“When Mexico sends its people, they’re not sending their best… They’re sending people that have lots of problems, and they’re bringing those problems with us. They’re bringing drugs, they’re bringing crime. They’re rapists. And some, I assume, are good people.”
Kalimat yang sarat akan emosi serta tidak berlandaskan fakta ini adalah ucapan Donald Trump ketika melakukan launching kampanyenya di tahun 2015. Hal yang dahulu diucapkan Donald Trump kini lebih dikenal dengan istilah post-truth.
Pada tahun 2016, Oxford Dictionary menobatkan kata post-truth sebagai word of the year. Oxford Dictionary mendefinisikan post-truth sebagai kondisi saat fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Peristiwa Brexit yang berujung pada keluarnya Inggris dari Uni Eropa serta kemenangan Trump pada pemilihan presiden Amerika merupakan dalang dari terpilihnya kata post-truth sebagai kata populer di tahun itu.
Di Indonesia, post-truth kerap terjadi dan memuncak ketika tahun politik tiba. Zainuddin Muda Z. Monggilo, dosen Ilmu Komunikasi di Fisipol UGM, menyebutkan bahwa klaim kemenangan Prabowo saat pemilihan presiden (Pilpres) adalah contoh post-truth di Indonesia. “Serangan kabar palsu di masa Pemilu atau Pilkada beberapa tahun belakangan adalah contoh-contoh yang bisa menggambarkan fenomena post-truth bidang politik yang kita temui di Indonesia. Klaim kemenangan salah satu paslon di Pilpres 2019 adalah bukti yang cukup kuat untuk menandakan masih eksisnya post-truth. Hal ini dikarenakan klaim cenderung tidak objektif dan faktual serta tidak berdasar perhitungan resmi dari KPU Pusat,” ujar Zainuddin.
Post-truth memiliki kaitan erat dengan hoaks. Hidup di era post-truth akan membuat hoaks lebih mudah dipercaya karena orang akan mengedepankan emosinya ketika mempercayai suatu berita. Zainuddin menyatakan terdapat beberapa faktor orang percaya pada hoaks, yakni yang pertama karena kita sekadar membaca judul padahal hanya clickbait. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hadirnya Twitter. Dengan batasan 140 karakter, media jurnalistik yang punya akun twitter hanya menghadirkan headline yang terkadang hanyalah clickbait dan memicu khalayak untuk menelan judul berita tanpa menghiraukan isinya. Alasan kedua, kita cenderung ingin menjadi yang pertama dalam menyebarkan informasi padahal belum tentu informasi yang disebarkan benar. Rasa ingin membantu orang lain dan rasa emosional juga jadi faktor lainnya. Faktor kepemilikan akses juga menjadi faktor selanjutnya. Kita yang punya akses cenderung bisa mengakses sumber apa pun, bahkan sumber yang kurang kredibel. Akibatnya, bisa berpengaruh pada kualitas informasi yang kita terima dan sebarkan ke orang lainnya.
Berbeda dengan Zainuddin, Nadya Annisa, mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia, menilai bahwa fenomena post-truth terjadi karena kemajuan teknologi yang tidak diiringi dengan tingkat pendidikan yang merata. “Semua orang punya akses terhadap internet sehingga semua orang mengetahui isu yang sedang berkembang. Namun, tidak semua orang punya kemampuan dan keinginan untuk mencari tahu dan mengklarifikasi isu yang sedang berkembang. Ditambah lagi, pendidikan yang rendah membuat orang tidak bertanggung jawab dalam tindakannya sehingga seringkali menyebarkan kabar yang belum diklarifikasi,” ungkap Nadya.
Maraknya hoaks yang tersebar melahirkan beberapa situs pemeriksa fakta, salah satunya cekfakta.com. Situs tersebut berusaha memeriksa keabsahan seluruh berita yang telah diunggah dan kemudian mempublikasikan kebenaran dari berita itu. Namun, membeludaknya hoaks di masyarakat tidak sebanding dengan kecepatan tim pemeriksa dalam memvalidasi sebuah berita. “Kecepatan hoaks ekuivalen dengan kecepatan cahaya tetapi berbanding terbalik dengan kecepatan pemeriksa fakta yang seperti kura-kura. Hoaks terdistribusi secara luas dalam sehari, sementara tim pemeriksa fakta belum sekuat itu untuk memeriksa seluruh hoaks,” tambah Zainuddin. Hal ini memperlihatkan bahwa eksistensi hoaks masih sulit dilawan untuk saat ini.
Zainuddin mengungkapkan setidaknya ada empat kemungkinan buruk yang dapat terjadi apabila era post-truth terus menghantui kita. Pertama, emosional yang membabi buta. Kedua, di kalangan masyarakat umum akan mudah terjadi pertikaian yang membawa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Emosi yang mudah tersulut di kancah politik lambat laun akan memecah integrasi bangsa dan dapat menelan korban yang tidak diinginkan. Lalu, kemungkinan buruk ketiga dari fenomena post-truth ini adalah demokrasi yang ternodai. Terakhir, iklim komunikasi bangsa yang terdegradasi. Tsunami informasi yang menerjang akan menciptakan kesulitan dalam memilah informasi yang dibutuhkan dan yang tidak. Kita juga tidak dapat membedakan mana yang fakta dan sekadar semburan dusta.
Bagi Nadya, kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi di era post-truth ini adalah delegitimasi lembaga khusus. Sebagai perumpamaan, di Indonesia ada lembaga Badan Pusat Statistika yang khusus menyediakan data-data seperti pengangguran, inflasi, indeks biaya hidup, dan lain-lain. Namun, ketika kita hidup di era post-truth, orang akan cenderung tidak percaya pada lembaga ini karena lebih memilih mengikuti emosinya dan percaya data bohong.
Meski bukan perihal yang mudah, sebagai masyarakat kita masih bisa memerangi imbas mengerikan dari era post-truth ini. Zainuddin mengungkapkan ada beberapa cara yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi ketimpangan terpaan informasi, antara lain dengan tidak hanya membaca judul ketika melihat berita. Selain itu masyarakat juga perlu meningkatkan kemampuan literasi digital sehingga dapat lebih cerdas dalam memilah informasi. Kemudian, langsung menyebarkan informasi sebelum diteliti dengan bijak harus kita hindari. Sementara itu Nadya menambahkan bahwa kita perlu meningkatkan budaya curiosity dan questioning untuk menghadapi era yang dipenuhi gejolak emosi ini.
Zainuddin menekankan, “Saat ini kita berada di era yang tidak pasti. Kepastian dicari dengan sabar dan hati-hati. Semua orang mempunyai peranan setara, hentikan hoaks mulai dari diri kita masing-masing. Jauh lebih baik menyimpan rapat informasi yang mengandung keraguan daripada menyampaikan informasi yang tidak benar”. Gelar tinggi yang disandang bukan alasan untuk dapat merasa paling benar. Orang yang berpendidikan serta terlihat hebat belum tentu perfek literasi digitalnya apalagi perfek menjaga emosinya.
(Al Viima & Maria Goretti Twinda Tiara/EQ)
Discussion about this post