Sejak tahun 2012, 11 Oktober diperingati sebagai sebagai Hari Anak Perempuan Internasional atau “The International Day of The Girl.” Pada tahun ini, PBB menggarisbawahi sebuah paradigma bahwa kemajuan anak-anak perempuan seiring dengan kemajuan untuk mencapai kesetaraan gender. Mengingat bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDG) yang dirumuskan oleh PBB, diharapkan bahwa peringatan Hari Anak Perempuan Internasional dapat menjadi bagian dari solusi untuk mewujudkan agenda tersebut. Oleh karena itu, tema yang disorot pada intinya akan membawa perubahan signifikan terhadap anak-anak perempuan.
Seiring dengan perkembangan zaman, kesetaraan gender mulai diperjuangkan sebagai dasar vital terhadap realisasi hak asasi manusia (HAM) yang lebih baik. Salah satunya adalah melalui organisasi internasional “Girls Not Brides” yang merupakan hasil kerjasama dari 600 organisasi kemasyarakatan dari 80 negara. Organisasi tersebut bertujuan untuk memberantas pernikahan usia dini dan mengembangkan potensi anak-anak perempuan. Berbagai inisiatif seperti kampanye dan berbagai program diharapkan dapat menyampaikan dukungan mereka terhadap anak-anak perempuan di seluruh dunia.
Gambar1 Sumber: www.girlsnotbrides.org
Setiap tahun, anak-anak perempuan secara keseluruhan menghabiskan 160 juta jam lebih lama dari anak laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak dan membersihkan rumah. Stereotip mengenai perempuan dapat secara tidak langsung tertanam sejak mereka masih anak-anak. Dongeng-dongeng putri yang diceritakan melalui buku dan film menggambarkan sebuah idealisme yang tidak nyata. Tokoh-tokoh tersebut merefleksikan sosok yang tidak diberikan kebebasan dan kesempatan untuk mengembangkan diri seutuhnya. Sebaliknya, mereka harus menjalankan peran sesuai dengan yang diharapkan oleh komunitas dan rakyatnya. Ironisnya, mayoritas dari mereka menikah pada usia remaja dengan pasangan yang baru dikenal. Lantas, apakah gambaran seperti itu yang diharapkan oleh masyarakat? Realita pun seakan membenarkan dongeng-dongeng tersebut.
Saat ini diperkirakan jumlah anak perempuan di seluruh dunia mencapai 1.1 miliar. Berdasarkan data dari UNICEF, 15 juta anak perempuan di bawah 18 tahun harus mengorbankan masa muda mereka untuk menjadi mempelai setiap tahunnya. Secara keseluruhan, terdapat 720 juta perempuan yang sudah menikah sebelum mereka menginjak usia 18 tahun. Apabila tingkat pemberantasannya masih seperti sekarang, maka angka tersebut akan mencapai 1.2 miliar pada tahun 2050. Sebaliknya apabila pemberantasannya lebih optimal, angka tersebut akan berkurang menjadi 490 juta pada tahun 2050 (lihat grafik 1).
Grafik 1 Sumber: UNICEF Data Analytics Section, 2016 (dalam Girls Not Brides, 2016)
Melihat situasi di negara kita, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan tingkat pernikahan usia dini tertinggi. Sulawesi Barat mendominasi tingginya angka pernikahan dengan usia di bawah 15 tahun di Indonesia. Banyak kisah pilu yang berakhir tragis karena pernikahan dilangsungkan saat mempelai wanita masih berada di bangku sekolah. Di usia yang muda, mereka sudah memiliki anak, diperlakukan secara kasar oleh sang suami yang usianya jauh lebih dewasa, dan pada akhirnya ditinggal tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Apabila kita telusuri dari aspek pendidikan, kita dapat melihat perbandingan tingkat partisipasi sekolah antara laki-laki dan perempuan. Dari tingkat TK hingga SD, persentase anak perempuan lebih tinggi. Namun perbedaan persentasenya semakin mengecil pada jenjang yang lebih tinggi (lihat grafik 2) . Pada tingkat SMP, persentase laki-laki menjadi 2 persen lebih tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa secara umum, tidak semua anak perempuan memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.
Terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan diri sejak muda mengakibatkan berbagai kerugian. Selain masalah kesehatan, UNICEF menyimpulkan bahwa pernikahan usia dini di Indonesia mengurangi sekitar 1,7% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Di sisi lain, undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia memperbolehkan perempuan untuk menikah pada usia 16 dan laki-laki pada usia 18. Hal ini menyiratkan bahwa perempuan sudah sewajarnya untuk menikah pada usia yang lebih muda.
Maka, kesetaraan menjadi sebuah kemewahan yang tidak boleh disia-siakan. Namun, hal tersebut harus diberikan dan diperjuangkan sejak usia dini. Dengan kondisi sosial-ekonomi saat ini, kita memerlukan generasi penerus bangsa yang memiliki daya juang dan harapan. Hal tersebut akan muncul apabila masyarakat, khususnya anak-anak, memiliki semangat dengan adanya kesetaraan yang dapat membukakan kesempatan bagi mereka untuk meraih cita-citanya. Oleh karena itu, jangan pernah lelah untuk memperjuangkan keadilan dan raihlah kemerdekaan bagi kita dan generasi-generasi berikutnya karena semua orang pantas untuk mendapatkan yang terbaik. Selamat Hari Anak Perempuan Internasional!
(Phelia Myrna/EQ)
Sumber:
http://www.girlsnotbrides.org/wp-content/uploads/2016/09/IT-TAKES-A-MOVEMENT-ENG.pdf
http://unicefindonesia.blogspot.co.id/2015/08/stolen-childhoods-young-brides-of-west.html
http://www.unicef.org/media/media_92884.html
http://www.un.org/en/events/girlchild/
Discussion about this post