Selamat Hari Kartini…
Tepat 137 tahun yang lalu, seorang revolusioner wanita paling berpengaruh di Indonesia dilahirkan. Ya, beliau adalah Raden Adjeng Kartini, salah satu wanita yang telah menginisiasi emansipasi wanita yang kerap kali kita dengar sampai saat ini. Meskipun berasal dari kaum priayi—kelas bangsawan—wanita ini rela secara langsung mengulurkan tangannya untuk mengangkat harkat wanita yang saat itu sangatlah rendah. Salah satu produk kegigihannya ialah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini pada 1912 di Semarang.
[ Miris ]
Perjuangan R.A. Kartini terekam dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat yang telah ditulisnya kepada saudari dan teman-temannya di Eropa pada masa perjuangannya. Namun, apabila berkaca pada realita sekarang, sepertinya sinar terang tersebut masih jauh di ujung ‘gua’ kenyataan. Nyatanya, hari ini (21/04/16) pada laman depan sebuah koran nasional Indonesia, terdapat sebuah realita yang kontras dari semangat Kartini. Realita tersebut merupakan berita tentang masih banyaknya ibu berusia belia di Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kabupaten Cirebon. Menurut Kepala Posyandu Benda Kerep, ada 80% perempuan yang menikah pada rentang usia 16-18 tahun dari 561 keluarga di wilayah tersebut.
Tidak hanya itu, faktanya secara makro Indonesia masih timpang dalam hal kesetaraan gender. Ketimpangan itu ditaksir menggunakan Indeks Ketakadilan Gender (IKG) yang mengukur kehilangan kesempatan yang disebabkan oleh ketimpangan kesehatan reproduksi, partisipasi politik, pendidikan, dan kesempatan bekerja. Nilai IKG yang semakin kecil menunjukkan pencapaian pembangunan yang semakin baik pula. Laporan United Nations Development Programme (UNDP, 2014) menunjukkan IKG Indonesia mencapai perolehan tertinggi (0,494 atau urutan 110 secara global) dari beberapa negara di Asia Tenggara. Masih sangat jauh dari Singapura (0,088 atau urutan 13 secara global), disusul Malaysia (0,209 atau urutan 42 secara global), Vietnam (0,308 atau urutan 60 secara global), Thailand (0,380 atau urutan 76 secara global), Myanmar (0,413 atau urutan 85 secara global), Filipina (0,420 atau urutan 89 secara global), dan terakhir Indonesia.
Masalah ini tidak hanya berpengaruh pada taraf keadilan di Indonesia, tetapi juga dapat berimplikasi terhadap pembangunan nasional. Salah seorang dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Omas Bulan Samosir, menerangkan bahwa tujuan pembangunan mustahil dapat dicapai jika mengabaikan pembangunan perempuan. Hal tersebut mengingat bahwa hampir setengah dari penduduk Indonesia merupakan perempuan dengan persentase sebesar 49,8%. Sehingga, kaum perempuan juga berperan penting dalam membangun Indonesia. Oleh sebab itu, Omas berargumen bahwa pemerintah dan semua insan Indonesia harus membangun perempuan melalui penurunan IKG. Konkretnya, pembangunan perempuan ini perlu dibangun dengan cara membangun kesehatan reproduksi, memberi kesempatan lebih luas dalam partisipasi politik, meningkatkan pencapaian perempuan dalam bidang pendidikan, dan memberi akses yang luas dalam kesempatan bekerja.
(Ega Kurnia Yazid/EQ)
Discussion about this post