“Aku benci namaku.”
Perkenalan perempuan berambut pendek itu cukup menyita perhatian seluruh siswa di kelas.
“Aku benci waktu orang memanggilku Sad, tapi aku juga benci dipanggil Die. Kalian tahu sendiri kan artinya apa?”
“Makanya, please call me anything except Sad or Die. Instead, you can call me Naisha.”
—
Sadie Naisha, 17 tahun. Cukup tinggi untuk ukuran perempuan Asia—sekitar 170 cm. Rambut lurusnya dipotong pendek menyerupai model rambut Kiko Mizuhara. Anaknya sedikit acak-acakan dan canggung dengan lingkungan sekitarnya. Tipe-tipe perempuan yang jaim—cuek?
“Sadie Nasha, halo? Earth to Sadie Naisha?”
Sadie yang sedang sibuk mendengarkan musik di taman kampus segera melepaskan earphone. Tiba-tiba saja laki-laki ini duduk di sampingnya. ‘Sepertinya tadi kami sekelas,’ pikir Sadie.
“Umm, ya?”
“Hai, aku Rui Dakshadinata. Panggil Rui aja. Dan karena aku bingung harus manggil kamu apa..”
“Told you in front of the class though; just call me anything except Sad or Die.”
“Then, what about Aie? Since you hate S and D in your name. I don’t mind calling you Naisha or Icha, but Aie is a better one, I think. Icha is too mainstream, anyway.”
Menarik.
Sadie tak dapat menyembunyikan senyum kecilnya. Saat Sadie menatap mata Rui yang berkerling jenaka, seketika Sadie yakin kalau Rui pede menganggap idenya bagus.
—
Sejak hari itu, dimana ada Sadie, selalu ada Rui. Sejak saat itu pula, rumor-rumor miring tentang Sadie dan Rui kencang berhembus. Banyak teman-teman yang berpikir Sadie dan Rui pacaran; sayangnya, hubungan mereka tidak sesimpel itu.
Sadie yang kaku, belajar banyak dari Rui dan semakin mengerti what makes Rui, Rui. Rui dan obsesinya dengan sepakbola. Rui dan obsesinya dengan negeri bunga tulip. Rui dan obsesinya untuk melanjutkan studi ke Erasmus. Sedangkan Sadie yang menyukai cake dan pastry, terobsesi dengan Paris. Jika rencana studi mereka berjalan lancar, itu berarti mereka akan berpisah untuk beberapa saat. Dan itu bukan ide bagus, setidaknya untuk Sadie.
—
Mata Sadie menatap shock televisi. Pesawat MH17 jatuh.
Itu pesawat yang sama yang membawa Rui pulang ke tanah air.
Hal pertama yang dilakukan Sadie adalah menelpon Rui.
Nggak nyambung. Tentu saja.
Langsung, ia menelpon keluarga Rui. Yang Sadie dapat adalah kata-kata menenangkan dari kakak Rui, Dirangga, walaupun Dirangga pun masih shock dengan berita itu.
Padahal baru semalam suntuk Rui skype Sadie, pamer kalau dia akan pulang duluan ke Indonesia untuk merayakan anniversary orangtuanya. Sadie ingat paket yang dikirim Rui kemarin, yang kini buru-buru dibukanya. Isinya travel book ‘Tour de Netherlands’ yang dibuat Rui. Sadie berhenti di satu halaman yang berisi foto polaroid Rui dan sedikit pesan:
“Patisserie paling juara di Belanda! Kamu harus nyobain! Oiya, Aie, sebenci-bencinya kamu sama nama, inget maknanya ga seburuk kalo literally diartiin. Sadie Naisha = perempuan spesial; spesial juga buat aku. Semangat ngerjain projek.”
Sadie menangis sejadi-jadinya. Dia menelpon Rui lagi, memuntahkan semua emosinya, walaupun dia tahu Rui tidak akan bisa membalas dan menenangkan Sadie lagi seperti biasanya.
“Mana yang katanya mau nemenin pulang! Jahat kamu, Ru! Jahat!”
“…kok aku jahat sih, Ie..”
Suara Rui.
Sadie sontak berhenti bicara.
(Nadya Chatinsmara G.)
Discussion about this post