Melayang pandang pada sekujur tubuh kota, tampak sorot-sorot mata berbaris rapi dalam bingkai papan tak bernyawa. Tatapan tajam pada mata mereka seolah berkata “Pilihlah aku menjadi penyambung lidah kalian”. Sementara itu, sapta warna panji identitas melambai-lambai di tengah lalu-lalang jalanan, seakan mencoba mendominasi setiap kedipan mata. Ya, atmosfer semacam ini tak ubahnya suatu kelaziman dalam menyambut pesta besar di bumi demokrasi Indonesia. Bukan sekadar ajang perebutan suara, perhelatan akbar beserta ornamen-ornamennya itu pun mestinya berisikan refleksi nasib rakyat lima tahun ke depan. Lantas, sudahkah perhelatan itu hadir mengusung makna? Atau justru sebatas pesta tanpa arti?
Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang kerap disebut sebagai pesta demokrasi ini selalu mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat di setiap perhelatannya, tak terkecuali pada tahun politik 2019. Bagaimana tidak, bayangkan saja presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat di kursi legislatif untuk periode lima tahun ke depan nanti dipilih sekaligus dalam satu waktu. Kendati berfungsi guna menghemat anggaran Pemilu, teknis pelaksanaan pemilihan serentak ini bukan tanpa efek samping. Pasalnya, Pemilu serentak berpotensi mengakibatkan terpusatnya fokus khalayak hanya pada pemilihan presiden (Pilpres). Akibatnya, antusiasme masyarakat terhadap pemilihan legislatif (Pileg) terpaksa menjadi korban.
“Secara teori, sejak mulai digagas, Pemilu serentak sebenarnya membuat cara berpikir masyarakat tentang mandat itu menjadi tunggal. Hal ini karena dalam sebuah sistem presidensial seharusnya rakyat memberikan dua mandat, kepada legislatif dan kepada eksekutif,” jelas Dr. Abdul Gaffar Karim, pengamat politik Universitas Gadjah Mada, saat ditemui di ruang kerjanya (18/3). “Sehingga, ada peluang sangat besar bahwa rakyat itu berpikir satu kali saja. Maka, boleh jadi keberhasilan calon presiden dalam suksesi Pilpres nantinya akan menentukan mayoritas kursi legislatif,” imbuhnya.

Fenomena pola pikir di masyarakat ini pada akhirnya akan menggiring perubahan dalam strategi kampanye dan ini disadari betul oleh setiap tim pemenangan. Premis tersebut dapat kita buktikan dengan maraknya baliho kampanye yang memampangkan foto calon legislatif (Caleg) berdampingan dengan calon presiden (Capres). “Sebenarnya ada dalam ilmu politik disebut coattail effect. Ini adalah efek yang ditimbulkan oleh kemenangan tokoh penting sehingga siapapun yang mendukungnya akan turut menang,” papar Gaffar. Dengan demikian, coattail effect ini sangat berpotensi menimbulkan pelibatan kekuatan elektabilitas calon presiden dalam kampanye Caleg, baik itu koalisi incumbent maupun oposisi.
Lebih lagi, partai politik (Parpol) dengan skala prioritasnya masing-masing begitu kentara memberikan fokus yang lebih pada suksesi Pilpres dan terkesan tak acuh terhadap Pileg. Gaffar mengungkapkan bahwa kurangnya konsentrasi terhadap Pileg mengakibatkan sedikitnya kontribusi Parpol dalam pemenangan Caleg, terlebih dalam hal arah kampanye. “Terkesan seolah ini pertarungan individu,” tegasnya. Pada akhirnya, realita semacam ini lah yang membuat permasalahan kian menjalar ke mana-mana.
Benar saja, jalaran ruwet permasalahan sederhana tersebut nyatanya menjangkiti pelbagai aspek, salah satunya ialah nilai dari kampanye itu sendiri. Alhasil, jangan terkejut apabila tidak sedikit peserta Pileg yang tak lagi menjual apa yang mestinya dijual dalam kampanyenya. Mereka justru menggunakan cara-cara yang terkesan konyol. Sebut saja tag line seperti “Rela jungkir balik demi rakyat”, “Coblos tahi lalatnya”, hingga “Coblos saya insyaallah masuk surga”. Hal ini merupakan sebagian kecil dari begitu banyak hal konyol yang mungkin pernah kita temui di baliho-baliho Caleg. “Strategi seperti itu (jargon konyol, red) sangat tidak mendidik. Ini karena politik urusan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk dimain-mainkan dengan gimmick seperti itu,” ujarnya.
Meski begitu, Gaffar tidak pula menganggap obral program dalam kampanye Caleg merupakan kiat yang dibenarkan dalam sudut pandang ilmu politik. “Tentang bagaimana arah suatu pemerintahan daerah itu tergantung eksekutif (kepala daerah, red). Legislatif tugasnya hanya tinggal membuka telinga lebar-lebar karena mereka adalah wakil rakyat, bukan memulai dengan suatu set program yang sudah jadi,” paparnya. Namun, permasalahan demokrasi bukan semata soal bagaimana Pemilu beserta kampanye di dalamnya berlangsung. Lebih dari itu, demokrasi itu sendiri ialah tentang bagaimana demos membangun kratos. “Maka sebenarnya permasalahan kembali lagi kepada kita (rakyat, red). Tugas utama kita adalah menjadi demos atau pengawas dalam jalanya demokrasi,” pungkas Gaffar menutup perbincangan sore itu.Ya, dalam dinamika politik elektoral, maju mundurnya situasi politik sejatinya tidak akan pernah bisa terlepas dari kehadiran rakyat. Rakyat yang berpartisipasi aktif dalam suatu proses pembentukan negara seperti halnya Pemilu memang sangat dibutuhkan. Pemilu itu sendiri, khususnya di tingkat legislatif merupakan hari lahir bagi demokrasi. Untuk itu, Pemilu haruslah tetap menjadi Pemilu sebagaimana khitah demokrasi dan bukan sebatas pesta tanpa arti. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, pola pikir di tengah masyarakat harus segera diluruskan, bahwa pada hakikatnya Pemilu ialah suatu proses pendelegasian kepercayaan dan bukan sekadar etalase omong kosong.
(Jatmiko Tribudi P. & Abhinaya R. /EQ)
Discussion about this post