Derap kaki terdengar dari seluruh penjuru. Ratusan mahasiswa bergerak menuju Taman Sansiro di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM). Mereka adalah para mahasiswa dari berbagai fakultas di klaster Sosial dan Humaniora (Soshum). Saat itu matahari tampak bersinar cerah dan waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. 2 Mei 2016, begitulah yang tertera di kalender. Hari itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Ada yang tidak biasa pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Para mahasiswa dengan lantang meneriakkan seruan perjuangan serta menyanyikan lagu-lagu perjuangan di Taman Sansiro. Taman Sansiro menjadi titik awal berkumpul bagi mereka. Mereka tampak semangat berapi-api serta bermandikan matahari dalam Pesta Rakyat Gadjah Mada.
Persiapan yang telah matang kemudian menuntun langkah mereka menyusuri jalan menuju lapangan Gedung Pusat UGM. Di situlah para mahasiswa klaster Soshum akan bertemu, bertegur sapa, dan mewujudkan satu asa dengan mahasiswa klaster lainnya untuk menuntut perubahan di UGM. Sepanjang jalan mereka berteriak lantang layaknya mahasiswa yang ingin mewujudkan keadilan. Sekitar pukul 10 pagi, tibalah ribuan mahasiswa dari berbagai jurusan dan fakultas di lapangan Gedung Pusat UGM nan megah dan luas.
Sementara itu, di Balairung, masih terlihat adanya kegiatan pemberian penghargaan kepada mahasiswa berprestasi oleh Rektor UGM, Prof. Dwikorita Karnawati. Secara bersamaan, beberapa mahasiswa dari rombongan aksi Pesta Rakyat bergerak memasuki Balairung. Dwikorita yang semula ingin menutup acara pemberian penghargaan tersebut kemudian langsung dikerumuni oleh media massa dan mahasiswa yang ingin menanyakan berbagai hal terkait polemik yang diangkat dalam aksi Pesta Rakyat yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT), Tunjangan Kinerja (Tukin), maupun relokasi Kantin Humaniora (Bonbin). Prof. Dwikorita pun menyanggupi hal tersebut dengan tangan terbuka lebar untuk konferensi pers saat itu juga.
Satu persatu pertanyaan dilontarkan kepada Dwikorita, salah satunya mengenai aksi Pesta Rakyat ini. Ia menegaskan, bahwa Pesta Rakyat ini merupakan salah satu simulasi dari inovasi kurikulum terbaru yang bernama mata kuliah elektif. Mata kuliah elektif ini bertujuan untuk mewadahi para aktivis mahasiswa agar tetap dapat menyelesaikan perkuliahan tepat waktu di samping kegiatan luar. “Perkuliahan opsional ini dimulai pada September nanti dengan jumlah 4-8 SKS, dan dapat diikuti oleh setiap fakultas ataupun sekolah vokasi. Kami ingin membangun karakter mahasiswa yang beradab, bersusila, dan bertata karma,” ujar Dwikorita.
Sementara untuk UKT, beliau menegaskan bahwa UKT di UGM tidak mengalami kenaikan. Hal ini sesuai dengan rapat internal pihak Rektorat pada bulan April 2016. Sedangkan untuk Tukin, Prof. Dwikorita menjelaskan bahwa yang mendanai Tukin adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Pihak Rektorat sudah melakukan koordinasi dengan Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti bersama enam Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) lain agar dana Tukin segera dicairkan. Menurut Dwikorita, kabar tersebut sudah diumumkan pihak UGM pada Kamis lalu.
Terkait dengan relokasi Bonbin, Prof. Dwikorita menanggapi dengan senyuman. “Bonbin? Mengapa disebut Bonbin? Jangan disebut Bonbin, itu tempat makan. Kita tidak boleh menyamakan Kantin Humaniora dengan Kebun Binatang,” ucapnya. Ia melanjutkan bahwa pihak Rektorat ingin merelokasi Bonbin ke tempat yang lebih baik yakni Pusat Jajanan Lembah (Pujale). Sebab, kontrak antara pedagang Bonbin dengan UGM telah habis pada Juni 2015. Selain merelokasi Bonbin, pihak UGM juga telah menyiapkan 100 juta rupiah untuk biaya relokasi tersebut. Di sisi lain, ia ingin mahasiswa berjalan kaki lebih banyak seperti mahasiswa di luar negeri yang rata-rata setiap hari berjalan kaki 20 menit agar lebih sehat dalam dunia kerja nanti. “Kami melihat para mahasiswa kurang setuju jika harus berjalan kaki jauh seperti ke Pujale. Padahal, kami ingin kesehatan mahasiswa juga terjaga. Jadi selain memuliakan para pedagang Bonbin, kami juga memperbaiki kualitas kesehatan mahasiswa,” terangnya.
Menurut Dwikorita, yang disayangkan dalam kegiatan relokasi Bonbin tersebut adalah kesalahpahaman dalam pandangan mahasiswa. “Mahasiswa mungkin kurang suka dengan relokasi Bonbin, sampai suatu ketika mereka datang ke rumah saya. Para mahasiswa tersebut menduduki rumah saya hingga subuh. Menurut saya hal tersebut membuat keluarga saya tertekan.”
Tim BPPM EQUILIBRIUM mengonfirmasi hal terkait Bonbin kepada Kevin Maulana, Presiden Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (LEM FIB) UGM. Kevin menyatakan bahwa para mahasiswa tidak mempermasalahkan jarak antara kampus dan tempat makan. Hal yang menjadi permasalahan adalah proses hukum ketika Kantin Bonbin akan direlokasi. “Meskipun secara hukum Bonbin memang habis masa kontraknya. Namun sangat disayangkan apabila Rektorat selalu menutup-nutupi alasan logis tentang relokasi Bonbin. Kami hanya butuh transparansi. Bagaimana cara relokasi Bonbin yang tepat? Apa alasan konkret yang membenarkan relokasi tersebut?” tuturnya.
Di sisi lain, Kevin menyatakan bahwa saat rombongan mahasiswa mendatangi kediaman Dwikorita, keadaannya berlangsung dengan tertib dan sopan. Sehingga tidak ada hal-hal yang mengganggu Rektor meskipun mahasiswa menunggu hingga dini hari. “Kami datang baik-baik. Kami tidak pernah menggedor-gedor pintu rumah Rektor, berbuat anarkis, dan mengganggu. Rektor tetap tidak ingin menemui kami. Kami diusir oleh suami Rektor sebab beliau tidak menghendaki urusan pekerjaan dibawa ke rumah.” Kejadian tersebut membuat Kevin dipanggil oleh Dekanat FIB karena dianggap tidak bisa mengoordinasi dengan baik. Kedua rekannya juga dipanggil dan terancam di-drop out.
Begitu selesai konferensi pers tersebut, terlihat Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (Presma BEM KM) UGM, M. Ali Zaenal Abidin melakukan negosiasi terhadap Dwikorita. Kemudian terciptalah tiga negosiasi yakni mahasiswa tidak akan membuat keributan dan Dwikorita menemui mahasiswa di luar Balairung untuk memberikan pernyataannya perihal UKT, Tukin, dan Bonbin, serta mahasiswa mendapat tiga kesempatan bertanya pada Rektor. Apabila masih kurang, maka hal tersebut akan didiskusikan bersama perwakilan mahasiswa di dalam Balairung. Para mahasiswa menolak negosiasi tersebut karena Iwan Dwiprahasto selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan yang memberikan pernyataan. Kehebohan pun segera terjadi, sehingga Rektor dan para Wakil Rektor memilih bergegas naik ke kantor rektorat. Kemudian, aksi ini diistirahatkan selama tiga puluh menit agar mahasiswa dapat melepas lelah di tengah teriknya matahari.
Ali menanggapi bahwa kejadian tersebut, mulai dari pernyataan Rektor tentang simulasi mata kuliah terbaru yang nyatanya merupakan aksi Pesta Rakyat adalah kebohongan publik. Ali menegaskan bahwa kegiatan ini murni gagasan dari mahasiswa untuk mendapatkan transparansi tentang UKT, Tukin, serta Bonbin. “Pada akhirnya kalau Pesta Rakyat ini dikatakan sebagai latihan atau gladi itu sangat tidak benar. Itu satu hal yang mengada-ada. Sekali lagi ini aksi nyata, bukan gladi ataupun simulasi,” jelasnya.
Ali menegaskan bahwa para mahasiswa akan menunggu sampai Rektor mau menemui kembali para mahasiswanya di Rektorat. “Yang disesalkan adalah ketika orang tua tidak mau bertemu dengan anak-anaknya secara langsung dengan alasan yang tidak jelas. Ini kan teman-teman sudah panas-panasan tapi kemudian ditemui tidak bersedia, kan sangat sayang. Mahasiswa akan menunggu sampai Rektor keluar dari ruangannya, kapan pun itu,” tegasnya.
Setelah istirahat selesai, para mahasiswa kembali memenuhi halaman gedung. Sebagian dari mereka memenuhi Balairung. Ada yang berparodi, berpuisi, menyanyi, dan mengutarakan pemikirannya. Setelah itu, Iwan dan Senawi turun mendatangi mereka untuk berbicara. Namun para mahasiswa menolak karena menginginkan Rektor yang langsung bersuara. Akhirnya, Dwikorita turun untuk mengeluarkan pernyataan tentang tiga tuntutan mahasiswa. Sayangnya, saat Rektor tengah mengutarakan tentang Bonbin, massa menganggap penjelasan tersebut kurang memuaskan. Merasa kecewa, beberapa mahasiswa tampak membalik punggung. Diduga, pihak rektorat merasa tersinggung dengan hal tersebut dan memutuskan untuk kembali ke dalam gedung Balairung.
Setelah berbagai orasi dan pidato dari bermacam elemen, akhirnya Dwikorita kembali turun pada sore hari sekitar pukul 17.25 WIB. Ia akhirnya memberikan gambaran dan konklusi pada mahasiswa. Sayangnya, saat diminta untuk mencabut pernyataan bahwa aksi yang dilakukan mahasiswa adalah simulasi, Dwikorita tetap mengelak dan memilih untuk “walk-out”. Sempat dikejar dan dicegat massa saat menuju mobil pribadinya, Dwikorita tetap bersikukuh dan menganggap aksi nyata ini adalah simulasi. Keributan pun terjadi, tetapi akhirnya dapat dipadamkan.
Tidak dapat dipungkiri, Pesta Rakyat Gadjah Mada 2016 menjadi sebuah ajang pergerakan mahasiswa UGM terbesar semenjak reformasi tahun 1998. Pesta Rakyat ini selesai hingga malam hari yang mana sempat terjadi sedikit keributan akibat beberapa oknum mahasiswa memprovokasi pengejaran terhadap Dwikorita. Acara ini diakhiri oleh para mahasiswa dengan menyanyi bersama di utara Gedung Pusat. Secara garis besar, hasil akhir dari negosiasi antara pihak Rektorat dan perwakilan mahasiswa adalah UKT tahun 2016 tidak naik dan sistem UKT akan diperbaiki. Tukin bagi tenaga pendidik akan cair untuk dua bulan. Kemudian, akan ada penggantian sistem Tukin menjadi sistem insentif. Terkait Kantin Bonbin, sistem relokasi akan didiskusikan lebih lanjut dan diputuskan sebelum 30 Mei 2016.
(Rakyan Widhowati, Sofia Kirana, M Harits Ramadhan, Nugraha Putra/EQ)
Discussion about this post