Penulis: Farid Fakhri dan Sirajuddin Ahyar
Undang-undang,
Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar kata di atas? Sesuatu yang mengatur kita? Atau hal-hal lain terkait birokrasi yang menyulut emosi? Baru-baru ini pemerintah melalui Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan draf Rancangan undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dua RUU tersebut merupakan RUU besar yang mengatur lintas sektor, sehingga apabila disahkan DPR, akan mengamandemen beberapa UU sekaligus. RUU ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Omnibus Law.
Belakangan ini, Omnibus Law banyak dibicarakan oleh masyarakat. Pasalnya, ada beberapa UU dalam RUU tersebut yang dianggap merugikan banyak pihak. RUU Cipta Lapangan Kerja misalnya, dinilai merugikan pekerja karena berpotensi memperpanjang jam kerja dan lembur. Selain itu, RUU ini juga dianggap merugikan sektor pertanian karena menghapuskan pembatasan impor pangan. Pun, banyak urusan administrasi seperti tata ruang dan izin pendirian bangunan yang dirasa merugikan rakyat. Efek beruntun inilah yang menggerakkan mahasiswa Yogyakarta untuk turun ke jalan dan melakukan aksi Gejayan Memanggil Lagi.
Sejak Minggu (8/3), tagar #GejayanMemanggilLagi mulai mencuat dan menjadi trending di media sosial Twitter dan Instagram serta menghiasi tiap postingan yang berbau aksi. Besoknya (9/3) tagar ini menjadi trending nomor satu di Twitter berbarengan dengan dilaksanakannya aksi di Pertigaan Gejayan, Yogyakarta. Sebelum berkumpul di Gejayan, peserta aksi berkumpul di tiga titik kumpul yang telah ditentukan sebelumnya. Titik kumpul pertama adalah di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), kedua di Taman Pancasila Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan titik kumpul ketiga berada di Multi Purpose Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Viralnya aksi ini bukan semata hanya sensasi internet insidental melainkan melalui persiapan dari jauh hari sebelumnya. Penggerak aksi beberapa kali melakukan konsolidasi di kampus masing-masing dan konsolidasi final dilaksanakan di UGM untuk membahas teknis aksi yang akan dilaksanakan Senin kemarin. Konsolidasi final dihadiri oleh mahasiswa dari UGM, UNY, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan institusi pendidikan lainnya di Yogyakarta. Dari beberapa konsolidasi tersebut dirumuskan mosi untuk menggagalkan Omnibus Law, RUU Ketahanan Keluarga, dan dukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pada 11.00 WIB, Jalan Gejayan terlihat sepi kendaraan yang melintas dan lambat laun massa mulai berkumpul di Pertigaan Gejayan. Terlihat juga aparat yang bertugas mengamankan dan menertibkan jalannya aksi tersebar dari Jalan Gejayan hingga pertigaan Jalan Oerip Soemohardjo. Kemudian, dimulailah orasi bergiliran dari perwakilan tiap institusi pendidikan dan komunitas pemerhati buruh yang mengkritisi Omnibus Law dari berbagai kacamata. Salah seorang penggerak aksi dari Aliansi Rakyat Bersatu menjelaskan bahwa Omnibus Law semata-mata dibuat untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu seperti investor dan penguasa. Menurutnya, Indonesia memang membuka lahan untuk berinvestasi tetapi investasi yang masuk akan menjadi investasi “bodong” dan berpotensi mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Beberapa hal yang disorot ialah pasal 88B tentang mekanisme pembagian upah yang akan ditentukan oleh satuan waktu. Hal ini akan berakibat pada pengubahan variabel pembayaran pekerja menjadi yang semula bulanan menjadi per jam dan berpotensi mengeksploitasi buruh. Apabila pekerja digaji jauh lebih sedikit dibanding sebelumnya, daya beli masyarakat Indonesia akan menurun karena mayoritas berprofesi sebagai buruh.

Selain itu, salah satu dari beberapa tuntutan yang telah diajukan ialah terancamnya pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan tinggi yang dianggap rentan terhadap eksploitasi. Sekilas memang terlihat bahwa hal ini bertujuan baik, tapi orator dalam aksi Gejayan Memanggil Lagi menyebutkan bahwa lulusan pendidikan tinggi akan lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan mengesampingkan tujuan lainnya seperti riset dan pengembangan terhadap negara sendiri. Argumen yang diberikan ialah, apabila riset dan pengembangan digalakkan, Indonesia akan lebih bersaing baik dari segi pendidikan dan teknologi dengan negara-negara maju lainnya. Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) menambahkan bahwa Omnibus Law telah mengotori citra pers mahasiswa dan publik yang telah dibangun bersama. Upah wartawan yang termasuk buruh akan menurun jauh, juga jam kerja yang akan dipotong untuk menghemat perusahaan pers bersangkutan. Akibatnya, kebenaran yang seharusnya diungkap oleh wartawan terhalang oleh keterbatasan jam kerja. Selain itu, perwakilan dari AJI menyebutkan bahwa pemberitaan di Indonesia akan rentan terhadap pengalihan isu yang diatur oleh kepentingan-kepentingan pribadi.

Di tengah-tengah orasi, massa dari UGM dan UMY mulai berdatangan. Massa dari kedua universitas ini sebelumnya menunggu di Bundaran UGM untuk bersama-sama longmars menuju Pertigaan Gejayan. Beberapa penampil papan atas seperti Rara Sekar dan Tashoora turut memeriahkan jalannya aksi walaupun diterpa derasnya hujan yang mengguyur Gejayan sore itu. Farhan, selaku Menteri Adkesma BEM KM UGM menyebutkan bahwa BEM KM UGM sendiri menjadi fasilitator bagi mahasiswa UGM untuk menyuarakan aksinya. “Ini kan lingkupnya mahasiswa, jadi disini kami men-support saja. Kalau dari pembahasan substansi sendiri dilakukan oleh Departemen Astrat,” tambahnya. Pun, Fuad, selaku Ketua BEM FEB UGM berpendapat bahwa dari segi massa yang ikut terlibat lebih sedikit dibanding aksi sebelumnya, tetapi substansi yang dibawa tetap berbobot. “Kita harus mengerti bahwa penting untuk meningkatkan economics growth, tapi tidak boleh melupakan economics fairness. Masyarakat juga harus mengkritisi sikap pemerintah terhadap investor, enggak bisa tinggal diam, tetap harus dikaji,” ujarnya.
Sungguh ironi jika Indonesia yang telah dianggap negara maju malah dinilai mengalami kemunduran yang diakibatkan oleh lemahnya kebijakan yang diterapkan oleh pemimpinnya sendiri. Menggerogoti dari dalam katanya. Lantas, akankah kita berdiam diri? Atau memperjuangkan harga diri bangsa sampai mati? Jika sudah seperti ini, negara macam apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita nanti?
Discussion about this post