Kamis (25/8) lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengadakan kuliah umum dengan tema “Strategi Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan” yang bertempat di Auditorium BRI Msi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Dr. Kusumaningtuti S. Soetiono, S.H., L.L.M, anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen hadir sebagai pembicara kuliah umum ini dan dimoderatori oleh Prof. Insukindro. Sebelumnya OJK juga melakukan peresmian kerja sama dengan FEB UGM berupa peluncuran Pusat Riset Literasi dan Inklusi Keuangan (PRLIK) di ruang Kertanegara pada hari yang sama.
Menurut Kusumaningtuti S. Soetiono, negara dengan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan literasi keuangan di Indonesia, OJK memetakan sasaran edukasi menjadi mahasiswa, perempuan atau ibu rumah tangga, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) atau profesional, dan pensiunan.
Pada tahun 2013, tingkat literasi keuangan Indonesia sebesar 21,8 persen atau dari 100 orang penduduk Indonesia, hanya 21 orang yang memiliki pengetahuan tentang keuangan. Pasar modal memiliki tingkat literasi terendah dibandingkan dengan instrumen keuangan lainnya seperti asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan pegadaian.
Sedangkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia sebesar 59,7 persen, artinya dari 100 orang penduduk Indonesia, hanya 59 orang yang memiliki rekening, polis asuransi, reksadana, sukuk, atau saham. Rendahnya inklusi keuangan Indonesia didukung dengan data jumlah kredit UMKM yang disalurkan per April 2016 sebesar 780 triliun rupiah atau 18,5 persen, pemilik polis asuransi hanya sebesar 2,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia, peserta dana pensiun sebesar 4 juta orang atau 1,6% penduduk Indonesia, dan investor domestik di pasar modal yang kurang dari 500 ribu orang atau kurang dari 0,2% penduduk Indonesia.
Menurut penelitian oleh Bank Indonesia maupun Bank Dunia, ada beberapa indikator yang dijadikan acuan tingkat inklusi keuangan seperti jumlah ATM, jumlah kantor bank, dan kepadatan kantor bank di suatu wilayah. Penilaian kepadatan kantor bank dibagi ke dalam dua jenis yaitu overbank dan underbank. Di Indonesia, hanya pulau Jawa yang memiliki indikator warna ungu dalam kepadatan kantor bank. Hal ini berarti pulau Jawa berstatus overbank. Ketidakmerataan jumlah kantor bank menyebabkan rendahnya tingkat inklusi keuangan di daerah pelosok.
Tingkat pengelolaan keuangan masyarakat Indonesia cukup memprihatinkan. Tren menunjukkan bahwa Marginal Propensity to Consume masyarakat semakin meningkat. Rendahnya budaya menabung masyarakat menjadi faktor utama penyebab hal tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, OJK menginisiasi produk tabungan yang menarik bagi anak-anak.
Saat ini, Indonesia memasuki dunia digital financing services. Dari segi jumlah dan volume transaksi, e-banking menunjukkan tren peningkatan. Peningkatan transaksi melalui dunia digital harus diikuti dengan peningkatan literasi dan inklusi dunia keuangan. Supaya tidak semakin tertinggal dengan negara-negara lain, OJK menetapkan tiga pilar untuk peningkatan literasi dan inklusi keuangan yaitu edukasi yang masif, infrastruktur, dan berinovasi dan berkreasi. Pilar pertama, edukasi yang masif dilakukan dengan mendatangi minimal 24 kota di Indonesia per tahun. Pilar kedua, pengembangan teknologi infrastruktur yang menunjang pelayanan kepada masyarakat. Pilar ketiga, inovasi dan kreasi untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat supaya program yang ada bisa cocok dengan tipe karakteristik masyarakat.
Menurut Irma Agus Fitriani, Kepala Bagian Edukasi OJK, peningkatan edukasi literasi keuangan dimulai dari mahasiswa dan dosen. Setelah mendapatkan edukasi, mahasiswa dan dosen dapat menyalurkannya ke masyarakat atau komunitas melalui KKN Tematik, Forum Group Discussion, training, atau penelitian.
(Bernadus Ade F. N./EQ)