Apakah kurang akan selalu menjadi kurang? Identik dengan ketidakpuasan? Apakah ia akan datang beriringan dengan keputusasaan? Bersahabat karib dengan kecewa? Mungkin kita perlu menggali, introspeksi, dan berbenah diri, memoles hati agar kelak menemukan permata yang telah lama terdiam dan menunggu untuk berhenti bersembunyi. Amaran ini dibuktikan oleh pemaparan serta perjuangan komunitas dan pemerhati kaum penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta dalam acara Positive Fighter 2019. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terkait urgensi edukasi permasalahan kaum difabel di seluruh Indonesia. Minimnya sosialisasi secara umum menjadi hambatan masyarakat memahami mereka dari hati ke hati. Padahal, rasa peduli dan simpati menjadi komponen hakiki dalam keruhnya problematika difabel yang telah diwanti-wanti dewasa ini. Dalam acara ini, Positive Fighter menghadirkan panelis dengan segudang pengalaman dan kompetensi yang tidak diragukan. Selain itu, tidak sedikit orang tua bahkan penyandandang disabilitas itu sendiri yang turut hadir memeriahkan acara ini. Bertempat di Jogja National Museum pada Jumat dan Sabtu, 20-21 Desember 2019, acara ini menjadi ajang untuk memperkaya wawasan kita.

Acara yang mempunyai misi mulia ini bertajuk “Challenge to Change Society” dengan harapan mengubah persepsi dan stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, acara ini berorientasi untuk mengedukasi secara holistik tentang kesetaraan hak dan kebutuhan mereka dalam menjadi salah satu elemen masyarakat. Acara ini dilaksanakan satu tahun sekali dan terdiri dari panitia dari berbagai universitas di Yogyakarta seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan lain lain. Panitia berusaha menyampaikan pesan-pesan di atas melalui tiga komponen penting dalam acara yaitu diskusi panel, pameran seni, dan penampilan peserta. Dalam diskusi panel terdapat lima topik yaitu Difabel dan Pekerjaan, Difabel dan Ekspresi Seni, Difabel dan Parenting, Difabel dan Hak Seksual, serta Difabel dan Gerakan Sosial.
Pada diskusi Difabel dan Pekerjaan, Positive Fighter mendatangkan Triyono S.Pt. Ia merupakan perintis dari Ojek Difa yang merupakan komunitas ojek difabel yang saat ini beranggotakan kurang lebih 20 orang. Ojek Difa mempekerjakan penyandang disabilitas agar mendapatkan kesempatan bekerja yang sama dengan kebanyakan masyarakat lainnya. Selain itu, latar belakang didirikannya komunitas ini adalah kebijakan pemerintah terkait pendidikan terakhir Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus diploma atau sarjana tetapi tidak mempertimbangkan nasib penyandang disabilitas. Maraknya fenomena ojek online juga menjadi salah satu alasan ia merintis komunitas ini untuk menyetarakan kesempatan kerja kaum difabel. Kendaraan yang digunakan pun dimodifikasi sedemikian rupa untuk membantu kelancaran pekerja. Triyono berharap ke depannya masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesetaraan hak kaum difabel dalam bekerja.
Diskusi kedua dengan topik Difabel dan Ekspresi Seni mengundang Salim Harama yang merupakan seniman tunadaksa. Kendati tidak memiliki tangan, ia menyalurkan bakat seninya menjadi lukisan yang indah dan tidak kalah kualitasnya dengan seniman tanah air lainnya. Walaupun fokus utama lukisan itu untuk menyambung hidup dari hasil penjualan hasil seninya, tapi acap kali beliau menampilkan dan menjual lukisannya untuk kegiatan amal yang bergerak di bidang difabel. Lukisan Salim juga ditampilkan dalam pameran seni di Jogja National Museum bersama hasil seni lainnya. Selanjutnya, pada topik Difabel dan Parenting mendatangkan empat pembicara yang merupakan orang tua dari anak yang menyandang disabilitas berbeda. Salah satunya bernama Tri Sumarni yang menekankan pentingnya pola asuh dan afeksi tiada habis dari orang tua kepada anaknya. Selain itu, peran krusial orang tua adalah mengetahui minat dan bakat serta mendukung penuh berkembangnya mereka dalam bidang tersebut. Selalu menambah wawasan tentang disabilitas anak juga memainkan peranan penting dalam mengasuh dan mempersiapkan anak agar menjadi pribadi yang berguna dalam kehidupan sosial kedepannya.

Pada Sabtu (21/12), panitia mengadakan panel diskusi dengan topik Difabel dan Hak Seksual. Panelis yang didatangkan merupakan anggota dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) yaitu Rini Rindawati, S.H. dan Hani Atus Suroiyah. Rini menjelaskan bahwa sejatinya penyandang disabilitas memiliki gairah seksual yang sama dengan individu non-difabel, tetapi kebanyakan dari mereka memiliki kesulitan dalam menyampaikan dan menuangkan hal ini. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang hal ini terkadang menganggap beberapa peristiwa merupakan sesuatu yang janggal bahkan tabu. Ia menambahkan bahwa terdapat beberapa kasus dimana salah satu penyandang disabilitas menjadi salah satu pelampiasan hasrat oknum yang tidak bertanggung jawab. Hani Atus menambahkan pentingnya media pembelajaran yang ramah dan sesuai dengan kebutuhan mereka untuk memastikan tersampaikannya pengetahuan dengan baik.
Pada diskusi terakhir, panitia mengangkat topik Difabel dan Gerakan Sosial. Pembicara yang didatangkan yaitu Alifandi Tranggono dari AIESEC UGM dan Mukhanif Yasin Yusup, S.S., M.A. keduanya menekankan pentingnya untuk menggalakkan komunitas peduli difabel baik di dalam maupun di luar universitas untuk mendukung kelancaran proses akademik mereka. Hal ini dapat membantu mereka dalam proses belajar mengajar, pembuatan skripsi, meningkatkan fasilitas kampus, dan banyak hal lainnya.

Selain diskusi, acara ini juga menampilkan banyak sekali hasil seni dari penyandang disabilitas salah satunya cipta karya puisi dari Rani Kartini yang merupakan penyandang disabilitas. Karya dari Rani beberapa yang sudah diterbitkan diantaranya Akar Rindu, Gincu, dan Cinta Dalam Diam. Yang tidak kalah menarik adalah Wahana Raba dimana peserta dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penyandang tunanetra. Peserta diharapkan untuk menebak benda-benda yang telah disediakan di meja dengan benar dalam keadaan ruang yang gelap gulita, menambah sensasi yang menggelitik sekaligus meningkatkan simpati bagi penyandang tunanetra.
Lantas, pantaskah kita banyak mengeluh? Menuntut ini itu tanpa usaha yang setara dan perilaku yang layak ditiru? Seharusnya kita memaksimalkan rasa syukur dan menjauhi takabur atas nikmat Tuhan yang tiada terukur. Positive Fighter meningkatkan kesadaran kita akan banyaknya penyandang disabilitas yang dapat berkreasi tanpa batas, sudah selayaknya kita belajar dari hal tersebut. Sampai jumpa di Positive Fighter tahun depan!
(Sirajuddin Ahyar/EQ)
Discussion about this post