“Ini mengecewakan. Kami sebagai guru mencoba untuk menjaga semangat mereka dan mendorong mereka untuk meningkatkan keterampilan dan kompetensi mereka sambil menunggu pekerjaan,”
Kutipan diatas merupakan reaksi pedih seorang Ratih, guru sebuah SMK di Tangerang Selatan, setelah mengetahui hampir separuh siswanya gagal mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Permasalahan siswa Ratih ini hanya merupakan puncak gunung es mengenai permasalahan siswa dan lulusan di sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk memperoleh pekerjaan selepas lulus. Hal ini menyebabkan para guru harus berjuang untuk menjaga semangat para siswa agar tak putus asa dan pasrah menjadi pengangguran. Sebab, bahaya laten dari masalah pengangguran lulusan SMK tidak hanya terkait dengan ketiadaan pendapatan saja, melainkan juga melahirkan kemiskinan dan ketidaksejahteraan bagi generasi muda di masa mendatang.
Berbicara mengenai kemiskinan dan kesejahteraan memang tidak akan pernah terlepas dari pengangguran dan pendidikan. Angka kemiskinan di Indonesia sebenarnya kini sudah menunjukkan tren penurunan di angka 9,66% pada semester akhir tahun 2018, lebih kecil dibanding semester sebelumnya sebesar 9,82% dan akhir 2017 sebesar 10,12%. Namun, masih banyak penduduk di Indonesia yang hidup di atas garis kemiskinan namun rentan jatuh miskin. Menurut BPS, jumlah penduduk rentan miskin di Indonesia pada tahun 2018 adalah 53,3 juta jiwa atau 20,19% dari total penduduk karena pendapatan mereka hanya sedikit di atas garis kemiskinan, yaitu di bawah Rp 616.005 per kapita per bulan.
Menimbang melalui perspektif yang lain, kemiskinan sebenarnya merupakan masalah yang bersifat multidimensional dimana banyak faktor yang dapat mempengaruhi kelahiran dan eksistensi kemiskinan di masyarakat. Oleh karena itu, World Bank merekomendasikan beberapa solusi strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Salah satu contohnya adalah pemerataan pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar efektif?
Pendidikan Menengah Tingkat Atas dan Pengentasan Kemiskinan
Menurut Amartya Sen dalam Ustama (2009), melalui pendidikan yang baik, setiap orang akan memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan sehingga mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan yang lebih produktif dan meningkatkan pendapatannya. Dengan demikian, pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan menghilangkan eksklusi sosial. Harapannya, kedua hal tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia, pemerintah mewajibkan setiap anak memperoleh pendidikan wajib. Hal ini tidak lain untuk membekali generasi muda dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. SMA/K merupakan pendidikan wajib terakhir yang harus dijalankan oleh setiap anak di Indonesia. Indonesia telah menerapkan sistem wajib belajar 12 tahun, dimulai dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah atas atau kejuruan. Setelah lulus, para siswa dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, kuliah, dan memulai karirnya sesuai jurusan yang dipilihnya. Mengenai program tersebut, World Bank memperkirakan jika program wajib belajar di Indonesia ini diterapkan dengan sukses, maka penduduk muda akan mendapat manfaat terbesar dari peningkatan akses pendidikan. Menurut Rasyid (2015), pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang seutuhnya, beradab, dan mampu melihat potensi dirinya. Melalui proses pendidikan, generasi muda diharapkan dapat berbagai tantangan global dan kompetitif. Ketika mereka bergerak menuju pasar tenaga kerja, mereka memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan per-kapita nasional sebelum usia penduduk mengalami penuaan dan tingkat ketergantungan meningkat. Terlebih dengan kondisi Indonesia yang akan menghadapi bonus demografi pada beberapa tahun mendatang.
Anggapan di atas diperkuat dengan klaim Farrukh Iqbal dalam bukunya, Sustaining Gains in Poverty Reduction and Human Development in the Middle East and North Africa, yang mengatakan bahwa pendidikan dan pekerjaan saling berkaitan. Pendidikan dapat membantu keluarga keluar dari zona kemiskinan secara langsung melalui peningkatan pendapatan dari meningkatnya produktivitas pekerja atau membuka jalur untuk bekerja di tempat yang memiliki pendapatan lebih tinggi.
Terkait dengan keunggulan pendidikan kejuruan dalam pengentasan kemiskinan, Amir dan Yasdin melakukan kajian mengenai tinjauan disparitas dan sumber daya manusia pendidikan kejuruan. Kajian ini memaparkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan peserta didik menjadi manusia produktif untuk mengisi kebutuhan terhadap peran-peran yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat. Pendidikan kejuruan difokuskan pada penyediaan tenaga kerja terampil pada berbagai sektor seperti perindustrian, pertanian, dan teknologi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Pendidikan kejuruan juga diarahkan untuk mengatasi kesenjangan, kemiskinan, dan pengangguran. Bekerja dan sukses pada pekerjaan yang diinginkan adalah tujuan keberadaan vokasionalisasi yakni pengembangan individu, sosio-politik, dan ekonomi.
Namun, siswa SMA/K yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya beralih ke kegiatan langsung bekerja atau terpaksa menerima pilihan terakhir dengan menganggur. Hal tersebut menyebabkan jumlah pengangguran dari lulusan jenjang SMA/K kian tahun berubah-ubah bahkan memiliki persentase terbesar berdasarkan data BPS 2018. Hal ini sangat disayangkan mengingat pemerintah mewajibkan siswanya menempuh pendidikan hingga SMA/K namun tidak meningkatkan tingkat kesejahteraan lulusannya.
Pendidikan Berhasil Memutus Kemiskinan
Seharusnya secara teoritis, investasi pada pendidikan formal dapat dijadikan solusi strategis dalam memutus rantai kemiskinan. Pendidikan formal akan menunjang peningkatan jumlah tenaga kerja yang terdidik. Dengan menyandang predikat sebagai tenaga kerja terdidik, masyarakat akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih layak sehingga dapat melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.
Hubungan positif antara pendidikan formal dengan menurunnya tingkat kemiskinan di Indonesia sebenarnya juga diamini pada kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB). Kajian tersebut menjelaskan bahwa tingkat returns-to-education Indonesia mengalami peningkatan dengan arti pekerja yang sangat terampil cenderung menghasilkan lebih banyak penghasilan daripada mereka yang hanya mengecap pendidikan dasar. Apabila dibandingkan, mereka yang memiliki pendidikan menengah pertama, atas, dan pendidikan tinggi menikmati premi yang lebih tinggi masing-masing sebesar 20%, 40%, dan 100% dari pendapatan pekerja yang hanya pernah mengenyam pendidikan dasar atau tidak sama sekali. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan dianggap mencerminkan kualitas pekerja. Dalam kajian yang dilakukan oleh Adji bertajuk Indonesia Poverty Reduction Strategies: Shifting Policies to Promote Employment in the Poorest Four Deciles, pendidikan berdampak pada kualitas pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan dan kualifikasi yang dimiliki oleh pekerja, semakin baik pula kesejahteraannya.
Penggambaran relasi positif antara pendidikan dengan menurunnya kemiskinan dapat ditemui pada beberapa daerah di Indonesia. Contohnya di Provinsi Bali, dimana berdasarkan data BPS (Agustus, 2018), angka partisipasi sekolah cukup tinggi pada kelompok umur 16-18 tahun sebesar 82,16%. Angka putus sekolah untuk tingkat SMA dan SMK juga sangat rendah, yaitu sebesar 0,23% dan 0,52%. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurut SMA dan SMK sebagai pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah 1,41% dan 3,14%. Kondisi ini dibarengi dengan rendahnya TPT secara umum, yaitu 1,37% dan angka kemiskinan sebesar 3,91%, menjadikannya sebagai salah satu yang terendah di Indonesia. Selain itu, Bali memiliki sektor pariwisata yang membuat masyarakatnya fokus pada pendidikan di sektor tersebut. Kecintaan terhadap Bali menyebabkan masyarakatnya mengupayakan untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin di sektor tersebut. Sehingga, pekerjaan yang diinginkan umumnya dijadikan orientasi dalam menempuh pendidikan lebih tinggi.
Seperti Bali, Kepulauan Riau (Kepri) memiliki potensi besar di sektor pariwisatanya. Batam, Natuna, Bintan, Karimun dan Tanjung Pinang merupakan beberapa daerah di Kepri yang berpotensi untuk dikembangkan. Hal ini ditambah peran batam sebagai pusat industri dan free trade zone (TFZ) yang membutuhkan tenaga kerja terampil. Angka partisipasi sekolah cukup tinggi pada kelompok umur 16-18 tahun sebesar 82,80%. Angka putus sekolah untuk tingkat SMA dan SMK juga sangat rendah, yaitu sebesar 0,38% dan 0,89%. Meski jika dilihat dari tingkat pendidikan, TPT untuk SMK dan SMA masih mendominasi di antara tingkat pendidikan lain yaitu sebesar 12,98% dan 10,91%. TPT di Kepri pada Agustus 2018 mencapai 7,12 persen disertai dengan angka kemiskinan yang cukup rendah sebesar 5,83%. PDRB Kepri yang tumbuh sebesar 4,76% pada triwulan pertama tahun ini dapat menjelaskan rendahnya kemiskinan di Kepri. Selain itu, pertumbuhan ini didominasi oleh sektor industri sekunder dan tersier seperti industri pengolahan (37,38%) dan konstruksi (18,43%).
Pendidikan Belum Memutus Kemiskinan Indonesia
Secara umum, tingkat pendidikan akan menentukan kualitas dari tenaga kerja yang tersedia. Tenaga kerja yang berkualitas tentu saja akan memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Berbagai pendapat dan teori konservatif menganggap kalimat diatas mencerminkan apa yang akan terjadi. Namun, apakah hal ini terjadi di Indonesia?
Faktanya, misi pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan tenaga kerja yang terdidik (SMA/K) tersebut tidak terealisasikan secara sempurna. Tingkat kemiskinan absolut di Indonesia pada Maret 2018 berada di angka 9,66% dengan pengeluaran maksimal yang ditetapkan BPS adalah Rp400.995 per bulan untuk masyarakat kota dan Rp370.910 untuk desa. Kemudian, angka TPT Indonesia per Agustus 2018 adalah 5,34%. Hal yang mengejutkan adalah TPT berdasarkan tingkat pendidikan. Dilihat dari tingkat pendidikan pada Agustus 2018, TPT untuk SMK masih mendominasi di antara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 11,24 %. TPT tertinggi berikutnya terdapat pada SMA sebesar 7,95%. Dengan kata lain, ada penawaran tenaga kerja yang tidak terserap, terutama pada tingkat pendidikan SMK dan SMA. Mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa saja, dapat dilihat dari TPT orang berpendidikan SD merupakan yang paling kecil di antara semua tingkat pendidikan, yaitu sebesar 2,43 %.
Selain itu, ada juga beberapa kasus lain yang menyiratkan bahwa relasi antara pendidikan dan turunnya kemiskinan tidak selalu terjadi. Provinsi Maluku Utara memiliki tingkat kemiskinan yang terdata hanya berada di angka 81,46 ribu jiwa (6,64%). Sedangkan angka putus sekolahnya merupakan yang tertinggi di Indonesia yakni 1,6%. Hal ini berbanding terbalik dengan Jawa Tengah yang jumlah penduduk miskinnya mencapai angka 3,86 juta jiwa (11,19%). Jumlah ini termasuk besar jika dibandingkan dengan berbagai provinsi lain. Padahal, angka putus sekolahnya hanya mencapai 0,4%.
James J. Heckman, peraih Nobel Ekonomi 2000, juga sempat memberi pernyataan bahwa pendidikan menengah atas dan vokasi saja tidak dapat memutus rantai kemiskinan. Menurutnya, berinvestasi pada pendidikan usia dini merupakan cara paling hemat biaya dalam pengentasan kemiskinan. Tingkat pengembalian tertinggi (rate of return) dalam perkembangan anak usia dini berasal dari investasi usia dini, (0-5 tahun) sebesar 7-10% per tahun. Return of investment ini didasarkan pada peningkatan prestasi sekolah, karier serta pengurangan biaya dalam perbaikan pendidikan, kesehatan, dan kriminalitas.
Berbagai media dan organisasi seperti ADB mempertanyakan mengenai kualitas lulusan SMA dan SMK dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan data BPS yang menyebutkan bahwa lebih dari 20% tingkat pengangguran di Indonesia disumbang oleh lulusan SMK yang seharusnya memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri. Selain itu, ADB menilai buruknya kualitas pendidikan kejuruan di Indonesia umumnya disebabkan atas manajemen sekolah kejuruan cenderung kaku, penempatan kerja tidak teratur, dukungan dana rendah, dan hubungan dengan sektor swasta lemah. Masyarakat pun cenderung memandang pendidikan kejuruan sebagai pendidikan kelas dua alternatif untuk pendidikan menengah tingkat atas.
Lebih lanjut, ADB menilai salah satu faktor yang menyebabkan belum berhasilnya pendidikan kejuruan di Indonesia karena terdapat kesenjangan keterampilan (skill gap). Skill gap merupakan kondisi dimana tingkat pendidikan para pekerja di Indonesia selalu meningkat, namun kualitasnya pendidikan tingginya rendah dan prestasi belajar sebagian besar siswa tidak memadai untuk memenuhi kualifikasi perusahaan. Hal ini menyiratkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak menyediakan lulusan dengan keterampilan yang tepat. Akibatnya, sejumlah besar individu bekerja di pekerjaan berketerampilan rendah. Pendapat ini dikuatkan dengan pernyataan Ibu Ratih dalam artikel Nikkei Asian Review diatas. Dari kacamatanya, Ratih menyebutkan bahwa masalah utama rendahnya serapan tenaga kerja dari tingkat SMK berakar pada ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan mata pelajaran yang ditawarkan oleh sekolah kejuruan. Buktinya nyata ada pada sekolah yang diampu Ratih. Sekolahnya menawarkan lima bidang spesialisasi: akuntansi, tata boga, teknik listrik, serta teknik mesin dan elektronik, dan hanya jurusan akuntansi saja yang dinilai memadai oleh industri. Jurusan akuntansi dinilai sesuai karena siswanya sering dilibatkan dalam program praktik kerja lapangan, dan ini tidak terjadi pada jurusan lainnya.
Pola Pendidikan Menengah Atas dan Kejuruan yang Tidak Optimal: Orientasi, Desentralisasi, Hingga Disrupsi dalam Pendidikan
Apa akar masalah dan solusi dari skill gap di SMA/K Indonesia? Terdapat beberapa poin fundamental yang perlu diperhatikan yaitu, orientasi pendidikan, desentralisasi kebijakan, dan disrupsi pendidikan.
Orientasi menjadi penting dalam mengarahkan kebijakan pendidikan, termasuk kebijakan yang dapat menciptakan pendidikan menengah atas/kejuruan sebagai sarana efektif dalam pengentasan kemiskinan. Menurut Martha C. Nussbaum, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu untuk memperkaya perekonomian dan untuk mengembangkan manusia. Pendidikan pada model pengembangan lama merupakan pendidikan untuk memperkaya ekonomi. Pendidikan jenis ini membutuhkan keterampilan dasar, literasi, dan kemampuan berhitung. Pendidikan untuk memperkaya perekonomian berusaha menyediakan SDM yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Di sisi lain, pendidikan untuk pengembangan manusia berdasarkan moralitas adalah ide yang sangat luas. Ini mencakup banyak jenis proses mengolah hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan pribadi siswa. Tujuannya adalah menghasilkan warga negara yang layak yang dapat memahami masalah-masalah bangsa yang ditanggapi oleh nilai-nilai moral seperti keadilan, kesejahteraan, dan multikulturalisme. Pendidikan ini menghasilkan siswa yang memiliki kompetensi praktis dan insentif motivasi untuk melakukan sesuatu terhadap masalah-masalah bangsa. Orientasi pendidikan perlu mengkolaborasikan kedua kutub pendidikan tersebut, dan disertai rentang waktunya.
Pengambilan kebijakan mengenai pendidikan juga menjadi hal yang penting dalam SMK/A yang efektif dalam pengentasan kemiskinan. Saat ini Indonesia mengalami kerancuan dalam desentralisasi pengambilan kebijakan pendidikan di mana desentralisasi pendidikan masih terbatas pada pengelolaan administrasi sekolah. Padahal pemerintah mengakui adanya kompetensi yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan potensi daerahnya. Namun, disisi yang lain, pemerintah masih percaya bahwa sentralisasi masih diperlukan dalam pembuatan kebijakan pendidikan Indonesia. Dalam konteks Indonesia, perlu ada ruang yang lebih besar lagi bagi munculnya desentralisasi dalam pembuatan kurikulum berdasarkan potensi daerahnya. Dimana hal ini juga diamini oleh Ustama (2013) dalam publikasinya bertajuk Peranan Pendidikan dalam Pengentasan Kemiskinan, bahwa diperlukan perluasan akses terhadap pendidikan di SMK sesuai kebutuhan dan keunggulan lokal dengan menambah program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang serta perlu dilakukan penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah lulus.
Selain itu, terdapat berbagai permasalahan yang bersumber dari pengajar itu sendiri. Guru memiliki disparitas kualitas dalam hal kemampuan pedagogik maupun pemahaman konsep. Aktualisasi keilmuan guru pun sering terhambat akibat guru terlalu disibukkan untuk mengurus berbagai administrasi kelas. Selain itu pendidikan yang terlalu menjadikan ujian sebagai tolak ukur menghilangkan insentif untuk mengajarkan hal yang penting seperti pemahaman konsep, implementasi dalam praktik, hingga kondisi aktual dari materi pembelajaran. Disrupsi teknologi dapat menjadi solusi atas permasalahan guru di Indonesia, dimana E-learning untuk pemerataan dan Guru penting sebagai fasilitator. E-learning dapat menjadi sarana bantu guru maupun pengambil kebijakan untuk memastikan berkurangnya disparitas kualitas antar guru.
Simpulan
Angka penduduk miskin sejumlah 53,3 juta bukanlah sekedar angka statistik yang kecil. Belum lagi ditambah dengan masyarakat yang rentan jatuh miskin. Pendidikan hingga jenjang SMA/K yang diharapkan menjadi solusi, justru menjadi bumerang. Skill gap yang muncul antara kebutuhan industri dan mata pelajaran yang ditawarkan menjadi salah satu penyebab utamanya, sehingga tujuan pemerintah tidak tercapai.
Hubungan antara pendidikan menengah atas dan kejuruan dengan penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang seragam. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa daerah dengan hasil positif (pendidikan meningkat sembari kemiskinan menurun) namun tidak dengan sebagian besar daerah lainnya.
Perlu adanya pemikiran ulang secara fundamental mengenai orientasi pendidikan, ruang desentralisasi kurikulum, dan potensi teknologi. Semua harus dilakukan dalam mengembangkan pendidikan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sehingga tidak ada Ratih lain yang merasa gagal dalam mengajar siswanya.
(Surya Merta, Tabitha, Irfan Fawwas/EQ)
Referensi:
Adji, Ardi, et.al. 2017. Indonesia Poverty Reduction Strategies: Shifting Policies to Promote Employment in the Poorest Four Deciles. Economics and Finance in Indonesia. Vol. 63 No. 1. Pg 13-37.
Aji, Priasto. 2015. Summary of Indonesia’s Poverty Analysis. ADB Papers on Indonesia No. 4. Asian Development Bank: Philippines.
Badan Pusat Statistik. 2017-2019. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Provinsi, dan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Provinsi. Retrieved from www.bps.go.id.
Farrukh Iqbal. 2006. Sustaining Gains in Poverty Reduction and Human Development in the Middle East and North Africa. The World Bank: Washington D.C.
Kasali, Rhenald. 2014. Pendidikan dan Rantai Kemiskinan. Retrieved from https://nasional.kompas.com
Ministry of Education and Culture of Finland. n.d. Finnish Education System. Retrieved from www. minedu.fi.
Ministry of Education of Singapore. 2018. Education System. Retrieved from www.moe.gov.sg.
Pribadi, Bowo. 2018. Sistem Pendidikan di Indonesia Masih Stagnan. Retrieved from www.republika.co.id.
Rasyid, Harun. 2015. Membangun Generasi melalui Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan. Jurnal Pendidikan Anak. Vol 4. No 1. Pg 565-581.
Rita, Norma. 2019. Potensi dan Keadaan Wilayah. Retrieved from www.academia.edu.
Sekretariat Jenderal Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Ikhtisar Data Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017/2018. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Sen, Amartya Kumar. 2000. Development as Freedom. New York: Anchor Books. Ustama, Dicky Djatnika. 2009. Peranan Pendidikan dalam Pengentasan Kemiskinan. “DIALOG” Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik. Vol. 6 No. 1. Pg 1-12.
Discussion about this post