar saja lokasi konservasi ini lebih tertata dengan sangat baik, dahulu katanya pada era 1970an yang mempunyai klotok bermesin hanya beberapa orang terkaya di Kalimantan Tengah saja, Dr. Birute memberanikan dirinya menyusuri sungai pedalaman di Kalimantan Tengah seorang diri menggunakan perahu sampan sendiri. Menbuat saya berpeikir betapa heabatnya seorang gadis yang mau mempertaruhkan hidupnya berhari-hari untuk menuju habitat orangutan.
Jalur trekking menuju tempat feeding di Camp Leakey merupakan jalur trekking terpanjang kami, sekitar tiga puluh menit untuk menuju kedalam hutan, menembus hutan-hutan alami kami benar-benar merasa seperti ada didalam film. Saya tidak bisa membandingkan dengan hutan di pulau Jawa, karena kekayaan yang dimiliki hutan hujan di Kalimantan jauh lebih beragam dari hutan di pulau jawa, begitu juga dengan kelembabannya yang sangat tinggi.
Sampai ditempat feeding kami tidak hanya bertemu dengan orangutan tetapi juga Siamang, primata liar lainnya.Lucunya, para guide dan rangers hapal terhadap nama-nama mereka, Mas Sai bilang jika sudah terbiasa wajah mereka mudah untuk dibedakan. Orangutan di camp leakey lebih dekat kepada manusia dibandingkan camp sebelumnya hal itu terlihat ketika kami berada cukup dekat dengan salah satu orangutan yang sedang bersama anaknya.
Selanjutnya, kami dipandu Mas sai mengikuti orang utan tersebut, teryata si ibu sedang mengajarkan anaknya bagaimana cara memanjat pohon. Kami merasa berasa beruntung memiliki pemandu seperti mas sai, pengalamanya selama bertahun-tahun mengelilingi Kalimantan menambah wawasan kami bagaimana cara bertahan hidup dihutan. Beliau mengajarkan pembuatan jebakan dan menunjukkan jenis kayu beserta fungsinya untuk bertahan hidup di hutan, puas bermain didalam hutan kami diberitahu mas sai untuk segera bergegas kembali ke klotok, mengingat sungai disekitar camp leakey mempunyai ketinggian air yang cukup dangkal dan apabila semakin sore airnya akan semakin surut, hal tersebut mengkhawatirkan bagi klotok kami.
Ketika sudah dekat dermaga dan melewati tempat tinggal Dr. Birute kami dikejutkan dengan kehadiran Orangutan dari balik semak-semak, ternyata itu adalah Tom.Mas sai bilang Tom adalah orangutan terkuat diwilayah ini dan Tom jarang sekali keluar, sudah lama ia tidak melihat Tom, dan beruntungvnya kami.. pada hari itu Tom memunculkan dirinya, Tom sudah tua berumur sekitar 40 tahunan dan memiliki banyak betina yang telah ia kawini. Fakta mengejutkan yang kami dapatkan bahwa orangutan itu bisa mengawani sesama anggota keluarganya, mereka dapat mengawini ibu, saudara atau anaknya sendiri, tetapi ajaibnya tidak terjadi kecacatan fisik atau genetik pada keturunan berikutnya.
Kembali keklotok kami memutar arah menyusuri kembali sungai menikmati detik-detik terakhir kami akan keindahan hutan hujan Kalimantan, saling bertukar cerita serta pengalaman dengan Mas Sai membuat kami semakin mencitai Alam. Sambil menikmati pisang goreng dan kopi di sore hari kami semua masih belum rela meninggalkan tempat tersebut. Tapi ini belum menjadi akhir tujuan kami masih ada satu malam untuk bermalam dan ada kegiatan yang akan kami lakukan, yaitu melihat ratusan kunang-kunang. Hari sudah gelap kami keluar dari cabang anak sungai yang memiliki “air hitam” dan kembali mengarah pulang ke pelabuhan Kumai. Mas Sai bilang kita akan melihat pohon yang dikelilingi kunang-kunang, semoga saja kunang-kunang tersebut muncul. Beruntungnya kami melihat kunang-kunang tersebut, tetapi sayng baterai kamera kami habis sehingga tidak bisa mengambil gambar tersebut, ratusan kunang-kunang yang terlihat seperti lampu-lampu berkelap kelip mengelilingin sebuah pohon ditepi sungai, seperti Christmas Tree tapi versi buatan alam. Kunang-kunang melayang layang mengitari pohon, seumur hidup itulah pertama kali saya melihat kunang-kunang sebanyak itu! Malam ini pun menjadi malam terakhir kami di sungai sekonyar Taman Nasional Tanjung Puting, perasaan sedih sekaligus gembira mengisi suasana hati kami.
Malam terkahir di atas kapal kami habiskan untuk saling bercerita dengan Mas Sai, mendengar perjuangan-perjuangan beliau ketika harus bertahan hidup sendiri di hutan karena beliau merasa jiwanya ada disana, perkerjaan beliau menjadi tour guide semata-mata bukan karena hanya ingin memperoleh penghasilan tetapi itu wujud kasih saying beliau terhadap alam Kalimantan. Awal mula Mas Isai menjadi Guide berawal dari ketidaksengajaan ketika si pemilik kapal mendengar percakapan beliau dalam bahas inggris dengan orang asing beberapa tahun yang lalu. Kemudian karena merasa penasaran si pemilik kapalpun akhirnya menegur dan memberi tawaran untuk menjadi Guide, mendengar hal tersebut Mas Isai tidak langsung menerimanya ia diberi waktu beberapa hari untuk mempertimbangkan tawaran tersebut hingga akhirnya ia menyetujui dan telah menjalani profesi tersebut kurang lebih lima tahun. Mas Isai bukan berasal dari keluarga yang tidak mampu, beliau cerita para saudaranya sukses menjadi dosen dan PNS di kota, tetapi Mas Sai hanya tidak ingin menjalani hidup seperti itu ia ingin bebas hidup menjelajah, dan pada akhirnyapun ia berpikir harus mempunyai pekerjaan tetap dan penghasilan demi masa depannya bersama seorang gadis yang kini telah menjadi istrinya. Dan sampai saat ini Mas Sai tetap menjalani profesi tersebut walaupun harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih berada didalam kandungan untuk tetap bisa menyeimbangi kehidupan bersama keluarga dan kecintaannya terhadapa alam Borneo.
(Aini Alya)
Discussion about this post