Dalam usaha mewujudkan suatu masyarakat yang harmonis, dibutuhkan demokrasi sebagai fondasi yang mampu mendasari suatu keteraturan sosial. Menurut Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, demokrasi menjadi suatu gagasan fundamental yang memegang peranan penting untuk menjamin adanya keteraturan sosial di tengah masyarakat yang plural. Dalam perkembangannya, banyak negara yang mengadopsi demokrasi untuk diterapkan dalam pemerintahannya, tidak terkecuali Amerika Serikat atau bahkan Indonesia. Mereka percaya bahwa demokrasi adalah kunci dalam menciptakan suatu masyarakat yang teratur.
Di Indonesia, Pasal 28 UUD 1945 dijadikan sebagai landasan konstitusional perihal kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sebagai negara demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab. Atas dasar hal tersebut, warga pun berhak melakukan demonstrasi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Memasuki bulan November, tepatnya di tanggal 4 November 2016, masyarakat tengah diramaikan dengan adanya aksi demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Para demonstran menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas dugaan kasus penistaan agama yang dilakukannya di daerah Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016. Permasalahan ini diawali dengan kunjungan kerja Ahok yang dimaksudkan untuk sosialisasi program kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta dalam bidang perikanan. Dalam pidatonya, Ahok menjelaskan bahwa warga tidak perlu khawatir mengenai kelanjutan program bantuan tersebut mengingat periode jabatan Ahok yang tinggal sebentar lagi. Pidato tersebut kemudian disambung dengan pernyataan yang menyinggung penggunaan Surat Al-Maidah ayat 51 jelang Pilgub DKI 2017. “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ‘enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu,” imbuhnya. Komentar inilah yang kemudian menjadi topik panas yang didiskusikan lebih lanjut di media sosial.
Bergejolaknya masyarakat akan pemberitaan kasus Ahok oleh media massa tentu saja tidak boleh dipandang sebelah mata. Fenomena ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat mulai memasuki era masyarakat melek politik, ditandai dengan isu politik yang menjadi esensial bagi masyarakat. Di sisi lain, aksi demonstrasi 4 November juga menunjukkan bahwa masyarakat masih belum siap dalam menghadapi sistem demokrasi yang tidak hanya mengakomodasi kelompok mayoritas, tetapi juga kelompok minoritas. Masyarakat cenderung belum siap hidup dalam kebhinekaan yang menjadi landasan kita untuk berbangsa dan bernegara. Isu-isu yang terkait dengan etnis atau agama tertentu seolah-olah menjadi isu yang sangat sensitif untuk diperbincangkan.
Fenomena ini ternyata juga sedang dialami oleh Amerika Serikat, negara adikuasa yang mengklaim dirinya sebagai negara paling demokratis. Pada 9 November 2016 kemarin, Donald Trump resmi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 dengan Mike Pence sebagai wakilnya. Batas minimal untuk memenangkan pemilihan ini adalah 270 suara elektoral. Saat pemungutan suara ditutup, Trump memperoleh 290 suara elektoral sementara Clinton meraih 232 suara.
Sejak pertengahan 2015, Trump mengumumkan bahwa ia akan mencalonkan diri sebagai presiden. Massa pun diramaikan dengan berbagai kampanye yang dinilai kontroversial, di antaranya yaitu pelarangan kaum Muslim untuk memasuki Amerika Serikat, pernyataan bahwa para imigran Meksiko adalah kriminal, perencanaan untuk mendeportasi para imigran dan pembangunan dinding raksasa di perbatasan Meksiko untuk melarang mereka masuk. Pada awalnya, terdapat 17 kandidat dalam partai Republik sementara 5 di antaranya tidak memperoleh suara yang cukup. Setelah 12 debat antarkandidat Partai Republik, Trump berhasil menyisihkan 11 kandidat lainnya. Ia pun resmi menjadi calon yang mewakili Partai Republik pada 19 Juli 2016.
Setelah Trump terpilih menjadi presiden, ia memaparkan agenda yang dirancang untuk 100 hari ke depan. Berbagai prioritas pun diutamakan dalam agenda tersebut. Berbeda dengan kampanye, hal-hal yang dianggap kontroversial seperti yang sempat menjadi sorotan publik tidak termasuk di dalamnya. Sebaliknya, ia berencana untuk membenahi sektor bisnis dan ketenagakerjaan di AS yang sudah mulai mengkhawatirkan. Hal ini akan direalisasikan dengan pengunduran diri dari kemitraan Trans-Pacific, penghapusan restriksi kelingkungan, pembenahan di bidang bisnis serta sistem lobi, izin imigran yang diperketat dan perbaikan sistem keamanan negara.
Hal yang menarik kemudian adalah, isu-isu sensitif yang menyinggung golongan minoritas di Amerika Serikat yang diangkat oleh Donald Trump. Hal ini ternyata menjadi daya tarik sendiri bagi para pendukungnya. Pengandaian bahwa masyarakat Amerika Serikat adalah masyarakat yang toleran ternyata merupakan pengandaian yang salah. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat selanjutnya secara tidak langsung juga menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat Amerika Serikat mengamini adanya “penindasan” terhadap kaum minoritas. Pada akhirnya, Amerika Serikat dan Indonesia masih berada di kelas yang sama dalam masalah penghargaan keragaman.
(Saut Togu Victory Pandiangan dan Phelia Myrna/EQ)
Referensi:
http://edition.cnn.com/2013/07/04/us/donald-trump-fast-facts/
http://edition.cnn.com/2016/11/22/politics/trump-first-100-days-plan/
image: BBC
Discussion about this post